Kapan hari saya membaca tulisan Nino Aditomo tentang polemik penyederhanaan kurikulum. Kalau saya tidak salah paham, tulisan ini dibuat untuk menanggapi orang-orang yang ramai protes pada rencana penghilangan mata pelajaran sejarah di jenjang SMA – yang ternyata hanya kabar burung.
Sebagai pihak yang sepertinya terlibat atau minimal memantau proses merencanakan perubahan kurikulum, saya lihat Nino menyampaikan masalahnya secara objektif. Penyusunan kurikulum nasional adalah urusan besar yang akan menyenggol kepentingan banyak pihak. Nuansa politisnya kental sekali.
Kepentingan-kepentingan politik para pihak itu tentu saja centang perenang, tidak akan bisa dipuaskan semuanya. Penyusun kurikulum yang ingin menyenangkan semua pihak, yang tiap kali dikritik langsung keder, malah tidak akan sampai ke mana-mana. Seperti kata Steve Jobs: if you want to make everyone happy, don’t be a leader – sell ice cream.
Jadi, daripada ikut menambah ribut soal politiknya, saya mau menyoroti substansi idenya saja. Saya mau menanggapi ide Nino soal kurikulum yang berpihak pada murid. Saya mulai dari coba memahami dulu apa yang Nino maksud “keberpihakan kepada murid”.
***
Menurut Nino, keberpihakan pada murid butuh tiga syarat:
Pertama, memahami bahwa murid “bukan cawan kosong yang bisa diisi dengan fakta dan nilai-nilai.” Materi pelajaran itu tidak bisa dijejalkan. Murid harus “secara aktif memproses materi pelajaran” dan merakitnya menjadi pengetahuan baru. Dalam bahasa Charlotte Mason, pengetahuan itu harus dicerna sampai menjadi milik si murid itu sendiri, dan: there is no education but self-education.
Kedua, memahami bahwa murid memiliki keunikan bakat, minat, dan cita-cita. Tiga aspek ini akan mempengaruhi motivasi belajar. Makin berbakat, berminat, dan berkepentingan seorang murid terhadap suatu materi, dia akan makin cepat menguasainya – dan sebaliknya. Dalam bahasa Charlotte Mason, setiap anak terlahir sebagai pribadi utuh dan “kau bisa menuntun kudamu ke air tapi tak bisa memaksa dia minum”.
Ketiga, memahami bahwa murid memiliki masa depan yang panjang. Masanya untuk berkarir merentang sampai 40-50 tahun sejak dia lulus dari sekolah. Selama rentang waktu itu, dia mesti terus beradaptasi dengan masa depan yang volatil, tak pasti, kompleks, dan ambigu (VUCA). Dalam bahasa Charlotte Mason, anak harus punya watak yang membuat dia bisa cepat belajar mengerjakan apa saja begitu dia meniatinya.
***
Ketiga syarat di atas relatif selaras dengan filosofi pendidikan Charlotte Mason, meskipun saya pikir Charlotte akan lebih setuju pada frase “respek pada murid” ketimbang “berpihak kepada murid”.
Dalam filosofi CM, proses pendidikan tidak bisa dijangkarkan pada rasa suka atau tidak suka murid maupun guru. Keberpihakan pendidik harus selalu pada Hukum Alam, Kebenaran, dan Kehendak Tuhan. Kita memfasilitasi bakat, minat, cita-cita anak sejauh yang dia inginkan tidak bertentangan dengan Prinsip-Prinsip itu. Anak juga tidak boleh melanggar Prinsip-Prinsip atas nama bakat, minat, dan cita-cita.
Di sisi lain, seorang guru tidak bisa disebut respek pada murid kalau dia memaksakan materi atau cara mengajarnya secara membabi buta. Charlotte Mason mengingatkan bahwa niat mengajarkan yang baik pun bisa berdampak buruk kalau guru tidak mengindahkan Hukum Alam.
Mengajarkan sejarah tapi metodenya hafalan garing, misalnya, tidak akan efektif membangkitkan kesadaran historis dalam akalbudi anak – karena akalbudi tidak bisa terpantik oleh hafalan garing. Hafalan itu hanya akan masuk sebentar, untuk kemudian dibuang di kertas ujian, dan tak pernah menciptakan perubahan perilaku.
***
Yang saya cermati dari tiga poin Nino di atas adalah perspektifnya kurang seimbang antara keunikan dan keumuman anak-anak. Tiap-tiap anak unik, itu adalah Hukum Alam. Namun semua anak punya elemen universal dalam diri mereka, itu juga Hukum Alam. Paduan antara menggarap baik unsur yang universal dalam diri semua anak maupun unsur yang unik dalam tiap pribadi anak adalah kunci agar pendidikan berhasil.
