KONTAK |  KEGIATAN | REKOMENDASI BUKU |

  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
CMIndonesia.com
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
December 8, 2011  |  By Ellen K In Resensi
The Ron Clark’s Story: Kisah Guru Pantang Menyerah
The Ron Clark's Story. (Dok. Istimewa)
The Ron Clark's Story. (Dok. Istimewa)
Post Views: 153

Atas kebaikan seorang teman, kemarin pagi saya menonton film Ron Clark’s Story. Dibintangi oleh Matthew Perry, film besutan Randa Haines (2006) ini diangkat dari kisah nyata seorang guru “spesialis pengerek skor ujian anak bermasalah” bernama Ron Clark.

Dikisahkan Ron Clark sebagai guru yang suka tantangan. Setelah berhasil membuat murid-muridnya di North Carolina menjadi kelas peraih skor tertinggi selama empat tahun berturut-turut, ia merasa perlu mencari gunung kesulitan baru untuk didaki. Pergilah ia ke New York yang terkenal penuh kriminalitas, lalu melamar kerja untuk mengajar kelas paling bermasalah di sebuah sekolah negeri.

Berbagai karakter anak ia jumpai di sana. Ada yang suka mencuri, ada yang suka menjilat, ada yang suka berkelahi, ada yang rendah diri, ada yang suka mengejek, ada yang sama sekali tidak memberikan respons – dan semua pada awalnya menolak kehadirannya. Tetapi Ron pantang menyerah. Sekalipun berkali-kali upayanya dihempaskan oleh penolakan anak-anak itu, ia terus mencoba berbagai macam cara untuk memenangkan hati mereka.

Salah satu upaya Ron yang menarik menurut saya adalah mendatangi murid itu satu per satu ke rumah masing-masing. Ia berkenalan dengan orangtua mereka, meminta orang-orang dewasa itu untuk ikut menyemangati anak-anak dalam belajar. Di situ Ron melihat realitas sebenarnya kehidupan tiap anak. Anak yang acuh tak acuh dengan proses belajar itu ternyata di rumah harus menanggung beban kerja domestik, mengasuh tiga adiknya sementara ibunya yang single parent bekerja seharian. Anak perempuan yang minder itu ternyata punya ayah yang sangat feodal dan patriarkis, yang tidak mengijinkan perempuan bicara di hadapan laki-laki. Anak yang suka berkelahi itu ternyata punya ayah tiri yang gemar memukulinya.

Solusi akhir yang Ron temukan sebenarnya klasik. Anak-anak itu bisa diluluhkan, hanya bisa diluluhkan, akhirnya oleh cinta yang melimpah dan keyakinan tanpa batas terhadap kemampuan mereka. Ron menyiapkan dirinya 24/7 (24 jam sehari selama seminggu) untuk memberikan bantuan kepada siapa saja yang merasa kesulitan memahami pelajaran. Ron tetap mengajar meskipun badannya teler oleh pneumonia, sampai akhirnya pingsan di kelas. Ron ikut bermain lompat tali. Ron terus meyakinkan “Kamu bisa!” meskipun anak-anak itu berkata, “Aku tidak bisa!”. Ron menyediakan pelukan ketika seorang anak diusir dari rumah. Ron memasakkan makan malam bagi seluruh keluarga supaya seorang muridnya bebas dari kewajiban itu dan punya sedikit waktu longgar untuk belajar.

Love will find a way. Cinta selalu menemukan jalan untuk mengubah kehidupan.

Ketika kita mendidik, syarat apa lagi yang lebih penting dari cinta – cinta kepada anak-anak dan cinta kepada privilese kita sendiri sebagai orangtua dan pendidik?

Sistem tidak selalu berpihak kepada cinta. Kenyataannya, sistem sering membuang rasa cinta jauh-jauh. Yang dikejar oleh sistem seringkali hanyalah 3P: prestis, profit, dan pangkat. Seperti ditampilkan dalam sosok kepala sekolah Mr. Turner yang berkata, “Aku tidak peduli bagaimana caranya. Yang penting bagiku adalah skor ujian yang bagus. Di situlah tergantung nasibku dan nasib sekolah ini.”

Kalau memikirkan borok-borok sistem, pasti rasanya kita ingin berkeluh kesah. Kurikulum yang membosankan, fasilitas sekolah yang hancur, kurangnya perhatian pemerintah, minimnya jiwa dedikasi guru, minat baca-tulis anak yang rendah, dan seterusnya. Sayangnya, berkeluh kesah sama sekali tidak mengubah situasi. Berkeluh kesah itu gratis. Semua orang bisa melakukannya. Tapi tak peduli kita telah mencoba bersikap seprihatin apa pun tentang  itu, apa yang kita keluhkan tetap tak berubah. Kalaupun ada yang dihasilkan dari sikap berkeluh kesah, itu adalah kita menjadi merasa semakin tidak berdaya.

Saya teringat kembali pada kata pengantar yang John Holt tulis untuk edisi revisi bukunya How Children Fail. Edisi revisi ini ditulis setelah selama bertahun-tahun ia berkampanye, mendesak para guru dan calon guru untuk terus memperbaiki kinerja mereka. Banyak di antara mereka protes, “Mengapa kau selalu menyalahkan kami untuk semua kesalahan yang terjadi di sekolah? Mengapa kau mencoba membuat kami merasa bersalah?”

