Marahkah kita pada orang buta yang tidak bisa melihat? Kesalkah kita pada orang tuli yang tak bisa mendengar? Ngomelkah kita pada orang lumpuh yang tak bisa berjalan? Mungkin saja, kalau kita belum sadar bahwa orang-orang yang kita hadapi itu memiliki keterbatasan.
Namun, begitu kita sudah memahami situasi sesungguhnya – bahwa yang menabrak kita itu buta, yang tidak merespons pertanyaan kita itu tuli, atau yang diam saja ketika disuruh pindah itu lumpuh – kita jadi maklum, bahkan malu sendiri karena kita tadi sempat marah-marah.
Pendekatan yang sama harusnya kita pakai saat menghadapi anak yang tantrum. Dalam prosesnya menjadi dewasa, anak dihadang oleh keterbatasan fisiologis dan psikologis. Jadi, saat dia melakukan berbagai “kekeliruan konyol” (menurut kita), semestinya kita tidak perlu marah-marah, apalagi sampai frustrasi.
Saya mendapat pencerahan ini dari Carrie Contey, psikolog spesialis perkembangan anak, yang diundang menjadi narasumber Conscious Parenting Summit 2012. Carrie mengajak orangtua memahami perkembangan dan kinerja otak anak sejak lahir agar bisa menangani perilaku sulit anak, termasuk tantrum.
Tiga Bagian Otak
Mari lakukan simulasi ini: Coba kepalkan tangan Anda, dengan ibu jari menempel ke telapak tangan dan terselip di dalam kepalan. Nah, seperti itulah gambaran denah otak manusia. Pergelangan tangan kita ibarat batang otak, ibu jari kita ibarat otak limbik, sementara keempat jari lainnya ibarat neokorteks. Para pakar otak suka menyebut batang otak sebagai “otak reptil”, otak limbik sebagai “otak mamalia”, dan neokorteks sebagai “otak manusiawi”. Ketiga bagian itu punya fungsi masing-masing.
Otak reptil. Ini adalah bagian yang menjadi alarm keselamatan dan keamanan kita. Mengapa disebut otak reptil? Karena di sini afeksi dan nalar tidak ada sama sekali. Respons yang diberikan oleh batang otak persis bayi reptil. Begitu menetas dari telur, mereka tidak mencari ibunya, mereka tidak butuh menyusu. Mereka tidak peduli itu saudara atau bukan, kalau dianggap mengancam keselamatan atau suplai makanan, hajar saja! Tidak ada koneksi emosional dan tidak ada kesadaran tentang saling bergantung.
Kekuatan otak reptil ini bisa melumpuhkan empati/afeksi maupun nalar kita. Kapan pun kita merasa takut atau stres, bagian otak ini langsung ‘menyala’ dan aktif bekerja. Reaksi pun muncul seketika – flight or fight response – tanpa rasionalitas kita sempat mengendalikannya (kecuali kita sudah sangat terlatih).
Nah, bagian otak ini adalah yang paling pertama berkembang dalam kandungan dan menjadi matang sekitar tiga bulan sebelum bayi lahir. Jadi, ketika seorang anak berlaku egois – “semua yang aku punya adalah milikku, semua yang kupegang adalah milikku, semua yang kulihat adalah milikku, semua yang kumau adalah milikku” – kita sedang melihat otak reptilnya bekerja.
Otak mamalia. Di sinilah pusatnya emosi. Semua bayi mamalia, begitu lahir, butuh koneksi dengan orang lain, terutama ibunya. Hubungan emosional ini penting baginya untuk bisa bertumbuh dengan baik. Bagian otak ini mulai matang di usia sekitar enam minggu setelah kelahiran. Anda bisa mengamati gejalanya ketika bayi mulai tersenyum kepada orang yang ia kenal.
Otak mamalia terstimulasi setiap kali bayi melihat orangtua tersenyum kepadanya atau ketika dia menjalin kontak sosial dengan orang-orang di sekelilingnya. Bekerja sama dengan batang otak, ia menerjemahkan rasa aman atau tidak aman lewat berbagai emosi positif atau negatif.
