Saya terpikir untuk menulis artikel ini setelah beberapa waktu terakhir memberi pendampingan pada seorang ayah yang kesulitan menangani remaja putrinya. Dia kenalan lama saya, tapi saya tidak terlalu tahu kehidupan pribadinya karena kami tinggal di kota yang berbeda dan memang jarang berjumpa. Tiba-tiba saja, out of the blue, dia mengkontak saya dan langsung curhat tentang putrinya yang “sekarang berani berontak”.
Putrinya ini bukan anak kandungnya, tapi anak yang dibawa oleh istrinya. Ketika mereka menikah, putri ini masih bayi. Jadi, kenalan saya itu sudah merawat anak tirinya sejak kecil sekali. Karena ingin menjadi ayah yang baik, kenalan saya sebisa mungkin bersikap lemah lembut. Menurutnya, dia tidak pernah membentak atau bernada keras pada sang putri, malah cenderung memanjakan. Apa pun yang diminta oleh anaknya itu, dia berusaha kabulkan.
Namun, saat putrinya menginjak bangku SMA, terasa ada perubahan sikap. Kata-kata yang dilontarkan ke ayah (yakni, kenalan saya) sering tidak sopan. Kalau diberi nasihat – misalnya, kalau pergi harus pamit dan jangan pulang malam-malam, karena anaknya mulai berpacaran – si anak menjawab ketus, “Aku sudah besar, Yah, kamu tidak usah mengatur-atur aku, jangan mencampuri urusanku!” (dengan bahasa Jawa kasar).
Sang ayah berusaha memperbaiki hubungan. Berulang kali dia mendatangi putrinya dan minta maaf kalau ada sikapnya yang bikin sang putri marah. Dia juga menghadiahi putrinya dengan motor baru. “Minta apa pun saya kasih dengan harapan dia mau berubah”, katanya. Tapi ternyata asanya itu tidak terpenuhi. Tetap saja kalau diajak bicara, si putri menjawab dengan nada sinis dan pedas.
Tidak berhasil dengan cara itu, sang ayah lalu mencoba “memberi pelajaran” dengan mendiamkan putrinya – si anak jungkir balik seperti apa pun terserah, dia tidak mau komentar. Namun, sudah dua minggu “perang dingin” berlangsung, si anak tenang-tenang saja, tidak kelihatan merasa bersalah. Kelakuannya terus saja seenaknya dan menyakitkan hati. Ibunya sampai menangis-nangis. Ayahnya semakin pusing.
Akhirnya karena tidak tahan, si ayah mendatangi lagi anaknya di kamar, mengajak bicara duluan. “Nduk, kamu kok benci banget sama ayah, salah ayah apa sih, Nduk?” Eh, si anak malah mengusir ayahnya keluar, sambil menutupi telinganya dengan headset.
Ulah yang terakhir, si anak terus main HP dan chatting semalaman sampai dini hari sekitar pukul 2-3 pagi. Urusan belajar terbengkalai, padahal sebentar lagi dia ujian akhir dan wali kelas pun sudah pernah menegur supaya anak ini lebih serius. Si ayah, yang berharap anak akan lanjut kuliah selepas SMA, menegur putrinya, “Boleh chatting, tapi jangan malam-malam.” Si anak tak peduli. Waktu ayahnya bicara, dia kembali menutupi telinganya dengan headset, menyetel musik keras-keras.
Si ayah benar-benar merasa putus asa. “Mau saya kerasi, dia sudah besar. Dilema. Jadi saya harus bagaimana?” tanyanya kepada saya.
***
Mendengar cerita si ayah, langsung terlihat oleh saya bahwa dia belum memahami prinsip-prinsip dasar memenangkan respek anak dan melatih anak untuk taat aturan (habit of obedience). Ini terbukti ketika saya melontarkan pertanyaan paling mendasar: “Jadi, sebetulnya aturan apa yang mau kamu tegakkan?” Si ayah menjawab bingung, “Maksudnya?”
Saya bilang padanya: kamu ingin anak menuruti perintah dan nasihatmu, tapi bagaimana itu bisa terjadi kalau aturanmu saja tidak dirumuskan dengan jelas? “Jangan pulang malam-malam” itu bukan aturan yang jelas. “Boleh chatting tapi jangan kemalaman” itu juga bukan aturan yang jelas. Persisnya jam berapa anak sudah harus ada di rumah? Persisnya jam berapa anak sudah harus mematikan HP?
