Per pukul enam pagi ini, total ada 933.688 kasus pasien yang positif terjangkit virus Corona (COVID-19) sedunia, dengan 46.869 di antaranya berakhir dengan kematian. Amerika menduduki peringkat pertama kasus terbanyak, disusul Italia dan Spanyol, melampaui jumlah kasus di Cina sebagai negara sumber virus ini. Italia sekaligus mencatat angka kematian tertinggi.
Kasus positif COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan tanggal 1 Maret 2020. Dalam waktu satu bulan, jumlah kasus sudah berlipat jadi 1.677, dengan 157 kematian. Beberapa hari terakhir jumlah kasus naik terus, lebih dari 100 kasus baru per hari. Dari angka kematian yang tercatat, pakar menduga bahwa riilnya ada ratusan ribu orang Indonesia yang sudah terjangkit COVID-19.
Membaca dua alinea pertama ini, siapa di antara anda yang mengerang, “Oh, tidak, untuk apa menambah satu artikel lagi soal Corona? Saya sudah muak dengan Corona!” Iya juga. Ketemu siapa saja, rasanya yang dibahas selalu Corona. Entah ngrasani kebijakan pemerintah soal Corona, kekhawatiran ini-itu soal risiko infeksi atau kerjaan yang sepi, sampai berita duka paramedis yang gugur karena berjuang di garda terdepan.
Namun, izinkanlah saya menulis lagi tentang Corona ya, karena sependek saya pantau belum ada orang lain yang menuliskan aspek ini. Seperti judul artikel di atas, saya ingin merefleksikan dampak wabah Corona ke pola konsumsi internet harian dan, nantinya, arah hidup kita.
***
Sejak menyiapkan workshop “Habit of Attention”, saya mulai secara rutin mencatat durasi berapa lama saya online setiap hari, khususnya untuk membuka media sosial dan percakapan instan. Caranya sederhana sekali: sebelum membuka WhatsApp, Facebook, Twitter, Instagram, saya akan aktifkan fitur Stopwatch di aplikasi Clock ponsel saya. Setelah selesai scrolling status dan membalas pesan-pesan, saya pause. Nanti kalau mau buka lagi, saya nyalakan lagi penghitung waktunya.
Ide untuk melakukan ini muncul setelah saya membaca buku Hyperfocus (2018) dan The Productivity Project (2016) karya Chris Bailey. Chris adalah pemuda yang sejak SMA sudah tergila-gila pada isu produktivitas kerja. Dia banyak membaca jurnal dan melakukan eksperimen untuk menemukan cara agar hidupnya jadi produktif. Definisi “produktif” menurutnya adalah berhasil menuntaskan yang kita rencanakan ingin kita lakukan. Di kedua buku itu, Chris membagikan tilikan dan tips produktivitas terbaik berbasis bacaan dan pengalamannya.
Menurut Chris, kita sering terhalang untuk menjadi produktif karena fokus kita pecah. Kita menghadapi beragam hal yang mengganggu konsentrasi kita. Chris memilahnya ke dalam empat kuadran: (1) distraksi yang ada di luar kendali kita dan mengganggu; (2) distraksi yang ada di luar kendali kita dan menyenangkan; (3) distraksi yang ada dalam kendali kita dan mengganggu; (4) distraksi yang ada dalam kendali kita dan menyenangkan.

Akun media sosial (medsos), situs-situs media online, dan percakapan instan dimasukkan Chris ke kuadran keempat. Ini kuadran yang paling “berbahaya” menenggelamkan produktivitas kita, justru karena distraksinya menyenangkan. Biasanya kita jadi tergoda untuk membaca, mengobrolkan, atau menonton hal-hal yang sebetulnya bukan prioritas. Dari rencana cuma mau memeriksa apakah ada pesan penting yang masuk, akhirnya bablas berjam-jam.
***
Sebelum membuat jurnal, saya sendiri semula tidak sadar berapa lama sehari saya online. Seperti dibilang Chris, ketika online seseorang rentan menjadi impulsif, seolah tak bisa menghentikan jari dan mata untuk berputar dari aplikasi ke aplikasi. Riset Marks (2019) mendapati orang dewasa bergonta-ganti aplikasi sekitar 566 kali dalam sehari.