Dalam kerjanya, otak mamalia terutama menyerap isyarat-isyarat non-verbal dan tidak kompeten memproses argumen rasional. Itulah sebabnya, memeluk anak sambil bilang “Mama ada di sini! Mama bersamamu!” bisa lebih efektif meredakan emosinya dibanding menjelaskan secara logis: “Hidup ya seperti itu! Tidak semua berjalan sesuai keinginan kita. Kamu harus belajar menerima kesulitan seperti itu. Di dunia ini tidak ada yang sempurna … (bla bla bla).”
Neo-korteks, inilah bagian yang terakhir berkembang, kelebihan yang membedakan manusia dari binatang-binatang lain. Dengan neokorteks, manusia bisa berbahasa, melakukan analisis, berpikir kreatif, mengembangkan kesadaran serta empati.
Bagian otak ini baru mulai matang setelah bayi berumur kurang lebih satu tahun, dan akan berkembang lebih pesat ketika kebutuhan otak reptil dan otak mamalianya telah dicukupi – yakni, apabila bayi merasa lingkungannya aman dan penuh cinta. Jika tidak, maka otak reptil dan otak mamalianya akan terus mendominasi pikiran anak – mencari-cari rasa aman dan cinta – sehingga pematangan neokorteksnya terhambat.
Butuh waktu panjang sebelum batang otak, otak limbik, dan neokorteks bisa sepenuhnya matang dan terintegrasi. Sekitar 21-25 tahun, kata para pakar neurologi. Sebelum integrasi itu terjadi, salah satu fungsi otaklah yang akan dominan di satu waktu. Demikianlah panjangnya proses yang dibutuhkan seorang manusia untuk mencapai fungsi tertinggi otaknya, untuk menjadi benar-benar manusiawi.
Tantrum = Terpeleset ke Otak Primitif
Kembali lagi ke perumpamaan difabel di atas. Peribahasa Perancis mengatakan bahwa memahami berarti memaafkan. Kalau kita sadar bahwa otak anak kita butuh waktu panjang untuk mekar, kita akan memakluminya saat perilakunya bermasalah, sekalipun kita merasa sangat tidak nyaman menghadapinya.
Anak menendang, menggigit, menjerit, memukul – itu semua karena otak mereka terpeleset ke fungsi primitif, didominasi oleh otak reptil. Mereka bukan berperilaku buruk, melainkan dalam pengaruh stres. Kalau kita paham ini, kita jadi tahu cara menanganinya.
Otak yang stres tidak butuh banyak ceramah. Penjelasan panjang lebar hanya membuat stresnya makin parah. Yang anak perlukan saat tantrum adalah sikap kalem yang menenangkannya, “Wah, kau sedang mengalami masa yang sulit ya? Sini sayang, aku ada di sini untuk membantumu.”
Barulah nanti, setelah fungsi neokorteksnya kembali, kalian bisa membahas adegan itu dan merencanakan: “Jadi, Nak, apa yang bisa kita ubah supaya pengalaman tak menyenangkan ini jangan berulang?”. Tapi kalau otak reptil anak sedang aktif dan Anda mengajaknya berkomunikasi dengan otak rasional, yang muncul hanyalah kekacauan.
Di sinilah orangtua diharapkan memiliki iman tak tergoyahkan pada anak sebagai pribadi utuh, yang berpotensi untuk menjadi manusia luar biasa. Meskipun secara fisiologis, otak anak belum matang, tetaplah pribadi utuh itu sudah ada di dalam dirinya. Pribadi ini akan makin bisa mengungkapkan diri seiring pematangan fungsi-fungsi tubuhnya.
Hanya saja, kita sebagai orang dewasa tak bisa hanya duduk diam dan menunggu. Pribadi anak tak akan matang kecuali memperoleh interaksi yang cukup dari orang-orang yang merawatnya. Dan karena setiap anak itu unik, kita tak bisa mengharapkan proses yang sama berlaku untuk semua atau formula yang sama untuk menangani setiap mereka.
Segera Isi Tangki Emosi
Jalan terbaik untuk mengenali kapan “alarm” otak reptil atau otak limbik anak menyala adalah dengan intens membangun kelekatan (bonding) dengan anak, untuk mengenali kekhasan pribadi masing-masing anak itu. Ayah atau ibu yang punya hubungan batin bagus dengan anak, secara otomatis akan memberikan respons yang relatif tepat, sebab mereka bisa menafsirkan lebih akurat perasaan apa yang sedang anak alami.
