Di sela-sela keriuhan menyambut Raja Salman, minggu ini netizen ramai mempersoalkan #makanmayit alias Fresh Flesh Feast. Perjamuan makan bertema kanibalisme bayi ini digelar di galeri busana Footurama pada hari Sabtu (25/2) lalu dan diviralkan oleh para selebgram.
Pemrakarsanya, seniman muda Natasha Gabriella Tontey, mempersiapkan skenario ala film horor dalam perjamuan makan itu. Dia berperan sebagai seorang suster pengawas panti asuhan yang menjual daging bayi dan menyajikannya bagi para tamu.
Ada hidangan yang disajikan dalam wadah boneka bayi plastik yang telah dimutilasi. Ada puding berbentuk janin bayi yang dicitrakan sebagai hasil aborsi, juga makanan berbentuk otak bayi “berlumuran darah segar”, sampai roti yang disebut terbuat dari bakteri ketiak bayi dengan selai keju dari air susu ibu. Peserta membayar 500 ribu perak untuk menikmati menu-menu bernuansa kanibalistik itu dalam suasana yang dibangun mencekam dengan tata ruangan, cahaya, dan alunan musiknya.
Tentangan dan Belaan
Seperti harapan Tontey, acaranya betul-betul memicu perdebatan. Begitu foto-foto perjamuan #makanmayit beredar di media sosial, banyak pihak bereaksi. Ada Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Yogyakarta yang berang karena dicatut namanya sebagai penyedia ASI untuk bahan hidangan.
Menteri Perlindungan Perempuan dan Anak Yohana Yembise juga mengecam keras karena menilai #makanmayit melanggar norma budaya, agama, juga hukum. Yohana bahkan meminta Kepolisian mengusut ada tidaknya unsur pidana dalam kegiatan ini.
Penentangan yang lebih publik dilancarkan oleh Aliansi Ibu Peduli Jakarta lewat petisi #protesmakanmayit, Petisi menuntut permintaan maaf bukan hanya dari Tontey, tetapi juga semua selebgram/influencer/key opinion leader yang telah mengunggah foto, video, serta dukungan terhadap acara yang dianggap menyakiti hati kaum perempuan dan ibu, “melanggar estetika seni ruang publik dan berisiko menggeser nilai-nilai psikologis dan pandangan masyarakat terhadap bayi”, serta membahayakan anak-anak dan remaja yang terekspos pada visualisasi sadis mereka. Sampai artikel ini saya tulis, petisi telah ditandatangani oleh 7657 pendukung.
Mendapat respons negatif sebesar itu, Footurama akhirnya meminta maaf telah menjadi tempat penyelenggara acara. Figur publik Kartika Jahja yang ikut mengunggah foto dan status “nyemil bayi” juga minta maaf karena telah ikut menyebarkan foto-foto yang berpotensi memunculkan trauma.
Tontey sendiri hanya minta maaf kepada Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Yogyakarta karena telah mencatut nama organisasi itu, Namun tentang acaranya, Tontey tampaknya merasa tidak ada masalah. Baginya, #makanmayit ini hanya eksperimen seni saja, eksplorasi “psikodinamika dari fantasi kanibal”, menelusuri sisi psikopat yang konon ada dalam diri setiap manusia,
Beberapa rekan seniman ikut mengecam, sebagian lagi membela Tontey. Sutradara Joko Anwar menganggap tidak ada salahnya mengunggah foto-foto #makanmayit ke media sosial. Kalau terjadi pergolakan di masyarakat, itu adalah proses edukasi.
Jurnalis Arman Dhani bahkan secara tersirat memuji Tontey. “Seni yang berhasil adalah seni yang mengganggu dan membuat tidak nyaman nurani dan pikiran … masyarakat yang tunduk pada norma, moral, agama, peraturan, dan identitas sosial tanpa sama sekali pernah mempertanyakan mengapa mereka mesti tunduk pada konsensus aturan tersebut,” tulis Arman dalam blog personalnya.
Menurut Arman lagi, penolakan terhadap #makanmayit menunjukkan pemahaman masyarakat sangat rendah terhadap seni. Dia mempertanyakan kecaman masyarakat, memangnya apa yang salah dan kebablasan dalam praktik seni makan mayat? Menolak #makanmayit karena beranggapan fetus itu suci tapi membiarkan praktik pernikahan dini dan aborsi, baginya menunjukkan masyarakat ini “bebal dan debil”.
Batas Kebebasan
Di era demokrasi, kebebasan menjadi nilai mendasar. Dengan kemajuan teknologi informasi, kebebasan itu menjadi nyaris tanpa batas. Namun, menurut saya, PR terbesar dari kebebasan adalah menggunakannya secara bertanggung jawab. Jika tidak digunakan secara arif, kebebasan akan menghantam balik kita sendiri, keras-keras.