Setelah berpikir-pikir, akhirnya kenalan saya bisa merumuskan aturan yang mau dia tegakkan: anak hanya boleh main HP sampai pukul 11 malam.
“Kalau ternyata anakmu tetap main HP lewat jam 11 malam, kamu mau apa?” tanya saya.
“Paling saya diamkan,” jawab si ayah.
Oh, Tuhan! Pantas saja anak itu tak ada respek sedikit pun padanya. Saya menduga, posisinya sebagai ayah tiri membuat kenalan saya ini secara psikologis merasa tak aman (insecure). Dia sangat ingin sekali memenangkan hati putri tirinya. Akibatnya, dia cenderung mengabulkan apa pun yang diminta anak itu, sekalipun jelas-jelas si anak berlaku tak sopan padanya. Dan siapa yang akan respek pada orang yang pasrah saja ketika diinjak-injak?
Kondisi psikologis yang tak percaya diri ini harus dibongkar. Si ayah harus diperbaiki dulu cara memandang dirinya, sebelum bisa menjadi otoritas yang efektif. Maka saya bantu dia menyadari betapa dia berhak untuk mendapatkan ketaatan anaknya. Agar berhasil memimpin anak, dia harus bersikap sebagai seorang pemimpin!
Setelah itu kami mendiskusikan langkah praktis cara menegakkan aturan dilarang chatting sampai lewat jam 11 malam. Keputusan si ayah sederhana sekali: dia akan mengajak putrinya bicara, menyampaikan padanya bahwa karena dia harus persiapan ujian akhir, anak itu hanya boleh chatting sampai maksimal jam 11 malam dan kalau anak melanggar, maka HP akan disita.
Berulang kali saya wanti-wanti padanya: “Irit bicara, nada yang rendah, jangan ceramah, jangan melayani perdebatan, hati-hati terbawa emosi, tapi tegaslah, hanya berikan perintah yang kamu betul-betul akan jalankan, hanya berikan aturan yang betul-betul akan kamu tegakkan.” Dia mengiyakan. Lalu sesi percakapan itu kami akhiri.
***
Baik balita maupun remaja, prinsip-prinsip menghadapi ulah mereka sebetulnya sama, meski teknisnya tentu berbeda. Rumuskan aturan yang jelas, antisipasi kemungkinan anak melanggarnya, sosialisasikan aturan itu sampai tidak ada alasan anak tidak paham, tegakkan secara konsisten, dan selalu bersikap tegas tapi kalem.
Sebelum marah-marah karena remaja berulah, selalu cek dulu apakah di pihak kita sendiri semua prinsip itu sudah kita jalankan. Rumusan aturannya sudah jelas belum? Kalau ada pelanggaran, sudah kita antisipasi dengan aturan pelengkap belum? Aturannya sudah disosialisasikan secara gamblang atau belum? Kita menegakkan aturannya secara konsisten atau tidak? Kita bersikap tegas atau tidak? Kita bersikap kalem atau tidak?
Anak pada dasarnya sangat cerdas. Secara intuitif dia tahu mana orangtua yang layak menerima ketaatannya, mana yang tidak. Ayah-ibu yang membuat aturan, tapi ragu-ragu atau bingung sendiri caranya menegakkan aturan, mustahil memenangkan respek anak. Anak tidak akan mau taat pada orangtua yang plin-plan, yang tak percaya diri bahwa dia punya otoritas, yang tidak konsisten, yang sukanya ceramah tapi diam saja kalau aturannya dilanggar, apalagi yang bisa diintimidasi atau dimanipulasi oleh si anak.
Berhentilah over-ekspektasi. Jangan berharap dia seketika berubah sikapnya menjadi dewasa hanya karena badannya sudah besar. Jangan bermimpi bahwa remaja akan mudah diatur. Justru menurut riset-riset tentang otak remaja, fase ini adalah fase ketika anak sangat sulit mengendalikan diri. “Remaja itu terperangkap di antara masa kanak-kanak dan dewasa, masih kacau secara emosional dan impulsif dalam perilaku, tapi berkembang pesat jasmani dan inteleknya,” kata Frances E. Jensen dalam bukunya The Teenage Brain (2014).
