“Mboten saget (tidak bisa) Bahasa Indonesia,” halus suara perempuan bercaping itu menjawab saat diajak berbincang. Namanya Hartati, biasa dipanggil Mbak Tatik, salah satu Kartini Kendeng yang maju terdepan untuk menolak pabrik semen di Rembang.
CMid menemuinya Rabu itu di bawah terpal biru, tenda perjuangan warga yang didirikan di trotoar emperan kantor Gubernur Jawa Tengah, Jalan Pahlawan, Semarang. Sudah tiga hari mereka bertahan di sana, menanti kepastian pemerintahan Ganjar Pranowo taat pada keputusan Mahkamah Agung untuk mencabut izin lingkungan pabrik semen.
Membesarkan Anak sebagai Pejuang Lingkungan
Belum lama berbincang, datang satu truk penuh lelaki-perempuan, tua-muda. “Itu sedulur sikep datang dari desa,” tunjuk Hartati. Seorang anak lelaki beranjak remaja berbaju hitam-hitam melompat turun dari truk lalu mendekati Hartati. Ternyata itu Bagus, anak kedua Hartati dan suaminya, Gunretno.
“Yang tiga lagi perempuan ada di desa,” terang sang ibu. “Sudah biasa saya tinggal, Mbak. Waktu pertama kali ikut aksi menolak semen sepuluh tahun yang lalu, terpaksa anak paling kecil juga saya tinggal di rumah, padahal baru selapanan (tiga puluh lima hari). Tapi mereka paham aksi-aksi ini buat apa. Dan jadinya malah anak-anak sekarang mandiri, apa-apa sudah bisa mengerjakan sendiri.”
Petani perempuan ini lantas bercerita bahwa kehidupan warga sedulur sikep sangat dekat dengan alam. Mereka mengajarkan kecintaan pada Ibu Bumi lewat tembang-tembang dan cerita lisan. “Jadi anak-anak itu sudah bisa merasakan sedih, Mbak, lihat gunung dikeruk, alam dirusak, mesakne yo Bu gununge nangis(kasihan ya, Bu, gunungnya menangis),” Hartati menirukan ucapan anaknya.
“Cucu saya yang baru umur dua tahun saja sudah biasa diajak aksi, sudah bisa nyanyi walaupun cedhal-cedhal, pasti menang, pasti menang,” sambil tersenyum sang nenek menceritakan perilaku Merdhiko Yuwono, anak dari putri sulungnya. Lagu yang dinyanyikan Merdhiko itu salah satu lagu perjuangan warga Kendeng:Gunung Kendeng tak kan kulepas, selamanya harus kita jaga, kita pasti menang.
Hadapi Ancaman Tembak di Tempat
Sementara kebanyakan ibu lain akan memilih tenang-tenang di rumah, para Kartini Kendeng maju paling depan di berbagai aksi. Tanpa kekerasan atau ujar kebencian, mereka berpeluh, menyanyi, duduk kedinginan dan kepanasan di depan kantor-kantor pejabat pemerintah. Berhadapan dengan aparat keamanan, menyemen kaki di depan istana Presiden, sampai jalan kaki 150-an kilometer selama lima hari, semua mereka lakoni demi menghentikan operasi pabrik semen. “Diancam tembak di tempat juga pernah,” kenang Hartati. “Tapi malah tambah semangat!”
Keturunan pemuka sedulur sikep Mbah Suronggono ini malah heran ketika ditanya, “Kok mau bersusah-susah seperti itu? Apa tidak takut mati?”. Baginya, yang dia kerjakan itu wajar, sudah seharusnya.
“Ibu Bumi itu ibarat ibuku sendiri, yang melahirkan, yang menyusui aku, yang aku kencingi, yang aku mintai makan dan semuanya, tidak boleh kurang ajar pada Ibu Bumi.”
Demikian ungkap Hartati tentang yang ia yakini, diaminkan oleh Yu Sukinah yang duduk di sebelahnya. Rasa berhutang budi pada Ibu Bumi, itulah alasan utama ibu-ibu sederhana ini maju paling depan melawan kekuasaan industri yang bermain mata dengan pejabat pemerintah.
Dengan mata agak berkaca-kaca, Hartati mendaraskan satu lagi tembang yang selalu mengaduk-aduk hatinya. Ibu Bumi kang maringi, Ibu Bumi dilarani, Ibu Bumi kang ngadili (Ibu Bumi yang memberi, Ibu Bumi disakiti, Ibu Bumi yang bakal menghakimi). “(Perjuangan) ini kan buat anak cucu, Mbak,” lanjutnya. Kalau soal mati? “Hidup cuma sementara, sebatas nglakoni.”