Memang dalam konteks Indonesia yang dari dulu sistem pendidikannya sejak lama terlalu menekankan keseragaman, penting sekali memberi perhatian besar pada keunikan anak. Hanya saja, jangan sampai seperti pendulum yang berayun dari ekstrem satu ke ekstrem lain. Jika kita bicara keseimbangan, baiknya kita tetap mengingat bahwa selain keunikan bakat, minat, dan cita-cita, anak pun punya amanat yang sama sebagai manusia.
Dalam terminologi Charlotte Mason, kurikulum adalah perbincangan soal what, anak harus belajar apa. Persoalan what ini adalah penjabaran dari pertanyaan yang mendahuluinya soal why, mengapa anak harus belajar. Apa filosofi pendidikan di balik kurikulum itu?
David V. Hicks dalam esainya Norms and Nobility (1981) menyarikan dua pertanyaan inti dalam filosofi pendidikan yang harus dijawab oleh semua pembuat kebijakan pendidikan. Pertama, manusia itu hakikatnya apa/siapa? Kedua, manusia ada di Bumi ini untuk apa? Menjawab dua pertanyaan ini pembuat kurikulum akan dibebaskan dari belenggu kepentingan jangka pendek untuk menyambut amanat yang bersifat abadi.
***
Sekarang masuk ke poin-poin yang lebih praktis. Nino menguraikan aneka implikasi dari tiga poin di atas untuk rencana kongkrit perubahan kurikulum.
Dampak dari poin pertama adalah perancang kurikulum harus menyiapkan durasi yang cukup untuk memastikan setiap murid paham materi pelajarannya dengan distorsi minimal. Makin kompleks pelajarannya, makin panjang jam belajar yang harus dialokasikan.
Dalam hal ini, Nino menekankan bahwa “keluasan (konten) dan kedalaman (pemahaman) adalah dua hal yang tidak bisa berjalan beriringan”. Kalau kita ingin memasukkan semua materi ke dalam kurikulum, maka kurikulum akan menjadi penuh sesak, lalu guru akan kejar tayang menuntaskan target tanpa peduli murid paham atau tidak.
Karena itulah Nino berpendapat, “jika ingin berpihak pada murid, perancang kurikulum perlu memangkas sebanyak mungkin konten kurikulum”. Dengan kata lain, Nino berpihak pada kedalaman dibanding pada keluasan. Menjadi spesialis lebih baik dibanding menjadi generalis.
***
Dari sudut pandang Charlotte Mason tentu saja posisi Nino itu akan dipertanyakan. Hukum alamnya bagaimana? Apakah betul anak terlahir untuk menjadi spesialis? Atau sebaliknya?
Semua orangtua tahu anak-anak tertarik pada beraneka ragam pengetahuan. Dalam bukunya Ourselves, Charlotte bercerita bahwa semua manusia terlahir dengan hasrat akan pengetahuan. Manusia yang sehat akalbudinya akan tertarik pada semua arena yang terbuka bagi inteleknya – sejarah, sastra, sains, seni.
Dari kecil anak suka belajar apa saja, bukan untuk mendapat nilai tapi untuk menumbuhkan dirinya. “Kita belajar supaya kita bisa bertumbuh,” kata Charlotte. “Tapi untuk bertumbuh kita perlu pengetahuan.” Pengetahuan – istilahnya “ide-ide hidup” – berfungsi bagai makanan bagi batin. Tubuh manusia membutuhkan makanan bergizi, beragam, dalam porsi yang cukup, secara teratur. Pikirannya pun demikian.
Karena itulah dalam metode Charlotte Mason, sangat ditekankan untuk menyajikan kurikulum yang kaya kepada anak. Bukan hanya saat dia masih SD atau SMP, tapi seumur hidupnya. Wortel memang makanan sehat, tapi makan wortel banyak-banyak, tidak akan mencukupi kebutuhan karbohidrat atau lemak seseorang. Belajar matematika itu baik, tapi belajar matematika banyak-banyak tidak akan mencukupi kebutuhan pengetahuannya di bidang lain.
***
Memang sejak Adam Smith menulis The Wealth of Nations (1776) dan terjadinya Revolusi Industri, masyarakat kita makin lama makin terobsesi dengan spesialisasi. Spesialisasi adalah metode penting untuk memajukan kesejahteraan ekonomi.
Di masa lalu, seseorang bisa menjadi pelukis, sekaligus arsitek, sekaligus perancang perlengkapan militer, sekaligus penulis – seperti Leonardo da Vinci. Tertarik dan menekuni banyak bidang sekaligus bukan barang aneh. Namun, belajar karena kesenangan belajar, bekerja karena kesenangan bekerja, itu makin ditinggalkan. Efisiensi lebih penting.