Setiap kali remaja berulah, terimalah realitas bahwa dia memang sudah bukan anak-anak, tapi otaknya juga belum sepenuhnya dewasa. Otak depannya (prefrontal cortex) belum matang. Akibatnya, selain impulsif, remaja suka nekad, mood-nya gampang berubah-ubah, belum bisa berpikir panjang dan menimbang perkara secara objektif. Ditambah lagi, oleh paparan intens pada media sosial dan pergaulan masa kini, kesehatan mental remaja sangatlah rentan terganggu. “Jadilah prefrontal cortex buat remajamu,” pesan Frances kepada semua ayah-ibu. Jadilah pembimbing yang tegas, tapi kalem.
***
Beberapa hari kemudian, kenalan saya kontak lagi. Saya antusias ingin tahu apakah dia berhasil menegakkan aturan yang dirumuskannya waktu itu.
Dia bilang, aturan jangan main HP lewat pukul 11 malam itu berhasil dia tegakkan. Ternyata, hanya dengan satu kali sosialisasi tegas soal aturan itu, si anak langsung menurut. Pukul 11 malam, dia selalu sudah berhenti pakai HP. Tapi, ada tapinya.
Sejak sang ayah bersikap tegas, sang putri mendiamkannya. Kalau diajak bicara, dia membisu dan tidak mau memandang muka ayahnya, tapi setelah ayah berpaling, dia akan menyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Meskipun ayah ada di sebelah ibu, yang diajak bicara hanya ibunya. Yang dulu biasa minta apa-apa ke ayah, sekarang selalu minta lewat ibu. “Aku dianggap patung, dianggap tidak ada,” gerutu si ayah jengkel.
Lalu ayah itu cerita bahwa baru saja – malam itu – si anak pergi dengan temannya. Ada ayah di dekatnya, si anak sama sekali tidak salam dan pamit, langsung pergi saja, sampai larut malam tak kunjung pulang. Karena khawatir sekaligus jengkel, si ayah lalu mengirim pesan instan menanyakan jam berapa anak itu mau balik sambil menegurnya karena tadi tidak pamit. Datang balasan dari si anak, dengan bahasa Jawa kasar: “terserah kamu deh, aku lama-lama kesal sama kamu”. Si ayah bingung lagi.
“Jadi, kamu maunya apa? Aturan apa yang sekarang mau kamu tegakkan?” tanya saya.
Kenalan saya bilang, dia ingin si anak kalau diajak bicara memandang mukanya. Kalau mau pergi, dan dia ada di situ, anak harus pamit ke dia.
“Dan kalau dia melakukannya dengan cemberut dan tetap memusuhi seperti yang dilakukan sekarang?” Saya coba mengajak si ayah berefleksi lebih dalam tentang realitas yang dia hadapi, agar dia terhindar dari kondisi anak taat dengan setengah hati yang berkepanjangan.
Pertama-tama, saya ajak dia menaksir seberapa besar persisnya otoritas dia atas anak itu. Untuk itu saya ajukan beberapa pertanyaan pribadi tentang seberapa kompak dia dengan istrinya, apakah anak itu tahu bahwa kenalan saya ini bukan ayah kandungnya, seberapa besar peran ayah dalam mencukupi nafkah keluarga, terutama dalam mencukupi kebutuhan finansial anaknya.
Setelah itu, saya beri beberapa saran langkah praktis. Si ayah perlu menyusun daftar lengkap aturan apa saja yang dia anggap prinsip, yang anak harus taati tanpa tawar-menawar. Semuanya harus jelas dan kongkrit. Nanti setelah daftar itu jadi, dia perlu mengajak putrinya berdialog dengan setulus mungkin, dari hati ke hati. Poin pembicaraan yang saya sarankan kurang lebih seperti ini:
“Nak, ayah memang bukan bapak kandungmu, tapi ayah sudah merawatmu dari bayi dan ayah sayang padamu. Selama ini ayah salah karena berusaha memenangkan hatimu dengan menuruti apa pun kemauanmu dan kurang tegas, akhirnya kamu jadi terbiasa tidak taat pada aturan. Mulai hari ini ayah akan belajar untuk tegas. Kalau kamu masih mengakui bapak dan ibumu sebagai pembimbingmu, ini ada aturan-aturan yang harus kamu lakukan. Kalau kamu tidak lagi mau dibimbing oleh kami, kamu boleh cari orang lain untuk jadi pembimbingmu dan mencukupi kebutuhanmu.”
