“Andai saja, ketika sudah kelelahan, para ibu belajar untuk merawat diri sendiri seperti yang mereka lakukan bagi anak-anak mereka, kita pasti melihat banyak rumah tangga menjadi lebih bahagia. Izinkanlah para ibu pergi keluar untuk bergembira!” (School Education, hlm. 34).
Belum lama berselang seorang teman bercerita betapa berat hari-harinya. Mengurus anak-anak yang masih balita sungguh menyita seluruh waktunya, hingga ia kelelahan tak berdaya. Keluhnya, “Andai bernapas tidak dirancang otomatis oleh Sang Pemberi Hidup, tentu saat ini aku pun sudah tidak sempat lagi bernapas, saking banyaknya kerjaan.”
Saya merasakan yang teman ini rasakan. Sebagai ibu dua anak tanpa asisten, tinggal jauh dari keluarga besar, hari-hari saya pun begitu penuh aktivitas mengurus rumah tangga. Saya bersyukur memiliki suami yang ringan bahu, tapi tetap saja porsi tugas domestik saya lebih banyak dibanding dia. Apalagi kami keluarga homeschooler, nyaris 24 jam sehari saya mengurusi anak-anak. Rutinitas tak jarang terasa menjemukan, bahkan membuat kewalahan dan tertekan (burnout).
Risiko Depresi
Charlotte Mason sangat paham banyak perempuan merasa terjebak dalam status istri dan ibu. Di rumah, mereka dituntut dapat memainkan peranan sebagai istri, ibu, dan nyonya rumah sekaligus. Lebih lagi kalau mereka juga menuntut diri mereka sendiri agar menjalani semua peran itu dengan sempurna!
Tak heran, seringkali ibu-ibu suka mengabaikan kebutuhannya sendiri demi menuntaskan garapan yang tak kunjung henti itu. Setiap hari ia tergilas oleh rutinitas hariannya sehingga ia “tak sempat” memberi makanan pada jiwa dan pikirannya yang lapar, “tak sempat” bertumbuh dan berkembang secara mental dan spiritual. Dan ya, ketika jebakan rutinitas semakin mengimpit, sang ibu akhirnya frustasi, bahkan mungkin depresi. Ini jelas tidak sehat bagi ibu, anak, dan seluruh keluarga.
“Andai ibu punya nyali untuk bersikap pasrah saat hidupnya terlalu tegang, lalu melegakan satu hari saja, atau setengah hari saja, berjalan-jalan ke ruang terbuka, membawa buku favorit, atau mengunjungi pameran menikmati satu-dua lukisan, atau bersantai di tempat tidur tanpa anak-anak, baik anak maupun orangtua akan menjalani hidup jauh lebih bahagia.” (School Education, hlm. 34)
Mother Culture
Dalam metode CM, solusi untuk ibu-ibu yang kelelahan lahir-batin ini adalah Mother Culture. Saya mengenal istilah ini awalnya dari para praktisi CM yang saya pantau akun instagramnya. Saya kagum melihat antusiasme mereka berkegiatan bersama-sama anak. Sambil menemani anak-anak belajar, mereka tak lupa memasok “makanan” bagi jiwa dan benak mereka sendiri. Mereka bilang, “Beginilah Mother Culture!”
Karena penasaran, saya mencari referensi tentang hal ini. Bertemulah saya dengan tulisan Karen Andreola dalam bukunya A Charlotte Mason Companion. Kata Karen, istilah “Mother Culture” berasal dari salah satu artikel majalah The Parents Review asuhan Charlotte Mason, tepatnya edisi Vol. 3 No. 2 tahun 1893. Penulis artikel ini tidak menyebutkan namanya, hanya dicantumkan berinisial “A”.
