“Dedek marah dan jengkel sama Mama?” tanya saya pada si bungsu (7 tahun). Dengan cepat dia menganggukkan kepala. Mulutnya masih cemberut, wajahnya terlipat menahan tangis.
“Oke, nggak papa. Mama bisa ngerti,” ujar saya sambil menghela napas.
Saya baru saja melarang anak laki-laki saya itu makan permen. Soalnya, setelah saya amati sekian lama, ternyata dia cenderung susah mengendalikan diri ketika sudah berhadapan dengan permen.
Karena itulah, saya katakan padanya, selama dia belum mampu menjadi “tuan” atas dirinya sendiri, maka saya yang akan membantunya. Selama dia belum tahu batas, belum bisa mengatakan “tidak” pada hasratnya makan permen, saya yang akan menentukan batasnya.
“Tapi kamu ngerti kan alasan Mama melarang?” tanya saya lagi.
“Nggak,” jawabnya.
“Hmm … coba jujur. Dedek benar-benar nggak ngerti atau nggak mau ngerti karena sedang marah sama Mama?”
Sejenak si bungsu terdiam. “Aku yang nggak mau ngerti.” Air matanya mulai meleleh, “Maaf ya, Maaa … ,” katanya sambil memeluk saya.
***
Ini kejadian beberapa hari yang lalu. Waktu itu saya bisa menanggapinya dengan tegas tapi tetap kalem. Amarah si bocah saya validasi, tapi di saat yang sama aturan yang prinsip tetap saya pegang dan pertahankan.
Tapi … andai saja peristiwa ini terjadi beberapa tahun yang lalu, otak reptil saya pasti sudah menyala, darah saya pasti sudah sampai di ubun-ubun, mulut saya pasti sudah meledak menyemburkan amarah!
Pada dasarnya saya ini tidak sabaran. Saya dibesarkan dalam budaya yang memandang kekerasan dalam mendidik anak adalah sesuatu yang wajar. Otak dan hati saya tak pernah setuju pada pola pengasuhan yang demikian. Sayangnya, saya terlanjur menyerapnya. Saat situasi menekan, saya tetap tak mampu mengontrol diri, kalah oleh impuls. Saya memang tidak memukul, tapi omelan panjang dengan nada tinggi pasti keluar.
Jadi, betapa bersyukurnya saya bertemu pemikiran-pemikiran Charlotte Mason. Pikiran saya dibuka, kesadaran saya disingkap. Hati saya disibak, pribadi saya ditumbuhkan. Saya yang karakter aslinya kurang sabaran ini bisa berubah jadi tidak lekas jatuh dalam emosi tatkala menghadapi anak dengan segudang perilaku sulitnya.
***
Yang pertama-tama jadi ‘rem’ saya tatkala impuls marah mulai menguasai adalah pesan Charlotte Mason bahwa anak itu kehendaknya masih lemah. Ini terus menerus terngiang dalam benak. Anak itu kehendaknya masih lemah. Jadi, kalau bukan kita orangtua yang membantunya, lantas siapa? Tuhan menitipkan anak pada kita supaya dididik dengan baik, bukan dimarah-marahi saja.
Justru karena anak itu kehendaknya masih lemah, kata CM, penting sekali orangtua tegas melatih anak taat pada aturan dan disiplin dalam kebiasaan baik. Akan tetapi, tegas itu tidak identik dengan galak, apalagi bersikap semena-mena. Dalam menegakkan aturan dan disiplin, Charlotte tak pernah menganjurkan kekerasan sebagai solusi. Orangtua memiliki otoritas, tapi kita mesti mengemban otoritas itu tanpa menjadi otoriter.
Sebaliknya, ketegasan harus dipadukan dengan kelemahlembutan. Lemah lembut bukan berarti lembek. Lemah lembut bukan diam saja membiarkan diri atau aturan dinjak-injak oleh anak. Lemah lembut adalah kesabaran, penguasaan diri, yang tetap berbasis prinsip, dengan tujuan tak tergoyahkan. Tegas sekaligus lemah lembut. Ini justru akan menjadi kekuatan dahsyat.
Begitulah, setelah memahami hakikat anak, setiap kali di rumah anak-anak berperilaku sulit, alih-alih marah, saya bertekad membantu mereka. Saya mau melatih mereka agar punya nalar yang makin terasah, kehendak yang makin kuat, dan nurani yang makin peka.
***
Selain mengganti sudut pandang, saya juga latihan sabar dengan menerapkan anjuran Charlotte Mason untuk lebih mengenali diri sendiri (self-knowledge).
Dari hari ke hari, saya melakukan pengamatan pada tubuh, pikiran, dan perasaan saya sendiri. Lambat laun, saya mengenali polanya. Ada beberapa situasi yang rentan menyebabkan saya naik darah, yakni ketika badan kelelahan dan masa pra haid (pre-menstrual syndrome, PMS).
Setelah sadar, saya lalu melakukan antisipasi. Saya mendisiplin diri agar cukup istirahat, sehingga badan lebih segar, pikiran lebih tenang dan terkontrol. Menjelang haid, saya bersiasat memilih jenis-jenis aktivitas yang lebih rileks, menurunkan ekspektasi, nyantai bersama anak-anak.