Setelah membaca buku Chris dan melakukan pengamatan pada diri sendiri, saya baru sadar bahwa saya pun begitu: habis cek WA, saya otomatis cek FB, lalu cek IG, lalu cek twitter, lalu balik lagi cek WA (siapa tahu ada chat baru), lalu ke FB lagi (siapa tahu ada notifikasi baru), dst. Kalau ada tautan ke artikel di media daring, saya suka singgah ke sana, kadang lanjut baca beberapa artikel lain, sebelum balik lagi ke medsos semula. Kalau ada tautan ke youtube, singgah juga, kadang lihat video-video lain, sebelum balik lagi ke medsos. Begitu terus sampai dipanggil anak atau suami atau tergeragap mengingat ada kerja lain yang lebih penting.

Durasi online orang Indonesia, berdasar survei Hootsuite (2019), rata-rata 8 jam 36 menit dalam sehari. Kalau saya berapa ya? Hari pertama pengamatan, saya deg-degan, penasaran ingin tahu hasilnya. Terus terang saya lumayan kaget ketika di penghujung hari, angka di stopwatch menunjukkan 04:05:00.
“Wah, lama juga ya!” batin saya.
Empat jam lima menit! Padahal yang saya hitung cuma durasi penggunaan media sosial dan percakapan instan, tidak termasuk membaca artikel-artikel di media daring. Lagipula, karena harus memencet tombol ‘on’ di stopwatch setiap kali mau online, secara psikologis kesadaran saya meningkat, impuls saya seperti direm, sehingga saya tidak online selama biasanya. Berarti kemarin-kemarin saya online berapa jam sehari?
Besoknya saya bertekad lebih sadar lagi dalam berkegiatan online. Durasi pun turun menjadi 3 jam 33 menit. Hari-hari selanjutnya, saya terus berusaha makin selektif. Saya buat jadwal online sehari tiga kali. Di luar jadwal, setiap kali muncul impuls membuka aplikasi media sosial atau percakapan instan, saya tidak langsung menurutinya. Saya kumpulkan dulu semua kepentingan online saya jadi satu daftar. Begitu tiba waktunya online, saya selesaikan satu per satu online to do list itu.
Online, centangi daftar online to do list, lalu pindai berita-berita terbaru sekilas, cek yang penting-penting saja, sebelum offline lagi sampai jadwal online berikutnya. Dengan metode ini, ternyata durasi online saya bisa turun ke sekitar 1-1,5 jam saja sehari. Saya jadi merasa punya lebih banyak waktu untuk membaca, lebih fokus menggarap tugas-tugas, dan lebih “hadir” saat bersama anak-anak. Diet digital ini berlangsung konsisten selama beberapa waktu, sampai kemudian geger wabah Corona melanda dan mengacaukannya.
***
Salah satu faktor yang membuat orang tak bisa berhenti online adalah sindroma takut ketinggalan berita atau fear of missing out (FOMO). Untuk percakapan biasa saja, orang sudah banyak yang mengalami FOMO. Wabah COVID-19 saya rasa makin melipatgandakannya.
Sebetulnya saya relatif terlambat menyadari status genting isu virus ini. Semula saya – seperti banyak orang lain – terbuai oleh persepsi, “Ini kan cuma flu biasa!” “Nanti sembuh sendiri!” “Saya masih muda, tidak akan kenapa-kenapa!” “Indonesia belum ada kasus kok!” dan sejenisnya. Mata saya baru betul-betul tercelekkan setelah kasus di Indonesia terus bertambah plus membaca artikel hitungan matematis eksponensial penyebaran COVID-19 yang ditulis oleh Thomas Pueyo.
Begitu sadar, saya jadi gelisah dan mulai online lebih sering untuk mengumpulkan informasi serta memantau situasi. Otak manusia memang terdesain sangat peka pada apa pun yang dinilai berbahaya. Perasaan terancam membuat amygdala menyala, tubuh jadi siaga dan waspada. Otak rasional terbajak oleh otak primitif, kita menjadi lebih emosional dan impulsif.
Di tengah kekalutan seputar virus Corona, kita (setidaknya saya) jadi tak henti-henti mencari informasi tentangnya. Berapa kasus hari ini? Bagaimana supaya tak tertular? Jadi lockdown atau tidak? Mengapa belum juga dilakukan tes massal? Waduh, para pemudik sudah keluar dari Jakarta dan masuk ke provinsi saya! Dst.
