“Apakah anak yang auditori bakal doyan baca buku? Bagaimana tipsnya? Karena belum semua buku tersedia dalam bentuk audio-book.” Begitu pertanyaan seorang ibu muda dari Makassar di grup Komunitas Charlotte Mason Indonesia. Saat itu kami sedang membahas tentang pentingnya memasok anak dengan bacaan bermutu (living books).
Pertanyaan itu menyiratkan keyakinan sang ibu pada “teori” gaya belajar: bahwa setiap anak punya satu gaya belajar yang alamiah – entah visual, auditori, kinestetik, dan lain sebagainya; konsekuensinya, supaya anak belajar dengan efektif, ia harus diajar dengan cara yang sesuai dengan gaya belajar spesifik itu. Karena si ibu yakin anaknya tipe auditori, ia pikir harusnya anak belajar lewat mendengar audio-book. Membaca buku fisik itu cocoknya untuk anak tipe verbal.
Teori gaya belajar ini populer sekali, dan bukan hanya di kalangan orangtua. Hasil survei Paul Howard Jones (2014), lebih dari 90% guru di berbagai negara percaya pada teori gaya belajar ini. Mereka yakin bahwa “seseorang bakal belajar lebih baik ketika menerima informasi dengan gaya belajar yang mereka sukai, entah itu visual, auditori, atau kinestetik”. Persoalannya, keyakinan itu fakta … atau mitos?
Apa Kata Riset
Alih-alih menguatkan, berbagai riset justru menyangkal teori gaya belajar. Kita simak, misalnya, hasil studi terkini Husmann & O’Loughlin (2019) yang meneliti ratusan siswa. Husmann mendapati, ternyata menyesuaikan cara penyampaian materi dengan gaya belajar yang disukai anak-anak tidak meningkatkan prestasi mereka. Selain itu, untuk memahami materi, para siswa tidak membatasi diri pada cara belajar tertentu. Mereka mengkombinasi berbagai pendekatan, termasuk yang dianggap tidak cocok dengan tipe (yang dilabelkan pada) mereka.
Bahkan seandainya anak merasa yakin bahwa dirinya tipe visual, apakah berarti dia sungguh akan menyerap lebih baik materi visual? Atau anak yang yakin dirinya tipe verbal, benarkah akan menyerap lebih baik materi tulisan? Studi Knoll dkk (2017) menjawab: Tidak! Mau pilih mana antara materi visual atau verbal, itu hanya soal selera anak saja, tapi bukan berarti ia betul-betul punya potensi visual atau verbal lebih dibanding yang lain.
Ini menguatkan riset Rogowsky dkk (2015), yang tak menemukan kegunaan dari melabeli seseorang dengan gaya belajar tertentu. Anak yang menganggap dirinya tipe auditori, saat dites secara auditori, hasilnya tidak lebih baik dibanding yang lain. Dalam segala macam tes, yang unggul ternyata anak yang terampil membaca teks. Kata Rogowsky: kita justru bisa merugikan anak kalau kita melabeli dia “auditori” lalu menyuruhnya terus-menerus belajar lewat pendengaran saja, dan lalai menguatkan keterampilannya memahami tulisan.
Setelah mengkaji riset-riset sekian dekade tentang gaya belajar, tim Harold Pashler (2009) menyimpulkan, meskipun sangat populer, bukti ilmiah untuk teori gaya belajar “sangat lemah dan tak meyakinkan”. Menurut Pashler, kita seharusnya merasa terganggu oleh hal ini, karena keyakinan yang keliru tentang cara belajar bakal membuat siswa tak optimal belajar dan guru tak optimal mengajar.
Salah Tafsir Kecerdasan Majemuk
Banyak orang mengajukan teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences – MI) sebagai bukti penguat keyakinan soal gaya belajar. Dicetuskan Howard Gardner tahun 1983, teori MI menyebutkan jenis kecerdasan manusia ada tujuh, bahkan delapan: linguistik, logis-matematis, musikal, jasmaniah-kinestetik, spasial, interpersonal, intrapersonal; tambahan yang kedelapan adalah kecerdasan naturalis. Lewat MI, Gardner menolak anggapan kecerdasan itu tunggal dan hanya bisa diukur lewat tes intellectual quotient (IQ).
