Oleh: Najeela Shihab*
Reformasi pendidikan di Indonesia selama ini berkutat di soal legislasi guru dan kurikulum. Reformasi sistem penilaian dan ujian nasional (UN), yang amat mempengaruhi keberhasilan reformasi pendidikan, malah belum tersentuh secara fundamental.
Sayangnya lagi, kesibukan “reformasi” assessment adalah keberisikan sesaat semata. Sulit untuk tidak melihat urusan UN sebagai keputusan yang didominasi kepentingan politik, quick win atau kampanye sesaat.
Keputusan Pemerintah melanjutkan UN di tahun 2017 sejatinya tidak substantif, dalam arti memikirkan tujuan assessment dalam sistem pendidikan, apalagi manfaat untuk siswa sebagai subyek pendidikan. Padahal, “kekuatan” UN luar biasa. Walaupun anggarannya hanya 0.1% dari total anggaran fungsi pendidikan, kebijakan ini menyangkut puluhan juta orang.
Efektifkah Ujian Nasional?
Peningkatan mutu membutuhkan proses assessment utuh terhadap semua standar dan pemangku kepentingan. Akan tetapi, proses perbaikan dan implementasi kurikulum 2013 (K13) selama ini tidak diawali dengan perubahan penilaian pendidikan. Tugas pemerintah berkait assesment banyak. Disadari atau tidak, tugas ini baru “diselesaikan” dengan UN, yang bahkan untuk menjadi definisi kesuksesan siswa pun belum cukup.
Efektivitas UN bisa dijawab bila kita mengembalikannya pada tujuan esensialnya. Apakah UN sebetulnya untuk memperluas akses, mempercepat pencapaian mutu dan mengurangi kesenjangan pendidikan? Alat assessment seyogyanya bertujuan jelas tanpa dicampur aduk: mendiagnosa atau memetakan, menseleksi atau mensertifikasi kompetensi. UN sekarang dibebani semua tujuan. UN saat ini seolah indikator tunggal siswa sukses, guru kompeten dan sekolah bermutu dan favorit. Tak heran walaupun tidak menentukan kelulusan, kepentingannya tidak berkurang signifikan. Kondisi ini menghambat tumbuhnya ekosistem pendidikan.
Untuk mengukur hal sederhana pada satu waktu, seperti tinggi dan berat badan memerlukan meteran dan timbangan, menilainya dalam cm dan kg. Bagaimana bisa menggambarkan pendidikan kompleks dengan satu angka hasil UN di akhir jenjang? Indonesia membutuhkan assessment siswa yang berbeda untuk masing-masing fungsi.
UN memiliki keterbatasan. Kompetensi yang bisa tergambar lewat satu kali tes pilihan berganda sangat terbatas. Angka rata-rata hasil UN misalnya berbeda sekali dengan angka Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih komprehensif menggambarkan perekonomian suatu negara. Akreditasi sekolah kita masih lebih banyak melabel dan belum membantu sekolah mandiri mengembangkan kapasitas. Penilaian kinerja guru masih terbatas mengetes pengetahuan atau teknik mengajar, belum mendorong kompetensi sosial kepribadian dan sosial guru untuk merdeka belajar.
Manfaat Bagi Siswa
Saat berbicara tentang asessment, fungsi terpenting adalah manfaatnya bagi siswa. Namun percakapan kita terbatas pada teknis pelaksanaan ujian, bukan apa yang terjadi sesudahnya. Di saat terjadi perbedaan pendapat antara anggota legislatif, pakar, guru maupun orangtua, siswa cenderung sepakat menolak UN. Ini bukan bukti kurangnya sikap kerja keras, atau perlunya tetap UN untuk “motivasi”.
Sikap negatif siswa adalah umpan balik terpenting mengenai gagalnya UN. Siswa didorong oleh motivasi internal untuk terus memahami displin ilmu dan membutuhkan penilaian informatif dan bermakna. Rendahnya jumlah siswa yang memilih melakukan ujian perbaikan, tingginya kecurangan sistematis UN, jelas menunjukkan bahwa kewajiban UN telah menumbuhkan pemahaman salah terhadap pendidikan dan belajar.
Apapun alternatif assesment yang akan dikembangkan pemerintah, perlu mempertimbangkan pemenuhan hak siswa serta kewajiban negara secara seimbang. Opsi harusnya ada pada siswa. Siswa memilih jenis sertifikasi yang dibutuhkan atau alat seleksi yang bermanfaat untuknya. Ini akan menjadi situasi ideal untuk mendorong pemerintah terus meningkatkan kualitas alat ukur serta berfokus pada dampak nyata yang dirasakan siswa.
Moratorium UN, Otonomi Daerah, dan PR Besar Pemerintah
Usulan kerangka strategis penilaian sudah dibahas banyak pemangku kepentingan, namun keterbatasan kapasitas membuat agenda ini tidak menjadi prioritas alokasi sumberdaya. Moratorium sejatinya bisa memberi kesempatan refleksi utuh tanpa beban penyelenggaraan UN di tahun berjalan.
Reformasi assesment dan moratorium UN juga tidak terpisah dari konsep otonomi, yang menyangkut pembagian tugas dan fungsi pemerintah pusat dan daerah maupun kewenangan guru dan satuan pendidikan. Pengalaman penghentian UN jenjang SD yang digantikan oleh Ujian Sekolah (diselenggarakan dalam bentuk ujian daerah) perlu dimonitor dan dievaluasi. Implementasinya seringkali lebih buruk daripada UN, karena kapasitas pemerintah daerah, LPMP, KKG, dan MGMP belum optimal. Peran pusat terbatas pada menyumbangkan 25% soal, belum mendorong meningkatnya standar alat ukur dan standar nasional pendidikan. Belum terlihat konsolidasi hasil dan pembinaan sistematis yang menindaklanjuti.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang mengujicoba Indonesian National Assessment Program sebagai alat pemetaan. Fungsi pemetaan ini tidak butuh pengukuran setiap tahun pada semua siswa. Selanjutnya alat seleksi dan sertifikasi juga perlu dikembangkan. Dalam seleksi, banyak evaluasi yang bisa dipelajari dari seleksi masuk perguruan tinggi yang tidak lagi menggunakan UN sebagai indikator.
Akhirnya, ujian sesungguhnya dalam pendidikan kita, bukan ujian nasional. Tetapi, apakah pemerintah mampu “lulus” ujian publik. Akankah Pemerintah mewujudkan agenda program prioritas Nawacita untuk mengevaluasi model penyeragaman lewat UN? Akankah Pemerintah mengikuti putusan MA di tahun 2009 yang mensyaratkan pemenuhan beberapa kondisi standar pelayanan sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian terstandar nasional? Kita harap Pemerintah punya tujuan dan aspirasi yang jelas, cetak biru yang strategis serta data dan umpan balik yang konsisten.
* Najeela Shihab, peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, bermukim di Jakarta.
no replies