Biasanya ibu dan pasangan baru datang ke kelas prenatal ketika kehamilannya sudah separuh jalan. Memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, tapi sebaiknya penyambutan calon manusia baru itu dipersiapkan secara sadar sebelum konsepsi terjadi.
Pesan itu saya terima dari Elena Tonetti-Vladimirova, aktivis persalinan alamiah asal Siberia dan pembuat film dokumenter ‘Birth As We Know It’, saat menjadi peserta Conscious Parenting Summit 2012. Proses pembuahan bakal janin semestinya berlangsung atas dasar kesadaran. Conscious conception, istilah Elena.
Mendengar istilah ini, saya jadi teringat kata-kata dokter kandungan saya dulu. “Mau punya anak berapa saja tidak masalah, yang penting semuanya memang kehamilan yang sudah direncanakan.” Elena punya pesan yang kurang lebih sama, namun dengan muatan lebih mendalam dari sekedar: “Jangan sampai ‘kesundulan’!”
Siapkan Jauh-Jauh Hari
Memang, alangkah indahnya jika calon bayi sudah disambut sejak sebelum ia dikandung. Ini berarti, pertama-tama, ayah dan ibu memiliki tataran kesiapan mental yang sama untuk menghadirkan manusia baru ke dunia. Mereka harus sudah betul-betul membahas segala sesuatunya: mengapa mereka menginginkan anak, kapan waktu yang tepat untuk memiliki anak, dan segala jenis pertanyaan rasional lainnya.
“Jika proses ini tidak terjadi, kehamilan akan menjadi suatu ‘kecelakaan’ – tiba-tiba saja mereka sadar bahwa kehamilan telah terjadi,” kata Elena. Meskipun kehamilan itu tetap harus disyukuri, namun akan jauh lebih baik jika berkah itu diterima dalam kondisi siap.
Setelah pembahasan rasional dilakukan secara matang, tahap konsepsi dalam kesadaran berikutnya adalah doa, meditasi, atau segala teknis ritual lain yang menciptakan semacam ‘koneksi spiritual’ antara calon orangtua dengan hadirat Pencipta Semesta dan bakal bayi.
Ayah dan ibu musti berdoa agar jiwa anak, yang akan hadir ke dalam kandungan nanti, datang untuk suatu tujuan hidup tertentu. Setiap anak datang ke dunia untuk tujuan yang spesifik, demikian keyakinan Elena. Ayah-ibu mempersilakan jiwa itu untuk hadir dalam kehidupan mereka dan berjanji untuk mendampinginya dalam rangka mewujudkan tujuan hidupnya, bukan untuk mendiktenya, apalagi untuk menyakitinya. Maka ketika konsepsi terjadi, prosesnya akan menjadi begitu indah dan luar biasa.
Dari Kesadaran ke Tindakan
Tidak berhenti di doa. Kehamilan berbasis kesadaran juga berarti bahwa kedua orangtua sepenuhnya eling akan dampak-dampak dari pilihan, tindakan, dan pikiran mereka terhadap calon bayi.
Apa yang kita makan atau tidak, apa yang kita kerjakan atau tidak, semua berpengaruh kepada calon manusia baru yang akan lahir sejak sebelum sel telur dan sperma bertemu. Entah orangtua bugar secara jasmani, atau suka makan junk food, atau terikat kecanduan tertentu, apa pun, semua itu akan menentukan mutu sel telur dan sperma. Janin yang terbentuk akan menjadi hasil dari gaya hidup kita.
Menurut riset, saat ini terjadi penurunan mutu sperma lelaki masa kini dibanding masa lampau. Itu adalah dampak dari kerusakan lingkungan, pola makan yang buruk, gaya hidup bermalas-malasan, dan sebagainya. Terlalu banyak makan, terlalu banyak komputer. Kurang aktivitas, kurang sering jalan bertelanjang kaki, dan sebagainya.
Mengamati gaya hidup berbagai suku di dunia, Elena mengidentifikasi jalan bertelanjang kaki sebagai satu faktor pemelihara kesehatan yang penting. Ibarat telepon seluler harus di-charge lewat panel logam kecil di pantat bodinya, begitu pula manusia harus disi ulang, memperoleh energi bumi dari kaki telanjang. Semua suku yang bergaya hidup alamiah, jalan ke mana-mana dengan kaki telanjang, relatif berumur panjang, sehat dan bahagia. (Hmmm … padahal kita, para orangtua ini, suka ribut kalau melihat anak-anak kita jalan keluar rumah tanpa alas kaki ya?)
Baik Awalnya, Baik Akhirnya
Jika sudah dilandasi kesadaran sejak konsepsi, makin besar peluang kita untuk melahirkan bebas stres atau rasa takut. Stres saat persalinan menyebabkan bayi lahir dengan kadar adrenalin yang tinggi dalam darahnya. Namun, persalinan yang tenang-damai-bahagia akan menghadirkan hormon-hormon cinta dan kebahagiaan – dopamin, oksitosin, serotonin.
Ada jejak yang tertinggal dalam dari proses melahirkan itu di otak anak (limbic imprint), di psike, juga di sistem syarafnya. Elena menganggap wajah peradaban sekarang yang penuh kekerasan, kepedihan, peperangan, rasa takut, penolakan, gila harta atau kekuasaan, terkait dengan trauma kita dulu dalam kandungan dan saat dilahirkan.
Kabar baiknya adalah trauma itu bisa disembuhkan dan akan sangat baik apabila ayah-ibu menyembuhkan diri sendiri dulu sebelum menyambut buah hati mereka. Setelah ayah-ibu, Elena juga menyarankan agar siapa saja yang akan menemani proses persalinan memperoleh terapi pemulihan trauma seperti itu – entah sahabat karib, saudari-saudari, sampai orangtua dan mertua. “Orangtua dan mertua juga perlu ‘digarap’ karena kecemasan dan penolakan mereka pada pilihan ayah atau ibu bisa menjadi penyebab komplikasi persalinan.”
Berhasil mengalami konsepsi dalam kesadaran merupakan awalan untuk selanjutnya menjadi orangtua yang sadar (conscious parenting). Yakinkah Anda bahwa masa depan umat manusia ada di tangan mereka yang sekarang ini disebut orangtua, atau akan menjadi orangtua? Jika ya, jangan sepelekan peran anda sendiri untuk mewujudkannya.
no replies