Orang acap menjumbuhkan gaya belajar dan kecerdasan majemuk, menganggap keduanya sama. Penjumbuhan ini sebetulnya salah kaprah. Kata siapa? Kata pencipta teori kecerdasan majemuk itu sendiri, Howard Gardner! Tahun 2013, protes keras profesor pendidikan Harvard ini ditayangkan di laman Washington Post. Judul artikelnya tegas: “Kecerdasan majemuk itu bukan gaya belajar”.
“Sudah 30 tahun berlalu sejak saya mengembangkan gagasan kecerdasan majemuk. Saya sangat gembira melihat minat pada gagasan ini dan berbagai cara penggunaannya di sekolah, museum, dan bisnis seluruh dunia. Namun ada satu dampak tak terduga yang membuat saya terganggu, yakni kecenderungan banyak orang, termasuk orang-orang yang saya hormati, menganggap saya pencipta ide ‘gaya belajar’, atau menganggap sama ‘kecerdasan majemuk’ dan ‘gaya belajar’. Kini tiba saatnya memupus rasa pedih saya dan meluruskan kesalahan ini.” Demikian alinea pembukanya.
Selanjutnya Gardner berkata, istilah “gaya belajar” sudah beredar di kalangan pendidik sebelum ia mempublikasikan soal kecerdasan majemuk. Dan ia menganggap istilah ini bermasalah. Pertama, tidak ada definisi yang koheren, sehingga sangat mudah disalahtafsirkan dalam praktiknya. Kedua, tidak ditemukan bukti cukup di lapangan bahwa mengajar anak dengan gaya belajar tertentu membuat ia menyerap materi secara efektif.
Ada perbedaan mendasar antara teori kecerdasan majemuk dan teori gaya belajar, jelas Gardner. Gaya belajar terlalu fokus pada bentuk indrawi informasi. Misalnya, anak visual dianggap harus dipasok eksklusif dengan informasi lewat mata; anak auditori dianggap harus dipasok eksklusif dengan informasi lewat telinga.
Menurut teori kecerdasan majemuk Gardner, yang penting bukan bentuk informasi, tapi bagian otak yang memprosesnya. Mata atau telinga hanya alat saja, bisa dipakai untuk jenis kecerdasan yang berbeda. Kecerdasan spasial dan kecerdasan membaca (verbal) sama-sama butuh mata, kecerdasan musik dan kecerdasan bicara sama-sama butuh telinga.
“Perbedaan [antara konsep inteligensi dan gaya belajar ini besar dampaknya. Di sini saya hendak … memastikan bahwa kita tidak menipu diri sendiri dan, yang lebih penting lagi, kita jangan mengebiri anak-anak kita. Kalau ada yang masih ingin [menjuluki anaknya] ‘bergaya belajar impulsif’ atau ‘pembelajar visual’, ya itu hak mereka. Tapi mereka perlu sadar bahwa label-label ini mungkin tak berguna atau, yang paling parah, menyesatkan.”
“Living Way”
Dari sudut pandang Charlotte Mason, sangat wajar kalau setiap anak punya respons yang berbeda-beda terhadap cara belajar tertentu. “Setiap anak terlahir sebagai pribadi utuh,” itu butir pertama filosofi pendidikan CM. Anak adalah sosok yang unik, tidak ada yang sama persis satu dengan lainnya. Pendekatan one size fits all alias penyeragaman proses belajar untuk semua anak a la sistem pabrik tak akan berhasil.
Namun, di sisi lain, semua anak itu punya kesamaan: sama-sama manusia. Artinya, ada hukum alamiah universal yang berlaku bagi mereka, termasuk dalam hal belajar. Jika proses belajar anak selaras dengan hukum alam, ia akan mendapat manfaat; jika hukum alam itu diabaikan, anak akan menuai masalah, cepat atau lambat.
