“Dari segi mana pun, tidaklah berlebihan jika saya bilang, orangtua yang tidak tekun mengikuti satu metode pendidikan, yang telah ia pikirkan dengan saksama, adalah orangtua yang gagal memenuhi tuntutan tanggung jawab yang ia terima dari anak-anaknya.” (Home Education, hlm. 8)
Kita semua pasti pernah melakukan perjalanan. Ke mana pun, entah berjalan kaki atau naik pesawat, pastilah perjalanan kita memiliki tujuan. Sekadar ke warung atau ke negeri jiran, tujuan itu menjadi alasan kita melangkah.
Sekarang bicara soal pendidikan. Apa tujuan kita? Berjalan tanpa tujuan jelas akan membuat kita terombang-ambing kanan kiri, apalagi di tengah arus informasi yang begitu deras. Melihat teman-teman di media sosial melakukan kegiatan ini itu, kita ikut. Membaca tips-tips dari tokoh ini itu, kita ikut. Lihat promo seminar parenting ini itu, semua kita ikuti. Asal ada kegiatan yang ramai peminat, kita selalu ikut. Begitulah hari demi hari kita mengikuti arus kerumunan tanpa paham: sebenarnya kita mau ke mana sih ini? Mungkinkah berbagai kegiatan yang ikuti itu sebenarnya punya tujuan yang saling bertentangan satu sama lain?
Setinggi Bintang di Langit
Tujuan utama pendidikan CM jelas: membesarkan anak menjadi sosok manusia yang magnanimous. Kata ini berasal dari kata magna (besar atau agung) dan animus (kehidupan atau roh). Secara etimologis, magnanimous berarti “jiwa besar” atau “kehidupan yang agung”.
Dalam kamus Noah Webster, magnanimity didefinisikan sebagai pribadi dengan pikiran mulia dan martabat jiwa yang tinggi, mampu menghadapi segala macam permasalahan dengan tenang namun tegas, tulus melakukan berbagai kebajikan dengan sukacita, begitu membenci ketidakadilan dan kekejaman sehingga rela mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan yang lebih mulia.
Charlotte sendiri dalam volume ke-4 bukunya, Ourselves, menggambarkan magnanimous dengan ciri-ciri jiwa besar, minat luas, sosok yang tidak menyibukkan diri dengan hal-hal pribadi remeh temeh. Dalam volume ke-6, A Philosophy of Education, magnanimous berarti memiliki imajinasi berbudaya, kemampuan untuk menilai dan menimbang yang terlatih, selalu siap menguasai kerumitan profesi apapun, namun tahu bagaimana cara menempatkan dirinya dan memanfaatkan segala kelebihannya untuk meningkatkan kebahagiaan pribadinya, sesamanya, serta masyarakat; sosok yang bukan hanya bisa mencari nafkah hidup, tapi tahu bagaimana caranya hidup.
Sungguh tujuan yang sangat tinggi! Terlalu ambisiuskah? Charlotte mengingatkan kita bahwa anak-anak adalah titipan dari Tuhan. Bolehkah orangtua mendidik titipan dari Tuhan ini sesuka hati, agar ia hidup sebatas mengejar harta atau jabatan? Jika anak itu titipan Tuhan, hendaknya orangtua mendidiknya selaras dengan tujuan penciptaannya, yakni untuk merawat bumi ini dengan karakter-karakter Tuhan yang bersemayam di dalam dirinya.
Memang berat, tapi begitulah tugas orangtua. Kata Charlotte, ”Menjadi orangtua itu luar biasa! Tidak ada promosi, kehormatan, yang bisa dibandingkan dengannya. Orangtua seorang anak bisa jadi membesarkan sosok yang kelak terbukti sebagai berkat bagi dunia.”
Ya, demi kemaslahatan umat manusia dan keberlangsungan hidup bumi agar tetap menjadi tempat tinggal yang aman, nyaman dan harmonis, menjadi orangtua sungguh sebuah pekerjaan yang perlu digarap dengan sepenuh hati.