Saat ini anak pun sejak kecil didorong (atau seringkali didesak) untuk menjadi spesialis, selekas mungkin. Orientasinya tentu saja prestasi, yang kemudian akan berujung pada kecukupan finansial. Bahkan tentang minat dan bakat pun terjadi penyempitan sudut pandang. Begitu anak kelihatan pandai dalam suatu bidang, orangtua terburu-buru mendorongnya jadi spesialis di bidang itu, seolah-olah seumur hidup dia hanya akan meminati itu saja, seolah-olah dalam diri anak hanya ada satu bakat itu saja.
Pujangga Amerika Walt Whitman menulis satu larik mengesankan dalam puisinya Song of Myself (1855): “I am large, I contain multitudes” – di dalam diri saya, diri kita, diri anak-anak, ada keluasan dan kekayaan potensi, minat, dan bakat. Karena itulah Charlotte Mason menyayangkan kalau para penentu kebijakan terburu-buru menyempitkan kurikulum. Dalam perspektifnya, itu bukan demi kepentingan anak, melainkan demi memuaskan tuntutan pasar. Utilitarian.
***
Namun bagaimana dengan waktu? Bukankah mempelajari banyak mata pelajaran akan menghabiskan terlalu banyak waktu? Sekilas terasa benar, tapi kalau ditelaah lebih cermat, kita tidak bisa buru-buru mengiyakan.
Mengapa proses belajar di sekolah-sekolah sekarang ini begitu boros waktu? Karena mata pelajarannya yang banyak atau karena materi pelajarannya dan metode belajarnya yang keliru? Charlotte Mason lebih condong pada alasan yang kedua.
Andai saja proses belajar anak-anak kita diisi dengan konten yang inspiratif, living ideas, baik berupa buku-buku bermutu, karya seni bermutu, perjumpaan langsung dengan alam terbuka, percakapan yang menarik dan bernas, mereka bakal menyerap materi lebih cepat. Manusia tertarik pada ide yang dibalut dalam kemasan cerita dan bahasa sastrawi, atau tampilan yang indah dan hidup, itu sudah hukum alam.
Sayangnya, setiap hari murid-murid di sekolah harus “mengunyah” buku-buku teks garing, ditulis secara asal-asalan oleh orang-orang yang seringkali tidak tahu cara menyusun kalimat efektif. Kalau murid jadi lama mencernanya, itu salah siapa?
Andai saja proses belajar anak-anak dilangsungkan dalam durasi singkat-singkat tapi dengan konsentrasi penuh, anak akan mengembangkan kebiasaan memperhatikan (habit of attention). Kalau anak terbiasa diminta menceritakan kembali yang mereka pahami (narration) hanya dalam sekali dengar atau baca (single reading), anak-anak akan memiliki akalbudi yang sigap mencerna ide. Dan kalau guru berhasil memenangkan respek anak sampai anak langsung taat hanya dalam sekali perintah (habit of obedience), dia tidak akan habis waktu membuat kelas jadi tenang.
Sayangnya, setiap hari murid-murid di sekolah dibiasakan pada jam belajar yang panjang-panjang tanpa diminta berkonsentrasi. Guru ceramah dan anak pasif mendengar. Materi pelajaran diulang-ulang, remidi dilakukan bolak-balik. Dan banyak guru yang tidak tahu caranya memenangkan ketaatan anak dan menegakkan aturan secara efektif. Kalau proses belajar jadi lama, itu salah siapa?
***
Wacana berikutnya yang dikemukakan Nino adalah kurikulum yang kaya diberikan pada jenjang SD dan SMP, lalu saat SMA beban kurikulum dipangkas, dan anak lebih banyak diberi ruang untuk meramu sendiri konten kurikulum mereka.
Menurut Charlotte Mason, itu keliru. Selain bahwa kurikulum yang kaya dibutuhkan manusia sepanjang hayatnya, kita harus bekerja sama dengan alam soal kapasitas anak menyerap pengetahuan.
Pada usia SD, rentang perhatian anak masih relatif pendek. Bagi kami yang homeschooling dengan metode CM, anak baru memulai fase pelajaran terstruktur pada usia paling cepat 6 tahun dan lebih idealnya 7 tahun. Di semester pertama, sesi kelas akademis anak hanya sekitar 30 menit sampai 1 jam saja. Itu pun sudah bisa dapat banyak, karena durasi belajar per materinya pendek-pendek. Yang penting anak dijaga tetap fokus selama sesi.
Durasi belajar mestinya mengikuti kesiapan fisiologis anak. Makin anak besar, ia makin tahan menjalani jam belajar yang lebih panjang dan, karena sudah dilatih dari kecil, fokusnya makin kuat. Artinya, makin banyak materi yang bisa masuk ke dalam kurikulum wajib anak SMA dibandingkan kurikulum wajib anak SD.
