“Kata-kata yang kita pilih dalam berinteraksi dengan anak punya kuasa untuk menyembuhkan atau menyakiti, menciptakan jarak atau memupuk keintiman, mengunci perasaan atau menyentuh dan membuka hati, memperkuat ketergantungan atau memberdayakan.” (Naomi Aldort)
Naomi Aldort adalah penulis salah satu buku parenting yang paling mempengaruhi saya, judulnya Raising Our Children Raising Ourselves. Karena itulah saya merasa sangat beruntung ketika bisa menyimak langsung presentasinya pada sesi Conscious Parenting Summit 2012.
Dalam sesi ini, Naomi mengelaborasi metode validasi emosi yang telah ia sebutkan dalam bukunya. Dengan menerapkan validasi emosi, kita bisa memiliki relasi orangtua-anak yang bebas konflik. Membentak pun tak perlu lagi orangtua lakukan.
Apa itu validasi emosi?
Validasi emosi hakikatnya adalah kesediaan kita untuk menerima, menghargai, mengatakan “Ya, saya mengerti!” secara verbal ataupun non-verbal kepada setiap ekspresi emosional yang anak tunjukkan.
Validasi berkebalikan dari negasi atau penyangkalan – entah itu tidak mau mengakui, meremehkan, merendahkan, atau menyuruh anak menyembunyikan perasaannya.
Yang Ini Penyangkalan …
Katakanlah anak kita jatuh. Lututnya merah, tapi kita lihat tidak ada lecet atau luka terbuka. “Pasti tidak terlalu sakit”, pikir kita. Tapi kok anak menangis keras-keras, seolah dunia mau runtuh? “Lebay, berlebihan!” pikir kita.
Maka apa yang akan kita katakan? “Diam, gitu aja nangis!” “Sudah, tidak apa-apa, sebentar juga sakitnya hilang!” “Kan nggak lecet, nggak terlalu sakit itu!” “Ngapain sih nangis keras-keras? Cengeng banget kamu!”
Ini artinya, kita menyangkal perasaan anak. Secara sepihak, kita memaksa anak untuk yakin bahwa itu tidak sakit, bahwa sakitnya tidak akan lama, bahwa itu tidak perlu ditangisi. Kita menuntut mereka segera berhenti menangis, padahal mereka sedang merasa perlu menangis.
Penyangkalan semacam ini membuat anak terasing dari perasaan-perasaan mereka sendiri, bahkan merasa bersalah atas emosi mereka. “Aku tak boleh menangis! Aku tak boleh sedih! Aku tak boleh marah!” dan seterusnya. Ini sangat tidak sehat secara emosional dalam jangka panjang.
Di sisi lain, penyangkalan memblokir koneksi batin antara anak dan orangtua. Anak merasa bahwa orangtua tidak menerima dirinya apa adanya, hanya mau melihat yang baik-baik saja, tidak mempercayai perasaannya.
Tak heran kalau anak makin hari makin tertutup, menyembunyikan perasaannya dari orangtuanya, dan makin lama orangtua dan anak makin tidak mengenal satu sama lain – dan makin banyak konflik yang muncul!
Yang Ini Validasi …
Sekarang bandingkan dengan teknik validasi emosi. Anak jatuh, lututnya merah, dan ia menangis keras-keras. Kita berjongkok di sampingnya, memandang dan mendengar semua isakannya dengan penuh perhatian, dan berusaha memahami pengalaman itu dari sudut pandang anak.
Fokus kita tertuju pada anak dan kita berusaha memahami apa sebetulnya yang anak ingin ekspresikan lewat tangisan itu. Alih-alih berusaha menghentikan tangisannya, kita mencoba membantu dia memverbalisasi yang ia alami, pikirkan, dan rasakan.
“Kau tadi lari-lari? Lalu tersandung? Lalu jatuh? Lututmu sakit? Kamu menangis karena sakit atau karena kaget?” Kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Anak merespons dan mengkonfirmasi, membuat kita lebih paham sudut pandangnya.
