Perkenalkan, saya Sugiyo, ayah dari dua orang anak usia 11 dan 7,5 tahun. Profesi saya guru sekolah swasta, tapi anak-anak saya tidak pernah sekolah. Kami (saya dan istri) memutuskan untuk menjalani homeschooling sejak si sulung berusia 3 tahun. Hingga saat ini kami masih setia dengan pilihan itu.
Homeschooling kami berbasis metode Charlotte Mason (CM). Muara akhir yang kami tuju adalah membesarkan anak-anak yang berbudi dan berkarakter luhur. Istilahnya, magnanimity. Kami ingin mereka bisa berpikir tinggi, sekaligus cakap menggarap tugas sehari-hari; mereka bisa membedakan keinginan sesaat dari kehendak sejati; ketika menghadapi masalah, mereka bisa gigih menyelesaikannya, meski sebenarnya ingin lari.
Visi ini PR besar, khususnya buat saya sebagai ayah. Cerita sedikit, di keluarga kami, pengaturannya begini: saya pencari nafkah tunggal, istri full time mengasuh anak. Di luar jam kerja, saya juga masih harus menunaikan berbagai kewajiban lain, baik untuk melayani masyarakat maupun Gereja. Praktis, sehari-hari, kecuali semua kegiatan sedang libur, saya hanya punya waktu 3-4 jam bersama anak-anak, beda jauh dengan istri yang hampir 24 jam mendampingi mereka.
Nah, dengan segala keterbatasan waktu itu, apa yang saya bisa lakukan supaya bisa ikut membentuk karakter anak-anak?
Belajar Filosofi
Saya setuju dengan Charlotte Mason bahwa filosofi harus diperkuat dulu sebelum praktik. Karena keluarga kami sudah memilih jadi praktisi metode CM, maka saya pun harus mendalami filosofi pendidik asal Inggris ini. Jadi, saya menyediakan waktu khusus untuk rutin membaca buku-bukunya dan mendiskusikannya dengan istri. Dengan begini, meski saya sehari-hari tidak banyak mendampingi anak-anak, saya dan istri tetap bisa sejalan.
Dan saya memang suka sekali dengan filosofi CM yang universal. Gagasannya tajam dan tak lekang dimakan zaman. Tuntunannya praktis dan sistematis. Namun karena mendalam, saya harus pelan-pelan membaca tulisan-tulisannya, mengunyah dengan teliti, mencerna hati-hati, supaya bisa memahami pemikiran CM secara holistik.
Dengan terus membaca dan berdiskusi, lambat laun saya makin bisa menyatukan kepingan-kepingan ide filosofis CM. Saya jadi paham apa maksudnya anak itu terlahir sebagai pribadi utuh, apa itu prinsip otoritas dan ketaatan, apa maksudnya “pendidikan adalah atmosfer, disiplin, dan kehidupan”, dst.
Saya juga jadi lebih punya gambaran tentang tuntunan-tuntunan praktis CM. Misalnya, bagaimana mengenali buku yang bermutu (living books), mengapa living books itu harus dibaca secara lambat (slow reading), mengapa penting anak harus bisa menarasikan bacaan dalam sekali baca (single reading), dsb.
Oh ya, paling asyik belajar metode CM bersama komunitas. Saya selalu memprioritaskan acara kumpul-kumpul dengan komunitas keluarga praktisi CM area Jawa Timur. Buat saya, pertemuan rutin komunitas ini sangat berguna, selain kawan-kawan di sana yang ngangeni (bikin kangen). Di komunitas, kami bisa saling berbagi cerita, memperdalam pemahaman filosofis bareng, dan tentunya mengisi ulang (recharge) energi.
Berhati-hati dengan Otoritas
Menurut metode CM, penting sekali anak-anak diajari terbiasa taat pada otoritas dan aturan (habit of obedience), tapi bukan ketaatan yang buta, melainkan ketaatan sukarela. Ada beberapa syarat yang harus saya penuhi agar anak respek pada otoritas dan mau taat secara sukarela.
Pertama, memberi perintah tidak boleh ngawur.