Jika diibaratkan telepon genggam, semua manusia butuh suplai energi teratur untuk tetap bisa hidup manusiawi – lewat olahraga, makan yang sehat, persahabatan, dan kerja kreatif. Namun, anak-anak belum bisa men-charge diri sendiri.
Ledakan emosional cenderung terjadi ketika anak kehabisan energi – HALT (hungry, angry, lonely, tired) dan pada saat itu anak sangat butuh memperoleh suplai energi positif dari ayah, ibu, atau para pengasuh dewasa lain agar alarm otak reptilnya padam.
Saat kehabisan energi, anak-anak mendatangi orangtua dan memberi isyarat agar baterai mereka diisi kembali. Orangtua yang paham hal ini akan lekas-lekas membantu mengisi tangki emosi mereka.
Sayangnya, yang seringkali terjadi adalah: anak meledak dan kita terus menyangkalnya, “Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja!” atau tambah memarahinya – jenis pendekatan yang sama sekali tidak membantu mengisi kebutuhan otak reptil anak. Padahal, makin tipis persediaan emosi mereka, makin hebat kerusakan yang mereka tunjukkan, begitu pula ketika orangtua makin berjarak dan absen dari kehidupan mereka.
Di situlah persisnya tantangan terbesar menjadi orangtua. “Kita tidak cukup hanya hadir,” kata Carrie, “tapi kita harus hadir dengan kesadaran penuh, dengan otak manusia yang selalu kalem dan manusiawi, sehingga kita bisa menyuplai anak kita dengan energi manusiawi juga.”
Cintai Juga Diri Sendiri
Tentu saja mustahil menjadi manusia super sempurna yang tak pernah emosi atau lelah, tapi sebagai orangtua kita musti berlatih cepat mengenali kapan otak reptil kita mulai mengambil alih kendali. “Oh, OK, aku mulai tak bisa menahan emosi dan lebih baik aku pergi dulu sebentar, minum air dan tarik nafas, sebelum aku kembali menangani ini, sebab jika tidak aku akan hanya akan makin membuat situasi anakku makin sulit.”
Merawat anak berarti kita juga harus merawat diri sendiri. Mencintai anak berarti kita juga harus mencintai diri sendiri. Yang butuh cukup gizi, istirahat, kasih sayang dan perhatian bukan hanya anak, tapi juga diri kita sendiri.
Para ibu, terutama, seringkali mencambuk diri mereka dengan pikiran: “Aku belum cukup baik! Aku belum cukup memberi! Aku belum cukup berkorban!” Dan hasilnya, kita makin bergegas-gegas mematok banyak ambisi, terengah-engah berusaha mewujudkannya, lalu menjadi semakin stres dan frustrasi pada diri sendiri juga anak kita.
Slow down, connect, and enjoy. Mantera ini penting diingat para ibu. Perlambatlah irama hidupmu, hadirlah sepenuh untuk menjalin relasi batin dengan anak, serta nikmatilah setiap menit yang berlalu. Selalu ambillah waktu untuk merenung, berdoa, dan bermeditasi.
Kehidupan modern selalu mendorong kita untuk “keluar, keluar, keluar!” dan “kerja, kerja, kerja!”. Kalau kita menuruti tuntutan itu, waktu kita akan habis tak tersisa, bahkan terasa selalu kurang, sebab ambisi itu tak ada habisnya.
Memperlambat irama hidup berarti melakukan kebalikannya – “ke dalam, ke dalam, ke dalam!” serta “hening, hening, hening!” maka kita bisa melihat lebih jernih: Apa yang memang betul-betul perlu dicapai? Apa yang betul-betul penting?
Sebagai kata penutup, saya akan mengutip satu kalimat yang Carrie sampaikan di Summit lalu: “Kitalah yang harus masuk ke dunia tenang anak, alih-alih menyeret mereka ke dalam dunia kita yang hiruk-pikuk sibuk. Jika kita bisa melakukannya, ada berkah luar biasa menanti kita!”
====
Foto: kali9 | Getty Images
no replies