Ibu itu bilang dia menyesal. Dia sangat menyesal telah khilaf marah-marah kepada anaknya. Saat berangkat menjemput si anak dari SD-nya siang itu, dia sama sekali tak siap mengantisipasi yang akan terjadi. Dia hanya berencana dari sekolah hendak mengantar anak langsung ke tempat les. Tapi di dalam mobil, eh si anak malah bilang tidak mau les.
“Keterlaluan sekali! Tidak mau les hanya karena baju gantinya lupa dibawa! Padahal aku sudah repot-repot menjemputnya! Apa dia tidak tahu les itu bayar mahal?” Mungkin begitu pikiran-pikiran yang muncul di benak ibu. Tapi semua pikiran itu melintas terlalu cepat. Ibu tak sempat lagi mengenali pikirannya sendiri karena otak reptil di bagian belakang kepala telah membajak kerja prefrontal cortex-nya.
Spontan kelenjar-kelenjar di tubuh ibu membanjiri otak dan tubuh dengan hormon adrenalin dan kortisol. Aliran darah yang harusnya ke sistem pencernaan beralih arah ke otot-otot. Seluruh tubuh ibu menegang. Detak jantung makin kencang. Tekanan darah meningkat. Suhu tubuh naik. Nafas memburu. Kulit menguapkan keringat lebih cepat. Otak ibu terfokus pada satu hal saja: mengalahkan “musuh” bernama anak.
Hasilnya, sudah kita lihat bersama di video yang viral kemarin. Direkam oleh entah siapa, selama sekitar satu menit terabadikan drama yang menyakitkan. Pintu mobil dihempas terbuka. Si ibu mendorong keras anaknya keluar. Anak melawan, berusaha masuk kembali. Amarah ibu makin memuncak. Otak reptil si ibu sepertinya terus mengompori: “Anak ini harus diberi pelajaran, turunkan dia dari mobil, tinggal saja di jalan, biar tahu rasa!”. Dan ia terus berusaha mengeluarkan anaknya dari mobil.
Tapi si anak tidak mau menyerah juga. Terjadi adu kekuatan. Anak kalah kuat, terhempas ke bahu jalan. Dalam kondisi tersungkur di tanah, tangannya masih berusaha menggapai, memegangi bagian bawah mobil agar jangan ditutup. (Sampai di sini, terus terang saya sudah khawatir ibu itu akan tetap menutup pintu mobil dan membuat jemari anaknya terjepit – syukurlah sepertinya prefrontal cortex ibu masih ada sedikit kendali, sehingga adegan imajiner seram itu tidak terjadi.)
Tidak terekam dalam video yang saya tonton, tapi menurut berita, si ibu akhirnya membantu anak itu masuk kembali dalam mobil. Hanya saja, masalah tidak berakhir di sana. Video tadi diunggah ke media sosial dan langsung viral. Ribuan orang membagikannya, puluhan ribu menontonnya. Warganet yang “mahabenar dengan segala komentarnya” tidak berbelas kasihan menahan diri. Caci maki segala rupa terhadap si ibu berhamburan. Kasusnya langsung tayang di berbagai media daring. Polisi memburunya untuk diperiksa. Namanya terekspos, wajahnya terekspos, tercemar untuk selama-lamanya. Sungguh harga yang sangat mahal untuk satu ledakan amarah, bukan?
Siapa yang Gila?
Kita gemas, bahkan geram, melihat cara ibu tadi memperlakukan anaknya. “Ibu macam apa itu! Seorang ibu tidak seharusnya berbuat seperti itu!” Tentu saja. Ibu ini jelas-jelas keliru. Ia bahkan mungkin bisa dijerat dengan pasal tentang melakukan kekerasan pada anak. Kebijakan dan mekanisme hukum telah dipersiapkan oleh negara untuk memprosesnya.
Akan tetapi, saya pikir kita sudah sama-sama paham bahwa solusi hukum tidak menyentuh akar masalah yang lebih dalam. Bagaimana seorang ibu seharusnya memperlakukan anak, kita semua sudah tahu, saya yakin ibu itu juga tahu. Kasus ini justru menyadarkan kita tentang kesenjangan antara yang seharusnya dan yang terjadi.
Ketika melihat ibu tadi marah-marah begitu hebat pada anak, tidakkah kita melihat realitas diri kita tercermin juga di sana? Pernahkah kita mengalami yang sama seperti dia: kita tahu seharusnya kita sabar, tapi kita tetap marah-marah? Kita tahu seharusnya bicara lembut pada anak, tapi nada suara terus meninggi? Kita tahu seharusnya menahan lidah dan tangan supaya tidak menyakiti, tapi tetap saja keduanya bergerak terus meluapkan emosi secara destruktif? Hanya kebetulan saja kita tidak direkam dan videonya tidak diviralkan.