Saya tidak boleh bersikap, “Pokoknya mau ayah begini!” Saya juga tidak boleh mengubah-ubah aturan sesukanya. Hari ini A, besok jadi B, besoknya lagi C, dst. “Pokoknya tergantung ayah!” Baik saya maupun anak harus sama-sama tunduk pada hukum alam, hukum sosial, hukum Tuhan, Kebenaran. Perintah saya harus selaras dengan hukum-hukum itu.
Anak-anak, kata Charlotte, cepat sekali membedakan mana orangtua atau guru yang memerintah dengan suka-suka dan demi kesenangannya sendiri, mana yang menjalankan otoritas sembari tetap tunduk di bawah hukum.
Kedua, kalau sudah memberi perintah harus konsisten menegakkan.
Ini mudah untuk dikatakan, tapi dalam praktik ternyata butuh komitmen dan kerja keras. Misalnya, saya dan istri membuat aturan batasan penggunaan gawai, maka mau tidak mau dan suka tidak suka, kami juga harus membatasi diri memakai gawai. Istilah CM-nya, way of the will, menyuruh diri sendiri memikirkan dan memilih melakukan yang benar meski sedang tidak ingin (Home Education, hlm. 323).
Contoh lain, kami sudah membuat aturan bahwa sebelum tidur ada ritual berupa doa malam bersama, membuat jurnal syukur dan kemenangan, serta membacakan buku cerita buat anak. Akhirnya, walaupun sepulang kerja seringkali badan sudah lelah, inginnya santai, baring-baring dan main HP untuk berselancar ke sana kemari mencari hiburan, saya harus mendisiplin diri untuk melaksanakan ritual itu.
Ketiga, libatkan inisiatif anak.
Kata CM, seni memimpin adalah soal bagaimana mengatur orang tanpa orang itu merasa ditindas, tapi justru merasa mereka menaati aturan atas keinginan sendiri. Anak perlu sadar bahwa dia merdeka, punya kebebasan memilih, dan harus belajar memutuskan secara mandiri dengan sesedikit mungkin campur tangan dari orangtua.
Jadi, asal tidak ada yang melanggar prinsip, anak perlu dilibatkan dalam merumuskan aturan. Ini akan membuat mereka lebih bertanggung jawab dan berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan. Contohnya, kata CM, ada anak yang awalnya tampak tak kompeten, setelah terpilih jadi ketua kelas, ternyata dia bisa menjalankan tugas-tugasnya dengan baik (Philosophy of Education, hlm. 74).
Dalam keseharian kami, anak-anak dibiasakan mengatur sendiri jadwal doa pagi dan doa malam: siapa yang hari ini memimpin, siapa yang membaca Kitab Suci. Mereka juga ikut menentukan pembagian tugas-tugas harian rumah tangga seperti menyapu, mengepel, membersihkan kamar mandi, dsb. Untuk hal yang baik, kita orangtua perlu mau juga diatur oleh anak.
Menjadi Pelatih Kebiasaan Baik
Salah satu prinsip pendidikan CM adalah education is discipline. Sebagai orangtua, kami wajib melatihkan pada anak kebiasaan-kebiasaan baik. Taat tanpa banyak alasan (obedience), melakukan sesuatu sebaik-baiknya (perfect execution), menjaga kerapian (neatness), ritme hidup yang teratur (regularity), punya inisiatif, integritas, dll. – semua kebiasaan ini harus kami latihkan secara teratur, terencana dan bertahap
Kebiasaan baik kami latihkan lewat aktivitas harian. Mulai dari belajar menata tempat tidurnya sendiri, mengeringkan dan menjemur baju, masak nasi, menggoreng telur, mengurusi hewan piaraan, menata sandal, sampai menyapu, mengepel, dan membersihkan kamar mandi, semua pekerjaan rumah tangga bisa jadi sarana melatihkan kebiasaan baik.
Saya biasanya akan ngobrol dulu dengan istri, kebiasaan mana yang prioritas perlu dilatihkan. Setelah itu, kami berdua bekerja sama, bareng mengawal proses pelatihan sampai kebiasaan baik itu mapan, menjadi “milik” anak.
Anak itu pribadi yang belum matang dalam kekuatan kehendak, jadi jangan bayangkan proses pembiasaan itu mudah ya. Jatuh bangun. Tarik ulur. Tidak semalam jadi. Kadang suatu kebiasaan baik tampak sudah mapan, tapi setelah diuji ternyata belum.