Tanggal 17 Maret, durasi online saya naik ke 4 jam 32 menit. Besoknya jadi 6 jam 9 menit. Puncaknya tanggal 22 dan 23 Maret saya online 8 jam dan 10 jam: sebagian karena harus mengkoordinir pengumpulan donasi untuk paramedis di kota saya, sebagian lagi hanyut mengikuti impuls, browsing ke sana kemari tanpa tujuan pasti.
Saya mengalami FOMO. Rasanya seperti tak bisa berhenti walaupun yang saya baca intinya selalu itu-itu saja: social distancing, stay at home, jaga stamina dan kebersihan, berupaya sebisanya meringankan paramedis dan membantu kelompok rentan. Saya berusaha mengerem diri, tapi tetap saja durasi online saya bertahan di 6-7 jam selama beberapa hari.
Saya lekas menyadari bahwa durasi online yang begitu intensif ini mulai mengacaukan ritme hidup saya. To do list yang di awal hari saya rencanakan, jarang yang bisa tuntas. Energi dan waktu betul-betul habis karena atensi yang berpindah-pindah dari media sosial satu ke media sosial lain, situs ini ke situs itu, percakapan instan yang tak henti-henti. Corona, corona, dan terus Corona.
***
Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains (2010) mengamarkan bahwa pemakaian internet secara intensif (heavy use) ada dampaknya ke otak kita. Sesuai hukum alam, otak akan memperkuat sel-sel syarafnya yang sering dipakai, memangkas yang jarang dipakai. Internet membanjiri kita dengan informasi secara cepat, maka sel-sel terkait pemrosesan informasi secara cepat menguat. Mata kita jadi terbiasa memindai, jari kita langsung menggulung status dan berita yang tak menarik. Hitungannya detik. Begitulah kita bisa secara kilat memutakhirkan diri dengan informasi terbaru.
Namun kecepatan itu ada harganya. Kita mengorbankan kebiasaan berpikir tenang dan mendalam. Sel-sel yang biasanya dipakai untuk refleksi dan kontemplasi makin pupus karena jarang dipakai. Terbiasa dengan informasi yang dangkal, para pengguna internet gampang merasa tak tahan mencerna bacaan yang panjang dan berat. “Bikin status kok panjang banget,” jadi candaan yang serius dilontarkan untuk tulisan kawan yang butuh waktu lebih dari 8 detik untuk dibaca.
Dampak kongkritnya adalah, menurut riset Wilmer dan Chein (2016), orang-orang yang rajin online menjadi makin tak sabaran dan tak bisa menahan diri. Loading lama sedikit, kita sudah menggerutu. Ada status yang menyinggung sedikit, langsung jempol mengetik komen menyerang. Ada berita yang belum dikroscek kebenarannya, sudah langsung disebar. Kita menjadi masyarakat yang gampang terbakar atau panik.
Jika di masa normal sebelum wabah COVID-19 saja, orang Indonesia terbiasa online rata-rata 8,5 jam sehari, maka saat ini rata-ratanya jadi berapa ya? Kalau yang saya alami – durasi meningkat 2-3 kali lipat dibanding biasanya – juga terjadi pada orang-orang lain, bisa jadi sebagian besar waktu terjaga kita dihabiskan online.
***
Charlotte Mason bilang, sesuatu yang kita kerjakan rutin selama 30 hari tanpa jeda, itu akan menjadi kebiasaan baru kita yang menetap untuk waktu lama. Untuk membentuk kebiasaan berselancar online bahkan tidak perlu waktu selama itu. Eksperimen psikiatris kampus UCLA Gary Small (2008) mendapati: cukup dengan memakai internet 1 jam sehari selama 5 hari, otak seseorang yang semula sama sekali awam sudah akan teraktivasi sebanding pemakai internet veteran. “Hanya 5 jam, susunan otak mereka sudah berubah,” kata Small.
Selama periode social distancing, semua orang disarankan banyak berdiam di rumah, jangan pergi-pergi kecuali sangat penting. Kantor-kantor diliburkan, para pekerja disuruh work from home, kerja dari rumah. Rapatnya virtual. Bisakah kita menghindari godaan untuk online terus-menerus?