Dari Bintang ke Bumi
Ternyata tujuan bukanlah satu-satunya hal yang harus kita pikirkan.
Setelah tahu tujuan, kita masih punya PR besar untuk mencari cara terbaik mencapainya. Sarana yang akan kita pakai tentunya harus sesuai dengan yang mau kita tuju. Masa dari Jakarta mau pergi ke Medan, tapi naiknya kereta Argo Anggrek tujuan Surabaya? Agar sampai di tujuan tanpa boros waktu,energi, dan dana, kita mesti cermat memilih. Tidak semua sarana sama efektifnya dalam mencapai tujuan.
Mematok tujuan tapi lalai menimbang cara paling tepat untuk meraihnya? Itu pun sama tidak tepatnya. Indonesia terkenal sebagai negara yang warganya religius. Setiap religi mengkonsep pendidikan dengan tujuan-tujuan luar biasa: agar anak jadi manusia yang rahmatan lil alamin, terang dunia, dan lain sebagainya. Semakin tinggi cita-cita, artinya semakin besar pula tenaga dan pemikiran yang harus kita curahkan. Sungguh, batu berlian baru bisa berkilau kalau diasah dengan cara yang benar.
Adalah absurd kalau kita berdoa yang baik-baik, tapi kemudian asal-asalan mendidik anak. Ibarat asal menyetop apa pun angkutan umum yang lewat di depan rumah, tanpa paham trayeknya, lalu berdoa angkot itu akan membawa kita tiba dengan selamat di destinasi harapan. Charlotte Mason menulis dengan tegas mengenai hal tersebut :
Sungguh disayangkan apabila ada orangtua yang terlalu membanggakan dirinya sebagai manusia rohani tetapi secara sengaja abai mempelajari tentang, misalnya, hukum kerja otak. Mereka mungkin menganggap pengetahuan seperti itu ilmu sekuler yang tak berharga. Padahal, mungkin sekali orangtua sekuler yang serius mempelajari fisiologi dan psikologi akhirnya bisa mengentaskan anak yang lebih kokoh karakternya dibandingkan orangtua religius yang mengandalkan restu Tuhan tapi tidak pernah menggarap “pekerjaan rumah” mereka.
Orangtua tak bisa sekedar berdoa supaya anak-anak tumbuh jadi pribadi yang jujur, baik hati, dan sebagainya, tanpa secara aktif mencoba berbagai cara untuk menumbuhkan karakter-karakter itu dalam diri anak-anaknya. Membesarkan anak perlu lebih dari semata berharap dan berdoa!
Ideal Sekaligus Realistis
Ketika metode CM menjadikan karakter luhur sebagai tujuan itu artinya tugas kita bukan sekadar menemukan minat-bakat anak agar ia bekerja di bidang yang sesuai passion-nya; juga bukan sekadar mendidik supaya anak jadi pintar, dapat nilai bagus-bagus di rapor, agar bisa diterima di perguruan tinggi ternama.
Dalam kerangka mewujudkan manusia yang paripurna, yang utuh, dengan kepribadian magnanimous tersebut, Charlotte meminta orangtua dan guru memapar anak-anak pada kurikulum yang kaya. Sebagaimana tubuh bukan hanya butuh karbohidrat, tapi juga protein, sayur, buah, dsb., jiwa manusia pun butuh suplai gagasan yang beragam. Benak anak perlu dijamu dengan menu lengkap bergizi tinggi, jangan hanya diberi makan mi instan setiap hari.
Mulai dari mengasah logika dengan matematika, menyentuh jiwa dengan cerita-cerita berkesan, menggugah musikalitas dengan komposisi para pemusik legendaris, membiasakan mata dengan karya seni bernilai tinggi, melatih tubuh agar senantiasa tangkas dan sehat, begitulah pendidikan karakter diwujudkan dalam metode Charlotte Mason.