Dalam habit training, istri dan saya selalu saling mengingatkan agar setia pada tujuan, tapi juga harus realistis. Jangan berekspektasi terlalu tinggi karena, jangankan anak-anak, kami sendiri juga masih sering jatuh pada kesalahan yang sama.
Membantu Belajar Akademis
Istri dan saya sepakat bahwa meski tidak sekolah, anak-anak harus dibekali ijazah, kalau-kalau nanti mereka mau lanjut kuliah atau untuk kepentingan lainnya. Karena itu, kami mendaftarkan anak-anak ke Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai peserta pendidikan kesetaraan.
Nah, kebetulan istri saya kurang telaten dengan urusan pelajaran ala sekolah formal. Akhirnya, mengingat latar belakang saya sebagai guru, kami sepakat bahwa saya yang bertanggung jawab buat segala urusan terkait persiapan ujian kesetaraan.
Jadi, di akhir pekan atau hari libur sekolah, saya dampingi anak-anak belajar matematika, IPA, bahasa Inggris, dan mata pelajaran lain sesuai modul dari PKBM. Karena anak-anak sudah terbiasa membaca living books dengan berkonsentrasi, sesinya tidak perlu lama-lama. Maksimal 30 menit, target hari itu sudah tercapai.
Mewariskan Keterampilan
Selain pelajaran akademis, sebagai praktisi dan pecinta musik, saya sangat memperhatikan pelajaran musik anak-anak. Selama masih bisa, saya sendiri yang mengajar mereka. Di pagi hari, ketika saya bekerja, mereka berlatih main musik secara mandiri. Sore atau malam setelah pulang, akan saya cek hasil latihan mereka.
Yang wajib buat anak-anak saya adalah main piano, semuanya, tidak peduli berbakat atau tidak. Soalnya, banyak karakter baik yang bisa diperoleh dari latihan piano, seperti ketekunan, kepercayaan diri, kedisiplinan, kepatuhan, dll. – selain keterampilan main piano itu sendiri.
Makin lama, anak-anak makin senang musik dan tertarik pada alat musik lain. Si kecil minta tambah diajari main gitar, tapi karena tangannya masih terlalu pendek, saya ajari dia ukulele dulu. Sementara, si sulung juga mendalami organ (electone). Untuk si sulung yang punya minat lebih pada piano klasik, saya carikan guru lain yang lebih mampu.
Membangun Kedekatan
Saya sadari waktu saya bersama anak sangat terbatas. Tapi, saya tidak mau kehilangan kebersamaan dengan mereka, lalu kaget saat mereka “tiba-tiba” sudah besar, sudah dewasa, dan akan meninggalkan rumah. Oleh karena itu, saya terus berusaha meningkatkan kualitas relasi kami lewat beberapa cara.
Pertama, jalan-jalan.
Kegiatan ini sangat sederhana, tapi dampaknya bagi relasi kami sangat luar biasa. Tiap sore atau malam, kami jalan-jalan di sekitar perumahan, sesekali keluar ke alun-alun, atau sekadar duduk-duduk di taman kota. Syukurlah di Malang banyak taman yang bisa kami kunjungi. Istri saya tidak selalu ikut. Si Mama sudah sepanjang hari bersama anak-anak, saya pikir dia perlu waktu untuk dirinya sendiri, kecuali dia yang bilang ingin ikut ikut jalan-jalan.
Kedua, bermain.
Bermain sangat terasa manfaatnya untuk membangun kebersamaan. Dulu ketika mereka masih lebih kecil, permainan favorit kami adalah sembunyi-sembunyian dan drama-dramaan. Sekarang kami seringnya main kartu, catur, domino. Prinsipnya, anak-anak yang memilih mau main apa, saya hanya mengikuti. Main apa saja oke, asal semua terlibat dan gembira.
Ketiga, baca buku cerita sebelum tidur.
Saya mendapati aktivitas ini penting sekali untuk menjalin ikatan batin sekaligus menanamkan rasa cinta membaca ketika anak-anak masih kecil. Sekarang anak-anak sudah besar, sudah lancar membaca sendiri, jujur saya sempat berpikir membacakan buku cerita sebelum tidur sudah tidak relevan lagi buat kami.