Sekolah juga diliburkan. Tugas-tugas diberikan dan dilaporkan lewat aplikasi online. Banyak ayah-ibu yang pusing menenangkan anak-anak yang bikin ulah karena bosan di rumah, sehingga mungkin melonggarkan akses ke televisi, gawai, dan video games. Bisakah mereka mencegah anak-anak untuk tidak online terus-menerus?
Periode social distancing dan #dirumahsaja ini betul-betul menantang sebagai ladang latihan pengendalian diri. Membuka akun media sosial dan percakapan instan itu perlu. Memutakhirkan informasi soal COVID-19 itu juga penting. Namun, bisakah kita melakukannya dengan kesadaran penuh? Online kali ini saya niatkan untuk apa? Berapa lama?
Dari kemarin lusa, saya terus berupaya menjaga kesadaran dalam mengakses media sosial, situs berita, dan percakapan instan. Terus terang, diet digital saya belum bisa kembali seperti sedia kala, tapi durasi rata-rata saya per hari sudah turun ke sekitar 3 jam. Sedikit demi sedikit, FOMO saya mulai terkendali. Kegelisahan saya agak mereda. Dan saya mulai bisa kembali fokus untuk menggarap target-target harian yang ringan.
***
Beberapa hari lalu, di salah satu grup ada kawan yang melontarkan pertanyaan: “Apa saja sih kemungkinan terburuk dampak Corona?” Dia mengajak kami untuk membuat daftar satu per satu “agar stresnya bisa dirapel dan kita bisa menghadapi secara mental dan mencari solusinya dari sekarang”. Lalu dia membuat daftar kekhawatirannya sendiri: (1) kemungkinan suaminya, yang bekerja by project, semua proyeknya akan dibatalkan akibat wabah Corona, sehingga pendapatan keluarga berkurang bahkan nol; (2) wabah ini akan berlangsung lama; (3) bahan pangan menghilang. Solusi yang terpikir olehnya: (1) mulai menanam sayuran di rumah; (2) menghemat pengeluaran; (3) menjaga kesehatan.
Saya berpikir sejenak. Saya teringat para filsuf Stoik. Mereka bilang rasa cemas dan takut bersumber dari keengganan untuk bersiap menghadapi skenario terburuk. Pertanyaan teman saya ini bagus sekali, hanya saja menurut saya yang dia lontarkan itu belum yang terburuk.
Saya pun mulai mengetik untuk menjawab lontarannya. “Kemungkinan terburuk: mati, entah aku yang mati atau keluargaku yang mati. Solusi: lakukan yang bisa dilakukan mumpung masih hidup, ungkapkan rasa sayang pada keluarga mumpung masih hidup.”
Lalu saya jadi tersadar. Di balik segala kengeriannya, wabah Corona ini ternyata besar juga hikmahnya. Kita kembali diingatkan bahwa keberadaan kita di sini tidak abadi. Untuk setiap nyawa yang melayang akibat terinfeksi, kita jadi disadarkan bahwa betapa hidup ini singkat dan sangat berharga.
Hidup ini sangat berharga, justru karena hidup ini pasti berakhir. Entah karena terinfeksi virus Corona atau lainnya, hidup kita pasti berakhir, bukan? Kita wajib berikhtiar menjaga kesehatan dengan pembatasan jarak, jaga kebersihan, dst. Namun yang tak kalah penting kita ikhtiarkan adalah menjawab pertanyaan: mumpung kita masih hidup, waktu kita ini mau kita habiskan untuk apa?
Saya lalu membuka ulang catatan daftar cita-cita saya. Masih ada sekian judul buku atau artikel yang belum selesai, bahkan belum mulai, saya tulis. Masih ada sekian hutang janji dan proyek yang belum saya tunaikan. Masih ada banyak ungkapan sayang yang belum saya ekspresikan pada suami, anak-anak, ayah-ibu, dan kawan-kawan baik. Saya pikir semua itu lebih prioritas untuk saya kerjakan pada jam-jam saya sedang di rumah saja ini dibanding online tak tentu arah. Mumpung saya (dan mereka) masih hidup.
Terinspirasi!
Syukurlah!
Terimakasih Mba elen, sangat menginspirasi..
Terima kasih sudah membaca, mbak Gita!