Anak perlu disuplai ide-ide inspiratif. Belajar sejarah ala CM, misalnya, bukan semata untuk menghafalkan fakta. Lebih mendasar dari itu, anak disemangati untuk berbuat sesuatu bagi masyarakatnya. Kita ingin anak jadi pribadi yang mau berkorban demi kepentingan orang banyak? Itu tidak mungkin terjadi begitu saja. Harus ada ide-ide besar yang tersemai dan berkembang biak di benaknya. Bacaan sejarah akan menyuplainya dengan inspirasi dari kisah-kisah sosok masa lampau yang begitu gigih berjuang. Apabila yang anak baca hanya kumpulan fakta kering, akankah hatinya tergugah mengerjakan sesuatu yang besar?
Meski begitu banyak yang harus dipelajari, penerapan metode CM bisa tetap realistis karena ada prinsip short lessons, tiap subjek digarap dalam waktu yang singkat. Anak pertama saya yang berumur 9 tahun tanpa kesulitan mempelajari 22 macam subjek dalam seminggu, dengan sesi formal 2-3 jam saja setiap pagi di hari kerja, ditambah kegiatan fisik atau seni di sore harinya. Ada kalanya karena merasa masih semangat, ia menambah sendiri kegiatan di waktu malam. “Agar hariku seimbang,” katanya ketika memutar video yoga dan berlatih sendiri.
Ah ya, rupanya sebagaimana tubuh yang bisa sakit kalau asupan makanan tidak seimbang, jiwa pun demikian. Dan saat jiwa sudah terbiasa makan makanan yang variatif, ia pun akan mampu mengingatkan dirinya sendiri untuk menyeimbangkan kegiatannya.
Intelektual Sekaligus Spiritual
Visi pendidikan CM – karakter magnanimous – menuntut pula berbagai latihan kebiasaan baik (habit training) sedini mungkin usia anak, dan di semua lini kehidupan. Bagi Charlotte, tak bisa dipisahkan pelajaran akademis-intelektual dan pembentukan karakter. Sebaliknya, proses akademis itulah yang harus mendukung pendidikan karakter. Bukankah segala macam ciri seorang cendekia – konsentrasi, daya ingat, keterampilan menganalisa, kepakaran ilmu dan seni serta logika, etos kerja ilmiah – bukanlah suatu berkah yang datang tiba-tiba? Semuanya adalah hasil dari gemblengan panjang.
Itu sebabnya, proses akademis dalam metode CM sebenarnya bertujuan untuk melatih kebiasaan baik. Single reading melatih habit of attention. Narasi melatih habit of thinking, concentration and memorizing. Hasta karya (handicraft) melatih habit of accuracy and dexterity. Nature study dan picture study yang melatih habit of observation, dan seterusnya. Semua dilakukan secara sederhana, lemah lembut, durasi singkat-singkat, tetapi jika konsisten dilakukan akan terbentuklah kebiasaan-kebiasaan baik pada anak, yang kemudian membangun karakternya.
Bagi saya, metode pendidikan Charlotte Mason luar biasa lengkap. Saya pribadi langsung jatuh cinta pada metode ini semenjak tahu betapa tinggi tujuan yang Charlotte patok, sekaligus betapa selaras langkah-langkah yang ia sarankan untuk mewujudkan tujuan itu. Bagai berjalan dengan peta di tangan, hari demi hari saya bisa melihat kemajuan yang sudah terjadi dalam proses perjalanan kami. Kemajuan yang barangkali tidak bisa diukur dengan angka atau piala, tapi perbaikan terus-menerus dalam kesatuan spiritualitas dan intelektualitas anak.
Tidak ada alasan untuk mendirikan sekat antara ranah intelektual dan spiritual dalam kehidupan. Kita mengajarkan kepada anak-anak bahwa semua kebenaran adalah milik Tuhan, dan bahwa kajian sekuler sama baiknya dengan kajian religius. Mereka perlu sadar, kehidupan beragama dan kehidupan akademis bukanlah dua dunia yang terpisah, dan apa pun yang ia pelajari atau kerjakan, Tuhan selalu bersama mereka. (Butir ke-20 Filosofi Charlotte Mason)
no replies