Saya setuju kebebasan berkesenian itu penting, tetapi tidak harus didewakan. Dalam berkesenian, seorang seniman tidak hanya harus mempertimbangkan aspek eksperimen dan eksplorasi artistiknya, tetapi juga aspek etika dan dampak karyanya kepada publik secara luas.
Sebagai eksperimen “nyeni”, acara #makanmayit boleh jadi dianggap lucu dan menarik. Namun, kanibalisme yang riil sama sekali bukan candaan. “Amat sangat mengerikan,” tulis Deborah Schurman-Kauflin, pakar pembunuhan berantai dan pembuat profil para kriminal. Siapa pun yang apes – berada di tempat yang salah di waktu yang salah – bisa jadi korbannya. Dan si kanibal menikmati betul proses mengiris, memasak, melahap sang korban, seringkali tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Deborah menengarai, kanibalisme memuaskan hati si pelaku yang biasanya sangat tertutup dan penuh kebencian. “Kebanyakan kanibal adalah penyendiri yang ekstrem, tidak punya teman, dan penuh kepahitan, membunuh dan memakan korban adalah jalan keluar buat mereka,” katanya. Jika dibiarkan merdeka, seorang kanibal hampir pasti akan kembali mencari korban lain, karena kecanduan.
Praktik orang makan orang secara historis memang sudah tua riwayatnya, tetapi secara moral telah kita tinggalkan sebagai praktik yang tak beradab. Apakah kita ingin memutar balik keyakinan ini dan menghidupkan kembali kanibalisme? Menurut saya, mempromosikan kanibalisme sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Oleh karena itulah, saya pribadi mendukung isi petisi Aliansi Ibu Peduli Jakarta dan telah menandatanganinya. Saya setuju pada petisi Aliansi Ibu Peduli Jakarta bahwa yang bertanggung jawab bukan hanya Tontey seorang, tapi semua pihak yang ikut mempengaruhi publik untuk mendukung dan mengapresiasi acara #makanmayit. Segala informasi yang menormalisasi atau mengglorifikasi kanibalisme harus ditekan agar jangan sampai ditiru oleh orang lain.
Di era teknologi informasi ini, kita sama sekali tak boleh meremehkan kekuatan media massa dan media sosial. Ketua Dewan Pers Indonesia Yoseph Prasetyo pada Juli 2016 lalu pernah memperingatkan bahwa masyarakat Indonesia punya kecenderungan copycat. Apa yang mereka saksikan di media, khususnya yang bersifat audio-visual, rentan ditiru mentah-mentah.
Dalam kasus terorisme, Dewan Pers dan Kepolisian meminta media jangan sampai melakukan glorifikasi terhadap pelaku atau aksinya. Framing dalam menulis liputan jangan sampai mengesankan hal yang berbahaya itu sebagai keren, hebat, luar biasa, pahlawan, apalagi suci. Jika sudut pandang pemberitaannya keliru apalagi diulang-ulang, media justru ikut menyebarluaskan pesan yang keliru. Liputan tentang terorisme adalah bagian penting dalam perang melawan terorisme.
Saya pikir pendekatan yang sama juga harus diterapkan untuk kanibalisme. Di sinilah sekali lagi framing pemberitaan kasus #makanmayit menjadi penting. Saya melihat sebagian media malah memuat wawancara panjang lebar dengan Tontey yang isinya, tentu saja, membela haknya berkesenian. Tapi apakah yang sedang kita pertaruhkan atas nama kebebasan berkesenian itu? Para ahli tentu bisa lebih banyak bicara tentang kemungkinan muncul para copycat, yang terinspirasi untuk betul-betul mempraktikkan khayalan kanibalistik seperti itu di dunia nyata.
Dalam tulisannya di volume keempat, Ourselves, Charlotte Mason membahas panjang lebar tentang betapa hebatnya imajinasi manusia, tetapi di sisi lain, imajinasi bisa membuat pikiran menjadi sakit apabila terus-menerus disuplai dengan ide-ide negatif. Oleh karena itu, setiap orang harus senantiasa memilah, imajinasi macam apa yang hendak dia rawat dan biarkan berkembang. Tidak semua yang bisa kita imajinasikan perlu kita pupuk, apalagi kita wujudkan.
Saya senang di kasus #makanmayit ini para ibu ambil bagian aktif dalam upaya berdemokrasi, menyuarakan pendapat, melancarkan protes secara rasional, mendasar, dan santun. Yang diminta oleh ibu-ibu dari para seniman adalah kebebasan berkesenian yang bertanggung jawab. Mengapa? Karena yang akan menanggung dampak kebebasan berkesenian itu adalah kita semua, termasuk anak-anak kita.
no replies