Filsuf Alain de Botton pernah berseloroh bahwa pada dasarnya secara psikologis semua orang itu gila. Ya, di dalam diri kita masing-masing ada potensi kegilaan. Kita semua berpotensi melakukan hal-hal gila, keji, tak masuk akal. Tinggal menunggu situasi yang tepat – entah ada konflik dengan suami, keuangan seret, beban kerja menumpuk, badan sakit tidak karuan, atau sedang tergesa-gesa – kegilaan itu akan meledak.
Karenanya, orang dibilang bermental sehat bukanlah orang yang bebas sama sekali dari kemungkinan berperilaku gila, melainkan orang yang sadar bahwa ia berpotensi gila lalu berjuang melatih diri agar tetap waras. Ia akan berhati-hati, mengenali gejala-gejala dan mengendalikan hasrat dan emosinya agar tetap dalam kendali. Ketika marah, ia bisa lekas sadar bahwa ia sedang marah. Ketika impulsnya menyuruh untuk melotot, membentak, mendorong, atau memukul, ia memilih untuk tidak mengikuti impuls dan emosi negatif itu. Namun tentu saja, memiliki kesadaran dan kekuatan memilih selalu waras itu bukan hal mudah.
Susahnya Menunggangi Gajah
Para bijak masa kuno sudah banyak yang mengamarkan bahwa dalam diri manusia itu ada sifat kebinatangan. Buddha mengumpamakan pikiran dan perasaan manusia seperti gajah liar; jika gajah itu lepas kendali, kita akan terseret tak berdaya. Mirip dengan itu, Plato bilang hidup manusia ibarat kereta yang ditarik dua ekor kuda. Saisnya adalah sisi diri kita yang rasional dan kalem, kedua kuda itu adalah emosi dan hasrat. Ada emosi dan hasrat yang luhur-positif, ada yang bejat-negatif. Tujuan pendidikan Platonik adalah melatih sais agar bisa mengendalikan secara sempurna keduanya.
Paradigma modern telah bergeser dari sudut pandang klasik itu. Berhubung kita tak lagi akrab dengan hewan-hewan tunggangan, perumpamaan Buddha dan Plato sulit kita mengerti. Yang kita kenal bukan lagi gajah dan kuda, tetapi mobil dan komputer. Berbeda dari hewan, mobil dan komputer tak punya keinginan sendiri. Asal kita menguasai mekanik dan programnya, mobil dan komputer akan melakukan apa saja yang kita inginkan.
Lalu orang modern mulai membayangkan diri mereka bagaikan mesin. Psikolog sosial menciptakan teori information processing untuk menjelaskan apa pun, mulai dari prasangka sampai persahabatan. Para ekonom memakai model rational choice untuk mengungkap alasan orang membuat pilihan tertentu. Ilmu-ilmu sosial bersatu padu dalam gagasan bahwa manusia adalah makhluk yang sepenuhnya rasional; kita menetapkan tujuan tertentu dan akan mengupayakan secara cerdas. Asal kita menguasai mekanisme pikiran, segalanya bisa kita kendalikan.
Tetapi kemudian kita kecewa. Teori-teori modern tentang rasionalitas manusia tak bisa mengatasi kelemahan kehendak kita. Kita ternyata tetap saja melakukan hal-hal bodoh yang kita tahu harusnya tidak kita kerjakan. Kita gagal mengendalikan diri. Kita makan berlebihan. Kita menunda-nunda pekerjaan. Kita merusak kesehatan dan merusak relasi dengan orang-orang yang kita cintai.
Kita meratap seperti tokoh Medea di kitab klasik Romawi Metamorphoses, yang hatinya tercabik karena harus memilih antara kekasihnya Jason atau ayahnya: “Aku terseret-seret mengikuti kekuatan yang aneh. Antara hasrat dan nalar menarikku ke dua arah yang berbeda. Aku bisa melihat jalan mana yang benar untuk kutempuh, aku ingin melangkahkan kaki ke sana, tapi tetap saja aku bergerak menuju jalan yang keliru.”
Diri yang Tak Tunggal
Akar masalah dari konflik batin dan perilaku gila ini, kata psikolog Jonathan Haidt, adalah karena diri manusia itu tak tunggal. Alih-alih seperti supir mobil yang sepenuhnya mengontrol kehidupan, kita lebih mirip badan direksi perusahaan. Semua suara harus didengar dan dipertimbangkan dalam mengambil keputusan. Membungkam atau menindas salah satu anggota direksi akan berdampak pemberontakan terhadap keputusan yang diambil.