Kita bisa mengangguk-angguk dan berkata, “Mama bisa paham, kapan hari Mama waktu jatuh juga rasanya sakit.” Setelah itu kita fasilitasi anak untuk berpikir apa yang mau ia lakukan untuk mengatasi rasa sakitnya. Misalnya, “Jadi sekarang kamu ingin minum air dulu atau Mama peluk dulu? Kau mau pulang untuk istirahat sebentar? Oh, kau ingin bermain lagi? Baiklah.”
Pada dasarnya, anak itu tangguh secara emosional dan tidak suka berlama-lama berkubang di perasaan tertentu, asalkan dia yakin bahwa dia dimengerti. Ketika perasaannya divalidasi, anak dengan cepat akan melewati perasaan negatifnya lalu kembali ke mood gembira.
Validasi Bukan Dramatisasi
Saat melakukan validasi, jangan terjebak ke dalam dramatisasi, misalnya: “Aduh, sakit sekali ya! Kasihan sekali kamu! Dasar batu nakal! Huh, nih, Mama sudah pukul batu ini, yang bikin kamu jatuh. Ya ampun, sampai lecet begitu? Sayangku, hei, hei, Pa, sini lihat, dedek luka nih gara-gara jatuh!”
Dramatisasi semacam itu akan membuat anak menangis lebih keras, bukan karena dia butuh menangis, tapi karena dia dibuat yakin bahwa situasinya lebih mengerikan dari yang dia rasakan. Dan barangkali lain kali dia akan menangis keras-keras semacam itu hanya karena merasa senang dengan segala perhatian yang ia peroleh dari tangisannya. Siapa bilang anak-anak itu bodoh?
Prinsip Dasarnya …
Validasi emosi butuh dua modal penting: sikap percaya dan respek orangtua terhadap anak. Metode ini akan kontraproduktif kalau orangtua meyakini bahwa “anak-anak terlahir liar dan harus dijinakkan”. Keyakinan semacam itu akan menciptakan atmosfer menang/kalah. Pengasuhan anak menjadi pertarungan kehendak, siapa yang lebih kuat, lebih ngeyel, lebih keras suaranya, dia yang menang!
Validasi emosi akan berjalan baik kalau, ketika berurusan dengan anak, orangtua membayangkan sedang berhadapan dengan tamu atau sahabat yang dia hormati. Masa kita membentak-bentak tamu? Masa kita merebut barang dari tangan sahabat kita sambil menjewer telinganya? Katakanlah sahabat kita itu duduk di kursi roda dan tidak bisa berkegiatan seterampil kita, kita tetap akan menghormatinya.
Begitu pula anak-anak. Mereka mungkin berbadan lebih kecil, belum terampil mengerjakan tugas-tugas harian, belum bisa membaca, tapi kalau kita betul-betul percaya bahwa anak itu terlahir sebagai manusia yang berderajat setara dengan kita, maka kita pun akan memperlakukannya penuh respek.
Tetap Ada Batasnya …
Apakah atas nama respek, lantas kita harus membiarkan anak bertingkah semaunya? Tentu saja tidak. Seperti Charlotte Mason, Naomi Aldort juga menekankan bahwa menghargai anak bukan berarti kita harus selalu menuruti keinginannya. Respek kepada anak bukan alasan untuk meniadakan aturan.
Orangtua harus tetap menjadi pembimbing anak karena anak belum sepenuhnya tahu apa yang baik dan apa yang buruk. Ayah-ibu mesti sadar anak bukan orang dewasa yang pertimbangan moralnya sudah matang. Anak masih harus dibantu membuat pilihan-pilihan yang bijaksana.
Memilih itu menghabiskan banyak energi, dan anak tak perlu selalu diberi banyak pilihan. Bertanya kepada anak batita: “Kamu mau pakai topi yang merah atau yang putih atau yang hijau?” justru bakal memboroskan energi si anak. Lebih baik, pilihkan dan langsung pakaikan saja satu topi ke kepalanya, kecuali dia memang minta memakai topi yang lain.
Dalam hal prinsip, bisa jadi anak tidak punya pilihan sama sekali. Misalnya, soal hukum kesehatan. Anak suka makan permen, tapi dia belum sepenuhnya paham bahwa makan permen itu tidak sehat, dia hanya belum mampu mengelola hasrat makan permen. Maka, orangtua perlu membuat aturan: tidak boleh makan permen berlebihan.