Ternyata dengan lebih peka terhadap gejala-gejala dalam diri, saya lebih berhasil menjaga hasrat dan emosi agar tetap dalam kendali.
***
Anjuran Charlotte Mason berikutnya yang saya terapkan adalah prinsip Mother Culture.
Selain soal kelelahan dan PMS, saya juga mengamati bahwa rutinitas harian saya sebagai ibu rumah tangga cenderung itu-itu saja. Hari ini seolah hanya pengulangan hari kemarin, aktivitasnya nyaris sama. Saya jadi merasa jemu, bosan, tertekan. Ini membuat saya gampang meledak.
Charlotte menyadari kondisi ibu-ibu rumah tangga seperti saya. Kami ini cinta kepada anak dan keluarga, tapi cinta saja tak cukup sebagai amunisi untuk membuat diri tetap sabar dan tidak mudah terseret emosi. Terus-menerus hidup dalam rutinitas yang menjenuhkan bakal membuat seorang ibu stres bahkan depresi. Maka, di buku School Education, dia bilang begini:
“Andai ibu punya nyali untuk mengendurkan diri saat hidupnya terlalu tegang, lalu melegakan satu hari, atau setengah hari saja, berjalan-jalan ke ruang terbuka sambil membawa buku favorit, atau pergi ke pameran menikmati satu-dua lukisan, atau bersantai di tempat tidur tanpa anak-anak, baik anak maupun orangtua akan menjalani hidup yang jauh lebih bahagia.”
Logikanya begini: sebelum memberi, kita harus lebih dulu memiliki; kita tak akan bisa memberikan hal yang kita tidak miliki. Hanya bila benak ibu telah menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyenangkan, hobi-hobi yang menyegarkan, kata-kata yang meneguhkan, ide-ide berharga yang menenteramkan, barulah ibu akan mampu menumbuhkan jiwa anak-anak yang Tuhan percayakan padanya.
Jadi, untuk membesarkan anak-anak dengan baik, ibu pun perlu bertumbuh dan merawat kesehatan jiwanya (mother culture). Saya jadi merasa lega dan tercerahkan. Meluangkan waktu untuk meditasi, membaca buku atau kitab suci, mengembangkan hobi, melakukan apa saja yang menumbuhkembangkan jiwa, itu bukan lagi hal yang tabu. Saya melakukannya tanpa rasa bersalah.
***
Belajar menerapkan metode Charlotte Mason untuk mendidik anak sungguh seperti peziarahan spiritual bagi saya. Setiap hari “berjalan” bersama anak, setiap hari pula saya berproses dalam hal pendewasaan diri.
Ah, siapa kira ternyata bukan anak saja yang harus bertumbuh? Sebagai ibunya, karakter saya juga harus ditumbuhkan. Saya harus bertekun melatih kebiasaan baik diri, untuk menggantikan kebiasaan buruk yang lama, sampai kebiasaan baik itu menjadi karakter permanen saya.
Ketika jujur berefleksi, saya makin sadar bahwa mengubah kebiasaan lama yang terlanjur mengakar itu berat. Perlu latihan secara konsisten dan terus menerus. Tidak mudah bagi saya yang gampang emosi ini untuk mengendalikan diri dan bersabar. Butuh niat dan kehendak yang kuat.
Saya jadi lebih mampu berempati pada anak yang berperilaku sulit. Kalau saya saja, yang sudah setua ini, masih sering jatuh bangun, mengapa saya punya ekspektasi yang berlebihan dan menuntut anak untuk berperilaku selalu manis? Sama seperti saya, anak juga bukannya tidak mau berubah. Kami sama-sama hanya masih perlu berproses. Sesekali kami jatuh, tapi terus bangun lagi.
***
Bertumbuh bukan hal mudah, bagi siapa pun. Namun, kita orangtua sudah diserahi oleh TUHAN amanah untuk membantu anak-anak memilih jalan hidup yang mulia. Meskipun sulit, kita harus belajar menjadi jangkar yang bisa dijadikan pegangan oleh anak.
Terharu saya merenungkan kata-kata Charlotte Mason ini:
“Seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tapi harus ramah, harus cakap mengajar, dan dengan lemah lembut menuntun orang yang suka melawan. Ayah-ibu, bukankah kau adalah hamba-Nya? Maka lemah lembutlah pada anak-anakmu.” (Formation of Character, hlm. 201)
Buat saya pribadi, inilah perjuangan saya menjalankan amanah sebagai hamba-Nya itu: setiap kali impuls menyuruh saya menyemburkan amarah, saya memilih untuk tetap bersikap tegas tapi lemah lembut. Hanya dengan cara itu, anak menyerap atmosfer kesungguhan untuk bertumbuh yang saya pancarkan.
Dan saya melihat bukti, ketika kita serius berusaha, Tuhan pun nyata bekerja. Dia memampukan kita berubah. Dia juga memampukan anak-anak kita tumbuh mekar dalam segala kekuatan latennya, mengatasi kelemahan-kelemahan bawaannya, terlatih dalam segala kebiasaan baik.
no replies