Dalam bukunya, The Happiness Hypothesis, Haidt menjelaskan bagaimana diri manusia terbelah dalam setidaknya empat cara.
Pertama, kita terbagi antara akalbudi dan tubuh. Tubuh itu seolah punya pikiran sendiri. Filsuf Perancis Michel de Montaigne tertarik sekali mengamati tubuh yang sering mengkhianati niat akalbudi. Tiba-tiba saja paras kita telah memerah, lidah kita kelu, jantung kita berdebar, perut kita mulas, bahkan (untuk laki-laki) penis menegang atau mengendur tanpa sekehendak pemiliknya.
Kedua, kita terbagi antara sisi kiri dan kanan. Sejak 1960, berkat dokter bedah Joe Bogen, kita mengetahui bahwa otak manusia memiliki dua belahan yang terhubung oleh bundel besar syaraf bernama corpus callosum. Belahan otak kiri menerima informasi dari tubuh sebelah kanan, dan belahan otak kanan menerima informasi dari tubuh sebelah kiri. Kedua belahan otak punya spesialisasi fungsi masing-masing. Antara kedua belahan ini bisa saling berkelahi satu sama lain.
Ketiga, kita terbelah antara sisi primitif dan baru. Otak kita berkembang dari belakang ke depan. Yang matang pertama-tama adalah otak reptil yang fungsinya untuk mempertahankan diri. Lalu otak limbik (hipotalamus, hipokampus, dan amygdala) yang menjadi pusat emosi. Yang berkembang paling terakhir adalah neokorteks, yang mengelola penalaran, perencanaan, dan pengambilan keputusan. Agar bisa berperilaku cerdas, nalar dan emosi mestinya bekerja sama. Sayang, neokorteks tidak selalu berhasil mengendalikan otak reptil dan limbik.
Keempat, kita terbelah antara sisi otomatis-intuitif dan terkontrol-disengaja. Dalam diri kita kedua sistem ini bekerja sekaligus untuk memproses segala sesuatu yang kita alami. Prasangka, stereotip, dugaan, penilaian, penghakiman muncul begitu saja tanpa bisa kita cegah. Kecuali sisi sadar kita bekerja keras untuk membongkar, semua itu akan langsung memicu perilaku tertentu.
Mendewasakan Secara Terencana
Agar bisa mengendalikan diri (self-control), kata Charlotte Mason, orang mesti kenal dulu diri sendiri (self-knowledge). Justru di sinilah peristiwa viralnya video ibu dan anak di atas penting jadi bahan refleksi kita. Ibu itu, jika kita mengamati ciri-cirinya sekilas, datang dari kelas menengah atas, secara akademis terdidik, juga tak kurang religiusnya. Namun pendidikan akademis dan ritual keagamaan belum menjadi jaminan seseorang bisa mengendalikan diri, apabila ia tidak terlatih mengenali gejolak hasrat dan emosinya.
Problemnya, justru aspek kecerdasan emosional inilah yang masih terabaikan dalam sistem pendidikan kita sampai sekarang. Kurikulum kita penuh berjejal dengan mata pelajaran yang mencerdaskan anak secara kognitif: matematika, bahasa, IPA, IPS. Bahkan pelajaran pendidikan agama dan budi pekerti serta kewarganegaraan pun sifatnya sangat kognitif: menghafal ayat, mengingat konsep-konsep nilai, menyebut nama-nama lembaga pemerintahan, dlsb.
Pendidikan kita masih dikuasai nalar modern bahwa manusia itu makhluk yang sepenuhnya rasional. Lalu kita terkaget-kaget ketika para siswanya bergabung dengan geng motor dan membacok orang tanpa alasan di pinggir jalan, para alumninya terlibat berbagai skandal. Kita hancur saat mengetahui ada anak kita yang bunuh diri gara-gara putus cinta. Dan kita masih terus saja setia mempertahankan sistem pendidikan yang memandang manusia secara tak lengkap ini.
Saya pikir banyak energi habis sia-sia jika kita terus bersikap reaktif, mencaci maki habis-habisan setiap kali ada individu ini atau itu yang berperilaku gila, tapi tidak membongkar akar masalahnya. Sudah waktunya setiap anak dan setiap orangtua difasilitasi agar belajar tentang diri sendiri sampai terampil mengendalikan hasrat dan emosi mereka. Mulai dari melipur hati yang patah karena ditinggal kekasih sampai menenangkan gejolak amarah ketika anak tidak mau berangkat les bahkan menahan jempol dari komen yang impulsif, kita semua butuh diajari caranya, tanpa harus menunggu video viral berikutnya.
1 reply added