Kata si “A”, Mother Culture berarti cara seorang perempuan terus mendidik dirinya sendiri sembari menjalani panggilan hidup sebagai seorang ibu. Di satu sisi, ia belajar menikmati dan mereguk keuntungan dari belajar dan berkegiatan bersama anak-anaknya. Di sisi lain, ia juga tak abai untuk menyediakan waktu bagi dirinya sendiri – istilah kekiniannya, me time.
Sebagian kita mungkin akan mengernyit dan menggeleng sambil berkata, “Kita tidak boleh memikirkan diri sendiri.” Kita begitu terserapnya dalam semangat pengorbanan diri, sampai-sampai kita rela kelaparan secara spiritual, mental, dan bahkan emosional.
Charlotte Mason menolak sikap pengorbanan diri yang berlebihan seperti itu. Apa yang lebih menyedihkan dari seorang ibu yang berhenti bertumbuh sehingga tidak lagi memiliki apapun untuk diberikan pada anak-anaknya, pada masa muda mereka?
Saya ingat Billy Graham pernah menulis: “Para ibu harus menumbuhkembangkan jiwa mereka, agar pada gilirannya nanti mereka bisa menumbuhkembangkan jiwa anak-anak mereka.” Artinya, menyediakan waktu bagi diri sendiri bukanlah sesuatu yang egois bagi para ibu, terlebih pada saat ada banyak jiwa yang bergantung padanya. Mengapa? Karena if Mama ain’t happy, ain’t nobody happy. Anak dan keluarga yang bahagia butuh ibu yang bahagia.
Me Time yang Bermakna
Prinsip mother culture adalah soal merawat batin agar senantiasa punya energi positif dalam menjalani hari-hari sibuk, jadi bukan sekadar me time asal hepi sesaat.
Karen Andreola memberi saran manjur pada para ibu. Tips pertama, sederhanakan hidup. Ada banyak aspek dalam hidup yang bisa kita sederhanakan. Yang mana persisnya? Itu semua hanya kita yang tahu.
Tips berikutnya, atur “saat teduh” rutin. Tatalah agenda sedemikian rupa sehingga tiap hari tersedia waktu antara 10 hingga 30 menit untuk menikmati ketenangan secara bermakna. Bisa pada pagi hari ketika anak-anak belum terbangun, bisa pula pada siang hari ketika anak-anak sedang tidur siang atau bermain bersama kawan di luar rumah. Pakailah waktu itu untuk fokus berdoa, membaca, refleksi, dsb. Sepuluh menit pun sangat berharga daripada tidak sama sekali dan, percayalah, akan membuat perbedaan yang begitu berarti.
Tips ketiga, sediakan waktu untuk membaca buku-buku bermutu. Charlotte tak pernah lelah mengingatkan agar orangtua dan guru rutin mengisi jiwa mereka dengan suplai ide hidup. “Jangan pernah lupa membawa buku yang betul-betul bagus,” katanya. “Jangan merasa [duduk membaca] itu egois karena mafaatnya bukan hanya untuk dirimu sendiri … Makin banyak hal yang kau pelajari selama masa luangmu, makin banyak yang bisa kau berikan pada siswa-siswamu.”
Penulis ‘A’ di The Parents’ Review menyarankan ibu-ibu selalu punya 3 kategori buku bacaan, selain Kitab Suci tentunya: kategori buku “berat” secara teori (bisa filsafat, teologi, sains, pendidikan, dll.), kategori buku pengetahuan “ringan” (misalnya, biografi, buku tentang hobi, dll.), dan kategori fiksi atau satra, seperti novel. Pilih judul tiga buku yang mau kita rampungkan di tiga kategori itu. Kapan pun kita punya waktu luang, baca salah satu yang paling sesuai dengan kebutuhan saat itu.