Namun, setelah saya renungkan, pendapat itu ternyata tidak tepat. Meski sudah besar, anak-anak tetap akan mendapat manfaat ketika dibacakan cerita sebelum tidur oleh saya. Bukan hanya mendapat hikmah dari ceritanya, mereka juga latihan menyimak dengan fokus (habit of attention) dan ikatan batin kami pun tetap terjaga.
Keempat, menulis jurnal anak.
Di atas tadi sempat saya singgung soal jurnal syukur dan kemenangan. Ini rutinitas kami tiap malam, sebelum kami doa malam dan membaca cerita. Jurnal apakah ini?
Jurnal syukur berisi catatan hal-hal yang anak syukuri hari ini. Jadi, setiap malam, mereka bercerita kepada saya, apa yang mereka syukuri hari itu. Misalnya, mereka bersyukur karena hari itu bisa makan dan minum, bisa nature walk, dibelikan sepeda, dikunjungi kawan dari komunitas CM, bisa camping, binatang piaraan sembuh dari sakit, dsb. Saya menyimak, lalu mencatat di jurnal syukur masing-masing anak.
Jurnal kemenangan berisi kemenangan anak atas impuls, keberhasilan mereka memilih melakukan yang baik, bukan mengikuti keinginan sesaat. Misalnya, ketika bangun tidur si sulung merasa masih ingin bermalas-malasan, tapi lalu dia memilih untuk segera bangun. Pilihan yang baik ini saya catat di jurnal kemenangannya.
Semua syukur dan kemenangan yang anak-anak ceritakan, saya catat dalam jurnal. Kegiatan ini sangat penting bagi saya yang tidak mengikuti kegiatan harian mereka. Saya jadi tahu kesibukan sekaligus pergulatan mereka sepanjang hari. Anak-anak sendiri jadi terbiasa melatih kehendaknya dan mensyukuri segala hal, bahkan hal-hal yang paling sederhana sekalipun.
Mendidik Anak, Mendidik Diri Sendiri
Saya sangat bersyukur, meskipun waktu, tenaga, dan pikiran saya serba terbatas, tapi metode CM ini membuat saya punya acuan dalam mendidik anak-anak. Satu hal yang kian saya sadari, ternyata mendidik anak itu berarti saya juga harus mendidik diri sendiri.
Menurut metode CM, peran orangtua itu pertama-tama adalah sebagai “atmosfer”. Dalam volume Parents and Children, halaman 36-37, CM menulis:
“Orangtua tidak bisa melarikan diri dari tugas ini: mereka mau tidak mau harus menjadi inspirator bagi anak-anak mereka. Dari orangtualah terpancar atmosfer yang melingkupi pikiran anak, sumber ide-ide yang anak hirup, ide-ide yang akan terus bercokol di benak anak, yang membentuk sudut pandang dan seleranya seumur hidup, entah terhadap hal yang keji atau mulia, entah hal yang duniawi atau ilahi.”
Sebagai ayah, saya harus menciptakan atmosfer positif buat anak-anak lewat teladan hidup saya setiap hari. Bisakah anak jadi rajin membaca, kalau saya sendiri tidak pernah membaca? Bisakah anak-anak hidup rukun, kalau saya dan istri suka bertengkar? Bisakah anak jadi bijaksana menggunakan waktu, sedang saya main HP terus? Bisakah anak bersikap sabar, kalau saya sendiri sering marah-marah?
Yang saya ingin anak-anak lakukan haruslah saya lakukan dulu. Saya harus siap bertumbuh bersama anak-anak. Kalau ingin anak-anak menjadi pribadi luhur (magnanimous), saya pun harus menuju ke sana. Bayangkan betapa indahnya dunia kalau semua anak dan orangtua digerakkan oleh visi yang sama, punya minat dan kepedulian yang sama, saling mendukung dalam upaya memiliki karakter luhur!
Semakin saya renungkan hal ini, semakin saya diingatkan betapa pentingnya tugas dan tanggungjawab yang saya emban sebagai seorang ayah. Dulu saya sendiri yang meminta diberi oleh Tuhan tanggung jawab ini. Dan kini, setelah tanggung jawab itu saya terima, saya tahu: saya tak mungkin berpaling!
no replies