Anak Tidak Sekolah, Tapi Tetap Sinau
Mereka tidak paham istilah homeschooling, tapi sesuai tradisi sedulur sikep, keluarga Gunretno dan Hartati juga tidak mengirim empat anak mereka ke sekolah formal. “Sekolah itu tujuannya sinau (belajar) to?” senyum Hartati sejenak, sebelum wajahnya berubah serius.
“Kalau buat sedulur sikep, cita-cita kami itu terutama membersihkan perilaku, membenarkan ucapan. Dan cita-cita itu bisa dicapai tanpa harus sekolah formal.”
Yang dimaksud perilaku yang bersih itu, terangnya, antara lain tidak suka dengki, iri, merusuhi orang, ingin memiliki apa-apa yang jadi hak orang lain. Sementara kata-kata baru bisa dianggap benar kalau sudah cocok dengan tindakan. “Terus terang, jujur,” imbuh Darmi, seorang ibu tua di sebelah Hartati.
Keseharian anak-anak “homeschooler” sedulur sikep diisi dengan kegiatan rumah tangga, bercocok tanam, memproduksi barang-barang kebutuhan mereka sendiri, bermain dan bergaul. “Dari pagi ya masak, resik-resik, terus tani,” kata putri pasangan Sumardi dan Suparni ini.
“Anak-anak saya juga pinter menjahit dan membatik, ini kain (jarik) yang saya pakai, ini buatan kami sendiri. Saya malah kalah pinter dibanding mereka kalau soal membatik, soalnya mereka sudah bisa buka hape, lihat motif-motif gambar dari internet. Saya baca tulis saja nggak bisa,” tawanya.
Hartati dan suaminya membiarkan anak-anak mereka mengejar hobi masing-masing. Putra mereka, Bagus, suka sekali menonton konser band. “Ya band-band pecinta lingkungan gitulah, Mbak, semacam Marjinal. Itu lagunya dia hafal semua. Kalau pergi nonton, direwangi nggandhul (susah payah nebeng) truk. Kalau yang perempuan, ndilalah kok sukanya tani.” Hartati menyebut tiga anak perempuannya: Widianti, Widianingrum, dan Widiarti.
Banyak-banyak Teladan dan Sikap Sabar
Datang dari trah pemuka sedulur sikep, nilai-nilai harmoni dan kedamaian tampak meresap dalam diri Hartati. Ketika dipancing-pancing untuk cerita tentang kenakalan anak-anaknya, dia cuma membalas dengan senyum. Tidak sedikit pun CMid berhasil mengorek perilaku buruk mereka. Tak terlontar sepatah pun kritik, meski dia mengangguk membenarkan bahwa tak selalu anak-anaknya berperilaku manis.
Lalu bagaimana cara Mbak Tatik menghadapinya? “Nggih dikulinani terus, Mbak.” Dihadapi secara telaten. Itu pedomannya. Dia juga menekankan pentingnya banyak berkumpul dengan ‘orang tua’, orang-orang bijak, supaya watak menjadi bagus.
Termasuk dalam melakukan aksi menyelamatkan lingkungan, menurut Hartati, dia dan suaminya tidak pernah memaksa anak-anak ikut. “Mereka yang mau sendiri. Si Bagus itu ikut jalan kaki lima hari, sampai kakinya mlenthung-mlenthung (bengkak berair), tapi disuruh berhenti ya nggak mau.”
Hartati bercerita bahwa dia dan suaminya, Gunretno, boleh dibilang masih berkerabat. Di rumah, mereka biasa berbagi peran, termasuk kerja-kerja rumah tangga. “Kalau pas di rumah, Mas Gun itu juga umbah-umbah (cuci baju),” katanya. “Nggak ada itu, perempuan cuma di dapur saja, semuanya ya dikerjakan sama-sama.”
Matahari kini di ubun-ubun. Seorang lelaki datang membagi-bagikan potongan semangka dan nasi bungkus, menu makan siang warga tenda perjuangan. Hartati mohon izin berkemas untuk mendampingi suaminya yang akan berangkat ke Jakarta untuk tampil di salah satu TV swasta, berdialog satu meja dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Kami pun berpisah.
Selamat Hari Ibu ya, Mbak Tatik! Bangga bisa ngobrol dengan ibu yang mengabdi pada Ibu Bumi sepertimu. (EK)
no replies