Saya pribadi tidak punya waktu khusus untuk membaca. Saat paling tenang untuk membaca biasanya pada malam hari ketika anak-anak telah tidur, tapi kendalanya adalah serangan rasa kantuk dan lelah. Akhirnya saya putuskan kapan pun sempat, saya akan membaca. Ketika anak-anak bermain, ketika harus menunggu, ke mana pun saya pergi, selalu ada buku dalam tas saya (kebiasaan yang kemudian ditiru oleh dua anak saya). Saat membaca, beberapa kalimat-kalimat yang saya anggap menarik dan menginspirasi, saya tulis kembali dalam notes kecil.
Belakangan anak-anak bahkan mulai bisa mengerti bahwa ada saatnya Mama ingin tenang. Jadi ketika melihat saya sedang membaca, mereka memberi saya kesempatan untuk benar-benar sendirian selama beberapa waktu. Sebagai imbal baliknya, saya berusaha untuk sungguh-sunguh hadir ketika sedang berkegiatan bersama mereka.
Belajar dan Tumbuh Bersama Anak
Sebelum menjadi praktisi CM, belajar bersama anak adalah sesuatu yang tak pernah saya bayangkan. Saya cuma setuju bahwa orangtua mesti bertumbuh bersama anak dan menjadi pembelajar seumur hidup, tapi mempelajari hal yang sama dengan mereka? Sungguh tidak terbayangkan sebelumnya!
Ternyata belajar bersama anak itu menyenangkan! Saat si sulung mengerjakan jurnal alam, saya membuat jurnal alam saya sendiri. Saat si sulung menggambar, saya juga belajar menggambar bersamanya. Saat si sulung belajar sejarah, sastra, matematika, puisi, kitab suci, saya menunjukkan antusiasme yang sama dengannya. Saat si sulung menyalin kutipan-kutipan inspiratif sebagai pelajaran menulis, saya menyalin kutipan-kutipan favorit dalam buku kompilasi milik saya sendiri.
Intinya, mengembangkan pikiran itu perlu biar kita tidak sibuk memikirkan daftar belanja dan menu masakan saja. Waktu belajar kita tidak selalu harus bersamaan dengan anak-anak. Kadang saya menulis, menggambar, atau membuat jurnal, pada saat senggang setelah selesai dengan pekerjaan rumah dan urusan anak-anak. Ternyata dengan mengetahui bahwa ibunya juga berbagi antusiasme yang sama, mereka menjadi semakin terpacu dan bersemangat ketika belajar.
Sungguh merupakan keuntungan besar bagi seluruh keluarga ketika seorang ibu bisa memperoleh sedikit waktu untuk mengembangkan diri, apa pun yang menjadi minatnya – entah membuat kerajinan, menjahit, menulis, melukis, berkebun, nature study, membuat jurnal, mendengarkan musik, menikmati lukisan, menikmati keindahan alam, dsb.
Janganlah kita berkata, “Aku tak punya waktu untuk hal-hal semacam itu!” Yang betul, kita tak akan pernah punya waktu jika melakukan semuanya sekaligus, bersamaan. Jadi, pilih satu aktivitas saja per momen. Menekuni hobi ditambah aktivitas membaca 30 menit sehari, dalam pengalaman saya kombinasi itu cukup untuk memulihkan antusiasme dan semangat yang sebelumnya redup.
Kita hanya bisa memberi jika kita memiliki sesuatu. Maka, kalau kita para ibu ini ingin memberikan yang terbaik kepada anak-anak kita, tidak bisa tidak, kita sendiri pun harus bertumbuh, baik secara mental, spiritual, maupun emosional!
Sebagai penutup saya ingin mengutip kutipan John Ruskin favorit saya, “Jadikanlah dirimu sarang bagi pikiran-pikiran menyenangkan, hobi-hobi yang menyegarkan, kata-kata yang meneguhkan. Jadikanlah dirimu bank ide-ide berharga yang menenteramkan, yang tak bisa diobrak-abrik oleh masalah hidup, yang tak bisa dirampas oleh kemiskinan, bank yang dibangun oleh yang tak kelihatan sebagai tempat bermukim jiwamu.”
no replies