“Baru pada era inilah pertama kali kita lihat tercatat dalam sejarah ada anak balita bunuh diri, pertama kali dalam sejarah tercatat peningkatan sepuluh ribu kali lipat kasus autisma. Apakah mungkin ini terkait cara kita menyambut bayi-bayi kita ke dunia?”
Itulah pertanyaan yang dilontarkan Barbara Harper, salah satu pembicara dalam Conscious Parenting Summit 2012 yang saya ikuti. Dia adalah pegiat persalinan dalam air dan pendiri situs Water Birth International (waterbirth.org).
Sembuh dari Trauma
Perjalanan aktivisme Barbara diawali oleh kisah persalinan pertamanya yang penuh trauma, sehingga ia sempat berketetapan hati tak mau melahirkan lagi. Koneksi batinnya dengan si sulung pun baru muncul setelah bayi perempuan itu berumur tiga bulan. “Kenyataan bahwa dia dipisahkan dari saya (sesaat setelah lahir) telah mengubah biokimia putri saya dan saya sendiri, ada sesuatu yang hilang,” katanya.
Baru setelah berkenalan dengan konsep water birth, Barbara membuka hati untuk kemungkinan punya anak lagi. “Kalau persalinannya seperti ini, aku mau melahirkan lagi,” katanya kepada sang suami, yang tentu saja menyambut sukacita.
Barbara lantas mencari informasi ke mana-mana: buku-buku kedokteran, buku-buku antropologi, mendatangi fakultas-fakultas kedokteran. Ia menemukan rujukan studi antropologis tentang water birth di berbagai negeri – suku Menehunes di Hawaii, Maori di Selandia Baru, juga salah satu suku di pantai Afrika Barat.
Barbara teryakinkan bahwa persalinan di dalam air sangat kondusif untuk memperoleh persalinan yang bebas trauma. Ibarat sebutir telur yang berantakan jatuh di lantai dan telur yang tetap utuh saat tercemplung ke dalam air, ia yakin air melindungi organ-organ tubuh dan otak bayi saat kelahirannya. “Air juga komunikator yang baik,” tambahnya. “Di dalam air, ibu menjadi lebih peka terhadap isyarat bayi, kapan ia mau keluar dari rahim.”
Begitu hamil, makin kuat cita-cita Barbara untuk melahirkan dalam air dan ia merasa Semesta mendukung. Ia memperoleh kontak dengan tokoh-tokoh kunciwater birth dan akhirnya berhasil melahirkan dengan cara impiannya di rumahnya sendiri. Persalinan kedua ini terasa begitu menakjubkan dan merevolusi batin sampai-sampai ia berseru pada bidan yang mendampinginya, “Saya harus menceritakan hal ini pada seluruh dunia!”
Semua Dimulai dari Kandungan
Meskipun giat mengkampanyekan water birth, Barbara tidak mengatakan bahwa persalinan ramah jiwa harus dengan water birth. Hakikatnya, persalinan ramah jiwa bukanlah prosedur tertentu yang bisa dirumuskan dengan selembar checklist.
Persalinan ramah jiwa musti berangkat dari jiwa yang ramah. Persalinan semacam itu bukanlah hasil yang bisa diperoleh secara instan. Ibu tidak bisa sekadarnyemplung ke dalam bak air saat jam persalinan mendekat, tetapi ia sudah harus mempersiapkan batinnya sejak jauh-jauh hari.
Faktor tak terlihat seperti cinta atau takut berpengaruh besar pada perkembangan fisik. Ketegangan dan trauma persalinan bisa menghasilkan gangguan fisik pada bayi, termasuk kolik. Barbara mengutip pernyataan Gabor Mate, seorang dokter di Vancouver, yang mendalami studi keterkaitan antara kondisi batin dan jasmaniah manusia: “Semua penyakit kronis dimulai dari kandungan. Semua kecanduan dimulai dari kandungan. Semua penyakit jiwa dimulai dari kandungan.”
Otak bayi berada dalam gelombang theta, kata Barbara, dan dia menyerap energi apa pun yang ada di sekitarnya. Jika ibu merasa takut, panik, cemas, ngeri, maka energi negatif itu juga akan berimbas ke jiwa bayi.
Bukan hanya ibu. Orang-orang yang mengelilingi ibu juga musti siap. “Para pendamping, entah bidan, doula, suami, perawat – tugas mereka adalah membuat ruangan persalinan dipenuhi dengan rasa cinta, sehingga hanya ada cinta dan cinta saja di dalamnya, supaya bayi juga menyerap itu. Jadi, apakah rumah-rumah sakit kita sudah penuh cinta?”
Aspek pengkondisian batin ibu dan lingkunganya inilah yang paling berat dalam proses merencanakan persalinan ramah jiwa. Barbara menyebutkan waktu ideal 2 tahun sebagai masa persiapan sebelum mengandung buah hati.
“Bersihkan tubuhmu, bersihkan jiwamu. Banyak-banyak menyanyi, banyak-banyak belajar dan merenungkan nilai-nilai hidup yang kau percayai. Afirmasi diri dengan pikiran-pikiran positif. Singkirkan apa saja yang menghalangi proses pemurnian batin,” kata Barbara yang mencoret keberadaan televisi di rumahnya sebagai bagian dari proses persiapannya menjadi ibu.
Selain mengumpulkan pengetahuan, Barbara bilang kunci keberhasilan melakukangentle birth dan water birth adalah: “Berimanlah. Percayai badanmu, percayai bayimu.” Perlu ada perubahan cara pikir (mindset) dari ibu. Gantilah istilah-istilah yang menyiratkan sikap dingin, ketakutan, dan penolakan dengan istilah-istilah yang lebih hangat dan positif. Barbara pribadi mengganti istilah “kontraksi” dengan “gelombang”, “mulut rahim” dengan “gerbang bintang”, “mengejan” dengan “proses”, dan seterusnya.
Menyembuhkan Yang Terlanjur
Alangkah indahnya jika ibu betul-betul siap menyambut kehadiran buah hati dan jika proses persalinan berjalan tanpa trauma. Namun, bagaimana jika anak kita terlanjur lahir dalam kondisi sebaliknya? Apa yang bisa kita lakukan untuk menyembuhkan trauma itu?
Barbara amat sangat menyarankan skin-to-skin contact, berpelukan dengan sentuhan kulit antara ibu dan anak. Dada telanjang bertemu dada telanjang. Menurutnya, masa inisiasi kontak kulit antara ibu dan bayi baru lahir idealnya minimum 6 jam.
“Rahim adalah habitat untuk menumbuhkan janin, kulit adalah habitat untuk menumbuhkan bayi baru lahir,” ujarnya. “Maka, hindarilah stroller, tempat duduk bayi, dan benda-benda semacam itu. Tempelkanlah bayimu. Sentuhan kulit tidak terbatas di kamar tidur saja. Tempelkanlah bayimu sesering kamu bisa, baik dengan ibu atau ayah.”
Manfaat psikologis sentuhan kulit untuk menyembuhkan batin lewat sentuhan kulit tidak terbatas untuk bayi, tapi juga kakak-kakaknya yang lebih besar. “Mulailah skin-to-skin, entah itu 2 jam setelah dia lahir, atau 5 jam kemudian, 2 hari kemudian, 3 minggu kemudian, bahkan 5 tahun kemudian!”
Terapi mahapenting berikutnya untuk menyembuhkan trauma kelahiran adalah sikap kasih sayang yang konsisten dari pihak orangtua. Wah, saya tidak bisa lebih setuju lagi dengan saran Barbara yang ini!
no replies