***
Orangtua harus paham menjadi otoritas tidak boleh setengah-setengah. Anak harus dibuat sadar bahwa selama dia masih tinggal di rumah kita, makan dan berkegiatan dari nafkah kita, berarti dia masih ada dalam otoritas kita. Ini rumah kita, kepemimpinan ada di tangan kita. Dia tidak suka pada aturan kita? Boleh saja. Kita tidak bisa memaksa. Tapi menolak aturan kita itu ada konsekuensinya.
Menolak aturan sama dengan menolak otoritas pihak yang memberikan aturan. Dan menolak otoritas berarti memilih untuk keluar dari ayoman otoritas itu. Kita tidak pernah bisa memaksa anak untuk tunduk pada otoritas kita kalau dia tidak mau. Tapi di sisi lain, anak juga tidak bisa memaksa kita untuk tetap menuruti semua keinginannya. Kalau dia secara terbuka sudah memutuskan untuk menolak kita sebagai otoritasnya, maka pergilah dan cari otoritas yang cocok untukmu. You cannot have your cake and eat it, too.
Charlotte Mason berkata, setiap anak pada akhirnya harus bisa menjawab bagi dirinya sendiri: “Kepada siapakah kepala, hati, dan tangan ini aku persembahkan?” Saat balita, dia belum punya kemampuan untuk berpikir semendalam itu. Balita sebatas ikut saja apa kata orangtua. Namun, remaja adalah fase menentukan. Kecerdasannya akan berkembang berlipat ganda, identitas dirinya dibentuk, dan inilah saat dia membuat keputusan-keputusan penting buat hidupnya: siapakah yang akan dia pilih menjadi otoritas atas dirinya? Orangtuanya atau temannya atau dirinya sendiri? Pilihlah dan pikul konsekuensinya. Jangan setengah-setengah. Take it or leave it.
***
Saya duga akan cukup banyak orangtua yang gentar, pada saat berkonflik prinsipiil dengan remajanya, untuk menerima realitas bahwa waktunya sudah tiba – waktunya sudah tiba untuk berbicara hati ke hati dengan remajanya itu: masihkah kamu mau menerima otoritas ayah dan ibu? Atau kamu ingin memilih jalan yang berbeda?
Tak bisa dipungkiri, kita bakal dilanda derita batin – takut, cemas, bingung, dilematis, campur aduk jadi satu. “Bagaimana kalau dia betul-betul memutuskan untuk tak mau menerima otoritasku lagi? Bagaimana kalau dia memilih jalannya sendiri? Bagaimana kalau dia minggat dari rumah?”
Dari mana datangnya ketakutan itu? Kita mungkin bilang, kita takut karena kita cinta padanya. Kita ingin remaja kita tidak salah jalan. Kita ingin remaja kita tetap hidup benar. Namun, persepsi ini sebetulnya keliru sekali. M. Scott Peck di buku The Road Less Traveled (1978) menertawakan orang yang mengaku cinta pada si ini atau si itu, tapi bersikap posesif atau mengekang. Itu pertanda sebetulnya yang kita cintai hanyalah diri kita sendiri.
“Di dalam cinta,” kata Scott, “ada kerelaan untuk melihat pihak yang kita cintai bertumbuh.” Dan apa tandanya orang bertumbuh? Tandanya adalah dia berani membuat pilihan secara mandiri dan menanggung konsekuensi dari pilihannya. Bisa saja pilihannya keliru, tapi dia akan belajar dari pilihan yang keliru itu. Orang yang tak pernah dibiarkan memilih akan selamanya kerdil dalam kepribadian.
Entah antar kekasih, atau antara orangtua dan anak, bukti kita mencintai satu sama lain adalah memberi ruang untuk membuat pilihan. Cinta hanya bisa dibilang cinta kalau kita siap menerima perbedaan atau penolakan. Namun ketika kita memaksa orang yang konon kita cintai untuk selalu memilih yang kita sukai, berarti kata “cinta” hanya kedok buat egoisme dan narsisme kita. Barangkali kita lebih mementingkan citra positif kita sendiri sebagai orangtua dibanding isi hati remaja kita.