John Holt menjawab, “Tidak, aku tidak sedang mencoba membuat kalian merasa bersalah. Aku sendiri tidak pernah menyalahkan diriku atau merasa bersalah ketika murid-muridku tidak berhasil memahami apa yang aku ajarkan, mungkin aku belum tahu bagaimana membuat mereka paham. Tapi aku menuntut diriku untukbertanggung jawab. ‘Menyalahkan’ dan ‘merasa bersalah’ adalah kata-kata cengeng. Mari kita singkirkan keduanya. Lebih baik kita pakai kata ‘bertanggung jawab’. Kalau kita tidak melihat hasil yang kita harapkan, maka adalah tanggung jawab kita untuk mencari tahu mengapa begitu. Aku adalah seorang guru yang sering gagal, namun aku adalah guru yang tidak puas dengan kegagalan, dan tidak menyerah kepadanya. Adalah tugasku untuk membantu anak jadi paham, dan kalau mereka belum paham, adalah tanggung jawabku untuk mencoba berbagai cara sampai aku menemukan cara-cara yang berhasil mencapai tujuan itu.”

Saya pikir semangat guru seperti Ron Clark dan John Holt patut ditiru. Bukan untuk menyalahkan. Bukan pula untuk membangkitkan rasa bersalah. Keduanya adalah kata-kata cengeng yang hanya membuat kita semakin merasa tak berdaya. Marilah kita singkirkan keduanya dan mulai memakai kata ‘bertanggung jawab’. Kalau kita belum melihat realitas pendidikan di Indonesia ini seperti yang kita harapkan, mengapa tidak mulai mencari tahu mengapa begitu dan terus mencoba sesuatu sampai kita menemukan cara untuk mengubahnya?

Facebook Comments

Article by Ellen K

Ellen Kristi. Ibu tiga anak homeschooler, praktisi metode CM dan penulis buku "Cinta Yang Berpikir", berdomisili di Semarang. Dapat dihubungi lewat ellenkristi@gmail.com

Previous StoryKapan Usia Tepat Mendiskusikan Seksualitas dengan Anak?
Next StoryTerdaftar di Akademi Orangtua

Related Articles

  • Novel "Heidi" karya Johanna Spyri.
    Heidi Menjawab Pertanyaan Azka tentang Tuhan
    View Details
  • Charlotte's Web karya EB White.
    Charlotte’s Web, Laba-laba, dan Anak Ikan
    View Details

no replies

Leave your comment Cancel Reply

(will not be shared)

Charlotte Mason Indonesia

Media informasi pendidikan karakter. Menyajikan beragam berita, gagasan filosofis sampai tips dan trik bagi orang tua dan guru agar berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang “berpikir tinggi, hidup membumi.”

Cinta yang Berpikir. Penulis: Ellen Kristi

Terbaru

  • Mendampingi Anak Belajar Seni Berpuisi February 28, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #4 February 18, 2021
  • Podcast #35: Belajar Sastra ala Metode CM February 14, 2021
  • Pelajaran Berhitung Pertama Anak Prasekolah February 11, 2021
  • Apa Ruginya Kalau Anak Tidak Kenal Ninabobo dan Tembang Dolanan? February 9, 2021
  • Podcast #34: Tetap Kalem Saat Anak Emosional February 6, 2021
  • Refleksi Seorang Guru tentang Kesalahan Umum Orangtua dan Guru February 5, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6 February 3, 2021
  • Yang Harus Dibenahi dalam Pendidikan Sains Kita February 2, 2021
  • Podcast #33: Proses Belajar Menulis Kreatif ala Metode CM January 30, 2021

Arsip

Charlotte Mason Indonesia

Alamat
Jl. Jeruk VII/24
Semarang 50249

Jam Kegiatan:
Senin—Jumat: 9:00AM–5:00PM

POPULER

  • 10 Ciri Pribadi Kekanak-kanakan dan Solusinya 150 views | 0 comments | by admin | posted on September 16, 2017
  • Mendampingi Anak Belajar Seni Berpuisi 146 views | 0 comments | by admin | posted on February 28, 2021
  • Mengapa Anak Tantrum dan Cara Terbaik Menghadapinya 91 views | 0 comments | by Ellen K | posted on August 1, 2012
  • Rilis Rekomendasi Tim Kurikulum CMid Tahap #1 52 views | 0 comments | by admin | posted on February 12, 2019
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #4 45 views | 0 comments | by admin | posted on February 18, 2021

KOMENTAR TERKINI

  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Sizi on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Normalita h on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ardiba on Pendidikan ala CM untuk Keluarga Muslim
  • Ellen K on Membantu Anak Menemukan Tujuan Hidupnya

Visitors

Today: 235

Yesterday: 670

This Week: 2258

This Month: 10663

Total: 243947

Currently Online: 123

Copyright ©2011-2021 Charlotte Mason Indonesia. All Rights Reserved. || Web Development: Whoups Creative Co.