Atas kebaikan seorang teman, kemarin pagi saya menonton film Ron Clark’s Story. Dibintangi oleh Matthew Perry, film besutan Randa Haines (2006) ini diangkat dari kisah nyata seorang guru “spesialis pengerek skor ujian anak bermasalah” bernama Ron Clark.
Dikisahkan Ron Clark sebagai guru yang suka tantangan. Setelah berhasil membuat murid-muridnya di North Carolina menjadi kelas peraih skor tertinggi selama empat tahun berturut-turut, ia merasa perlu mencari gunung kesulitan baru untuk didaki. Pergilah ia ke New York yang terkenal penuh kriminalitas, lalu melamar kerja untuk mengajar kelas paling bermasalah di sebuah sekolah negeri.
Berbagai karakter anak ia jumpai di sana. Ada yang suka mencuri, ada yang suka menjilat, ada yang suka berkelahi, ada yang rendah diri, ada yang suka mengejek, ada yang sama sekali tidak memberikan respons – dan semua pada awalnya menolak kehadirannya. Tetapi Ron pantang menyerah. Sekalipun berkali-kali upayanya dihempaskan oleh penolakan anak-anak itu, ia terus mencoba berbagai macam cara untuk memenangkan hati mereka.
Salah satu upaya Ron yang menarik menurut saya adalah mendatangi murid itu satu per satu ke rumah masing-masing. Ia berkenalan dengan orangtua mereka, meminta orang-orang dewasa itu untuk ikut menyemangati anak-anak dalam belajar. Di situ Ron melihat realitas sebenarnya kehidupan tiap anak. Anak yang acuh tak acuh dengan proses belajar itu ternyata di rumah harus menanggung beban kerja domestik, mengasuh tiga adiknya sementara ibunya yang single parent bekerja seharian. Anak perempuan yang minder itu ternyata punya ayah yang sangat feodal dan patriarkis, yang tidak mengijinkan perempuan bicara di hadapan laki-laki. Anak yang suka berkelahi itu ternyata punya ayah tiri yang gemar memukulinya.
Solusi akhir yang Ron temukan sebenarnya klasik. Anak-anak itu bisa diluluhkan, hanya bisa diluluhkan, akhirnya oleh cinta yang melimpah dan keyakinan tanpa batas terhadap kemampuan mereka. Ron menyiapkan dirinya 24/7 (24 jam sehari selama seminggu) untuk memberikan bantuan kepada siapa saja yang merasa kesulitan memahami pelajaran. Ron tetap mengajar meskipun badannya teler oleh pneumonia, sampai akhirnya pingsan di kelas. Ron ikut bermain lompat tali. Ron terus meyakinkan “Kamu bisa!” meskipun anak-anak itu berkata, “Aku tidak bisa!”. Ron menyediakan pelukan ketika seorang anak diusir dari rumah. Ron memasakkan makan malam bagi seluruh keluarga supaya seorang muridnya bebas dari kewajiban itu dan punya sedikit waktu longgar untuk belajar.
Love will find a way. Cinta selalu menemukan jalan untuk mengubah kehidupan.
Ketika kita mendidik, syarat apa lagi yang lebih penting dari cinta – cinta kepada anak-anak dan cinta kepada privilese kita sendiri sebagai orangtua dan pendidik?
Sistem tidak selalu berpihak kepada cinta. Kenyataannya, sistem sering membuang rasa cinta jauh-jauh. Yang dikejar oleh sistem seringkali hanyalah 3P: prestis, profit, dan pangkat. Seperti ditampilkan dalam sosok kepala sekolah Mr. Turner yang berkata, “Aku tidak peduli bagaimana caranya. Yang penting bagiku adalah skor ujian yang bagus. Di situlah tergantung nasibku dan nasib sekolah ini.”
Kalau memikirkan borok-borok sistem, pasti rasanya kita ingin berkeluh kesah. Kurikulum yang membosankan, fasilitas sekolah yang hancur, kurangnya perhatian pemerintah, minimnya jiwa dedikasi guru, minat baca-tulis anak yang rendah, dan seterusnya. Sayangnya, berkeluh kesah sama sekali tidak mengubah situasi. Berkeluh kesah itu gratis. Semua orang bisa melakukannya. Tapi tak peduli kita telah mencoba bersikap seprihatin apa pun tentang itu, apa yang kita keluhkan tetap tak berubah. Kalaupun ada yang dihasilkan dari sikap berkeluh kesah, itu adalah kita menjadi merasa semakin tidak berdaya.
Saya teringat kembali pada kata pengantar yang John Holt tulis untuk edisi revisi bukunya How Children Fail. Edisi revisi ini ditulis setelah selama bertahun-tahun ia berkampanye, mendesak para guru dan calon guru untuk terus memperbaiki kinerja mereka. Banyak di antara mereka protes, “Mengapa kau selalu menyalahkan kami untuk semua kesalahan yang terjadi di sekolah? Mengapa kau mencoba membuat kami merasa bersalah?”
John Holt menjawab, “Tidak, aku tidak sedang mencoba membuat kalian merasa bersalah. Aku sendiri tidak pernah menyalahkan diriku atau merasa bersalah ketika murid-muridku tidak berhasil memahami apa yang aku ajarkan, mungkin aku belum tahu bagaimana membuat mereka paham. Tapi aku menuntut diriku untukbertanggung jawab. ‘Menyalahkan’ dan ‘merasa bersalah’ adalah kata-kata cengeng. Mari kita singkirkan keduanya. Lebih baik kita pakai kata ‘bertanggung jawab’. Kalau kita tidak melihat hasil yang kita harapkan, maka adalah tanggung jawab kita untuk mencari tahu mengapa begitu. Aku adalah seorang guru yang sering gagal, namun aku adalah guru yang tidak puas dengan kegagalan, dan tidak menyerah kepadanya. Adalah tugasku untuk membantu anak jadi paham, dan kalau mereka belum paham, adalah tanggung jawabku untuk mencoba berbagai cara sampai aku menemukan cara-cara yang berhasil mencapai tujuan itu.”
Saya pikir semangat guru seperti Ron Clark dan John Holt patut ditiru. Bukan untuk menyalahkan. Bukan pula untuk membangkitkan rasa bersalah. Keduanya adalah kata-kata cengeng yang hanya membuat kita semakin merasa tak berdaya. Marilah kita singkirkan keduanya dan mulai memakai kata ‘bertanggung jawab’. Kalau kita belum melihat realitas pendidikan di Indonesia ini seperti yang kita harapkan, mengapa tidak mulai mencari tahu mengapa begitu dan terus mencoba sesuatu sampai kita menemukan cara untuk mengubahnya?
no replies