Bukan berarti kita mengusir anak dari rumah. Namun kita harus senantiasa berbesar hati untuk membuka kemungkinan bahwa bisa saja di satu titik nanti anak kita tak lagi sejalan dengan kita dan ingin berpisah. Kalau momentum yang tak pernah kita harapkan itu datang, kita tetap harus melihatnya sebagai kebaikan, dan mendoakan yang terbaik baginya.
***
Lewat lagi beberapa hari. Kenalan saya kembali menjapri saya. Bagaimana? Bagaimana? Saya sendiri penasaran sekali hasil perbincangan mereka seperti apa.
Lalu si ayah bercerita bahwa dia sudah mengajak anaknya bicara dari hati ke hati. Dia sampaikan poin-poin yang mesti dia sampaikan itu dengan bahasanya sendiri. Yang terjadi? Anak itu luluh dan akhirnya menceritakan semua alasan mengapa selama ini mendiamkan ayahnya dan tidak mau menuruti aturan. Rupanya dua tahun yang lalu, anak ini mengalami pelecehan seksual yang cukup berat, tapi tidak berani cerita pada siapa-siapa. Dia sangat trauma dan menjadi benci kepada laki-laki, termasuk ayah tirinya sendiri.
Singkat cerita, si ayah kaget bukan kepalang dan mereka menangis bersama-sama. Sang putri minta maaf kepada ayahnya dan berjanji memperbaiki semua kelakuannya. Dia berjanji mau jadi anak yang baik, juga akan lebih selektif memilih teman.
“Sekarang kata-katanya sudah mulai halus,” ujar ayahnya lega. Sambil memantau pemulihan trauma putrinya, si ayah lalu berkomitmen akan lebih sering mengajak anak itu ngobrol bertiga dengan dia dan istrinya. Selain itu, dia dan istrinya juga akan rutin mendoakan masa depan putri mereka itu.
***
Children are born persons. Semua anak terlahir sebagai pribadi. Mereka punya pikiran dan perasaan sendiri, yang sulit kita pahami kecuali kita berkomunikasi terbuka dan mendalam dengan mereka. Kita boleh punya dugaan tentang apa kemungkinan yang ada di kepala mereka, tetapi hanya mereka yang bisa memberi konfirmasi benar tidaknya dugaan itu.
Remaja berulah. Remaja bikin masalah. Sebelum kita marah-marah, coba ingatkan diri sendiri. Semua tindakan mereka itu pasti ada sebabnya, lahir dari pikiran dan perasaan tertentu, cara tertentu menafsirkan peristiwa dan pengalaman. Tanpa memahami pikiran dan perasaan yang menjadi akarnya, kita akan gagal menuntaskan problem perilaku remaja kita.
Jangan pernah berpikir bahwa remaja berperilaku sulit karena mereka sengaja ingin menyiksa kita. Mereka itu cuma bingung dengan huru-hara emosional yang berkecamuk di diri mereka sendiri. Mereka tak tahu cara mengurai dan memecahkannya. Semakin sulit perilaku remaja kita, sangat mungkin ada akar masalah yang makin mendesak untuk kita gali. Tanpa bersikap empatik dan membuka ruang dialog yang tulus, akar masalah itu bakal terus terkubur.
Setiap kali remaja kita berulah, itu adalah panggilan untuk kita mencari tahu: pengalaman apa yang dia lewati? Pikiran dan perasaan apa yang bergolak di benaknya? Trauma apa yang dia pendam? Respons kita akan menjadi penentu, apakah kita berhasil membantu atau kita tidak akan pernah tahu sampai semuanya terlambat. Kita perlu selalu mengingat itu, sebelum kita terlanjur marah-marah.
Terima kasih Mb,tulisan ini sangat bermakna buat sy yg mengalami hal yg sama thp anak remaja saya. Insya Allab akan saya praktekkan.
Turut mendoakan dari sini, semoga ada manfaatnya ya, mbak Najah.
Makasi mbak Ellen sharingnya. Jadi reminder buat aku dan ini artikel wajib yang bakal aku sharing ke orang terdekatku. ❤️.
Sama-sama, Vicky, terima kasih juga ya. <3