Dengan kata lain, keunikan anak bukan satu-satunya pedoman untuk merancang strategi belajar. Orangtua dan guru juga wajib mengenali hukum-hukum alam terkait kegiatan belajar ini. Salah satu prinsip yang Charlotte tekankan adalah bahwa setiap subjek (mata pelajaran) punya “living way” masing-masing. Jadi yang unik bukan cuma anak, tapi juga bidang-bidang pengetahuan itu sendiri. Tiap bidang pengetahuan punya kodrat yang akan menentukan cara terbaik mempelajarinya. Kenali karakteristik khas tiap subjek, lalu sesuaikan cara belajar kita dengannya – itulah resep CM tentang proses belajar yang efektif.
Contoh kongkret:
Jika ingin anak mahir membaca, maka latihannya harus melibatkan pemaknaan simbol-simbol teks – tidak bisa diganti dengan belajar lewat nyanyian, misalnya.
Jika ingin anak mahir matematika, maka latihannya harus melihatkan simbol-simbol dan kalimat-kalimat matematis – tidak bisa diganti dengan belajar lewat tarian, misalnya.
Jika ingin anak mahir menyanyi, maka latihannya harus melibatkan pendengaran dan pita suara – tidak bisa diganti dengan belajar lewat membaca, misalnya.
Jika ingin anak jago berenang, maka latihannya harus melibatkan koordinasi gerakan tangan, kaki, kepala – tidak bisa diganti dengan belajar lewat gambar, misalnya.
Dan seterusnya.
Terhadap kodrat khas per subjek ini, anaklah yang harus menyesuaikan diri pada subjek, karena subjek tidak bisa menyesuaikan diri ke anak. Meskipun anak lebih suka belajar lewat mendengar, tapi kalau ingin menjadi pembaca mandiri, ya dia harus melatih dirinya menggulati teks tertulis. Meskipun anak senangnya bergerak dan jalan-jalan, kalau sudah ingin mahir matematika, ya dia harus mendisiplin diri menggarap soal-soal kalimat matematis di lembar kerja.
Dengan kata lain, menurut Charlotte Mason, proses belajar seharusnya tidak dilandaskan pada rasa suka atau tidak suka anak terhadap cara belajar tertentu, tetapi pada tepat atau tidaknya cara belajar itu untuk bidang pengetahuan yang disasar.
Itu sebabnya, walaupun sebagian anak pada awalnya tidak suka disuruh narasi (menceritakan kembali bacaan), dia tetap harus latihan narasi – karena hanya dengan narasi itulah seluruh akalbudinya bekerja aktif mencerna ide dalam bacaan. Walaupun anak malas membaca dan lebih suka belajar lewat video, dia tetap harus digembleng latihan membaca sampai mahir – karena asupan audio-visual tak memadai untuk mengasah daya abstraksi akalbudi manusia
Kembali lagi ke teori gaya belajar. Teori ini lahir di era 1980-an dalam situasi historis meningkatnya respek pada individualitas anak. Semangatnya bagus sekali, yakni itikad mengkustomisasi proses pendidikan agar pas dengan kebutuhan tiap anak. Namun, itikad baik saja tidak cukup. Klaim harus diperiksa kebenarannya, lalu harus diuji lewat bukti-bukti di lapangan. Dalam hal teori gaya belajar sayangnya aspek ketepatan filosofis dan kekuatan dukungan ilmiahnya tidak terpenuhi.
Yes,
Terima kasih atas informasi yang menguatkan ini, Mbak Ellen.
Sangat setuju.dan itu sdh sy terapkan pd anak sy 22th yg lalu☺dmn saat itu sy jg hrs mencari bgmn menstimulasi anak dlm masa goldenage
Setuju. Yg diperkuat motifasi dan lingkungan belajar.