Ketika anak menangis ingin permen? Validasilah perasaan sedihnya, tapi tetap jauhkan permennya. Dan kalau memang Anda membuat aturan “kita tidak makan permen” ya jangan ajak dia ke toko permen. Jangan berikan stimulasi yang melampaui kemampuan anak untuk menanggungnya. Jangan ekspos anak pada situasi-situasi menggoda yang membuat ia sulit mengendalikan dirinya.
Kalau Tangisnya Malah Menjadi …
Ada kemungkinan saat divalidasi, anak malah menangis makin kencang. Naomi bilang itu wajar terjadi kalau sebelumnya anak sering disangkal. Ketika dalam diri anak banyak tumpukan emosi dari peristiwa-peristiwa lampau, barangkali dia akan butuh menangis dulu lebih keras atau lebih lama untuk merilis perasaannya.
Menghadapi anak yang menangis seperti itu, anggap wajar saja. Anak menangis itu wajar. Tidak perlu dihentikan. Biarkan dia betul-betul puas mengungkapkan pendaman emosinya. Kita bisa tanya padanya: “Apakah sudah mau bicara dengan ibu?”
Kalau anak belum merespons, sampaikan: “Baiklah, menangislah dulu, nanti kalau sudah mau bicara dengan Mama, Mama ada di sebelah situ ya.” Percayalah bahwa luapan emosi anak akhirnya akan reda juga. Setelah emosi reda, baru kita lanjutkan lagi upaya memverbalisasi pikiran dan perasaan anak, serta mencari solusi untuk masalahnya.
Sekarang, Kendalanya …
Kendala yang paling besar untuk melaksanakan teknik validasi emosi ini tak lain adalah diri kita sendiri! Kita terlalu gampang naik darah, terlalu cepat melontarkan kata-kata pedas, tangan kita terlalu cepat bergerak, mata kita terlalu cepat melotot, emosi kita terlalu mudah meledak … itulah kendala terbesar yang musti kita tangani lebih dulu.
Bagaimana caranya?
Bayangkan pikiran kita adalah layar komputer. Ketika anak kita menangis atau tantrum atau rewel atau apa pun bahasa kita untuk itu, di layar benak kita akan bermunculan jendela-jendela (windows) yang bertuliskan pikiran-pikiran buruk. “Kurang ajar!” atau “Dasar cengeng!” atau “Tidak tahu diri!” atau “Pengganggu!” dan seterusnya.
Semua pikiran buruk ini barangkali adalah kata-kata yang dulu kita dengar dari orangtua atau orang-orang di sekitar kita ketika kita masih kecil. Mungkin juga itu muncul dari ketakutan-ketakutan lain yang tersembunyi dalam diri kita.
Program-program lama ini menyuruh kita mengatakan atau melakukan sesuatu yang buruk kepada anak. Kalau kita langsung menuruti perintah mereka itu, kita pasti menyesal!
Jadi, langkah penting sebelum melakukan validasi emosi adalah tutup semua jendela program-program lama yang bermunculan di kepala kita itu. Tarik nafas, tahan diri sampai semuanya reda, baru setelah itu kita akan terhubung dengan kesadaran tentang apa yang sebaiknya dikatakan atau dilakukan. Kita akan terhubung dengan diri kita yang sejati – sisi ‘orangtua bijak dan penuh cinta’ yang menjadi gambaran ideal kita.
Tentu saja butuh praktek dan kemauan keras untuk berubah di sini. Itulah yang dimaksudkan dengan raising children is raising ourselves, mendidik anak sama dengan mendidik diri sendiri.
“Yang kita perlu lakukan adalah meningkatkan kepekaan tentang apa yang terjadi dalam diri kita sendiri maupun anak kita, merawat apa yang ada, terkoneksi dengan anak, bersikap respek dan mempercayai anak. Maka kita akan mendapatkan anak yang berperilaku manis bukan karena kita menakut-nakutinya, bukan karena dia takut kita marahi atau berusaha menyenangkan kita supaya disayangi. Namun, kita memperoleh anak yang bahagia dan damai, yang berperilaku sepenuhnya baik karena keinginannya sendiri, atas pilihan bebasnya sendiri, sebab perlakuan orangtuanya padanya memungkinkan itu!” (Naomi Aldort)
no replies