Contoh: anak sulung saya saat ini berusia 14 tahun, dia sudah bisa mempertahankan fokus sekitar 3 jam per sesi. Dalam sekali sesi, dia bisa menyelesaikan satu lembar worksheet matematika, mengapresiasi satu puisi dan satu lukisan, membaca dan mendiskusikan dengan saya sepertiga bab buku personal development, mengerjakan beberapa bagian exercises pelajaran bahasa Inggris, menyalin 2 lembar halaman karya sastra maestro, berlatih pidato singkat, membaca dan membuat narasi tertulis salah satu buku wajib, lalu membaca mandiri 3 buku pilihan masing-masing 7-10 halaman dan menarasikannya. Saat dia berusia SMA kelak, durasi masih bisa diperpanjang dan materi wajibnya masih bisa ditambah lagi.
***
Mengapa Charlotte Mason menambah durasi jam belajar wajib di usia SMA alih-alih menguranginya? Karena itulah usia yang tepat untuk mencerna banyak bacaan yang masih akan terbilang sulit dibaca bagi anak-anak usia SMP ke bawah.
Saat SMA, anak-anak praktisi metode CM diharapkan sudah bisa membaca buku-buku babon tentang kapitalisme, komunisme, feminisme, dan aneka buku filsafat dan karya sastra yang rumit isunya, seringkali menampilkan fenomena seksualitas dan kekerasan.
Anak-anak SMA ini akan segera terjun ke masyarakat yang kompleks relasi sosialnya. Charlotte mengharapkan mereka kelak akan lulus sebagai pemikir-pemikir muda yang bisa menimbang aneka isu sosial-politik secara cerdas. Entah mereka jadi wirausahawan atau karyawan, mereka akan bekerja dengan benak yang terinformasi dan kesadaran kritis karena sudah membaca banyak buku.
Anak-anak kita harus bisa bekerja, tapi kodrat mereka bukan hanya makhluk pekerja. Mereka perlu merumuskan tujuan hidup mereka sendiri secara otentik. “Untuk siapakah kepala, hati, dan tanganmu diabdikan?” kata Charlotte Mason. Usia SMA adalah fase yang tepat untuk mulai mendorong mereka bergulat dengan berbagai kemungkinan jawabannya.
***
Apakah materi pelajaran yang banyak membuat anak tidak bisa mengembangkan minat-bakatnya? Itu simpulan yang wajar sebab rujukannya adalah cara belajar yang umum di sekolah saat ini. Saya tidak akan membicarakan kendalanya, tapi idealnya dulu.
Mendorong anak mengembangkan minat dan menyusun konten belajar mereka sendiri pada usia SMA, dalam perspektif Charlotte Mason itu terlalu terlambat. Anak sudah harus dibiasakan mengerjakan yang dia suka sejak dia masih bayi.
Seperti Nino, Charlotte juga menganggap bahwa aktor utama proses belajar adalah anak itu sendiri. Makin banyak anak berperan aktif, makin sedikit orangtua dan guru ikut campur, makin baik. Istilahnya, masterly inactivity.
Karena itu, Charlotte berpesan agar anak tidak perlu diberi pelajaran terstruktur sampai dia berusia 6-7 tahun. Biarkan dia bermain bebas. Tentu saja, ini nantinya akan menuntut pemerintah menyediakan fasilitas publik bagi anak-anak seperti ruang hijau terbuka di kampung-kampung, perpustakaan yang koleksinya lengkap, sentra-sentra hasta karya atau seni rupa, selain membuat aturan-aturan untuk menjaga keamanan anak-anak agar aman berkegiatan di sekeliling rumah mereka.
Banyak bermain bebas, apalagi di lingkungan alami, sudah dibuktikan oleh berbagai riset akan meningkatkan kesehatan anak, baik jasmani, mental, maupun emosional – spiritual juga, kata Charlotte. Sudah waktunya TK-TK berubah kurikulum, dari mengurung murid-murid dalam ruangan ke banyak menjelajah alam.
Menyimak jadwal sekolah yang didirikan Charlotte Mason dulu, idealnya di usia SD, anak sudah selesai sesi akademis sebelum jam makan siang. Di usia SMP, jam belajar anak sudah selesai maksimal pada saat makan siang. Di usia SMA, 1-2 jam setelah makan siang. Tapi setelah itu tidak ada lagi tambahan tugas akademis. Tidak ada PR. Siang sampai malam hari, anak punya waktu bebas. Cukup untuk anak mendalami bidang apa pun yang mereka sukai, bukan?
***
Semua poin yang Nino sebutkan sebagai implikasi poin ketiga bisa terpenuhi apabila proses belajar yang sesuai Hukum Alam dijalankan.
Anak akan menjadi pelajar sepanjang hayat, secara mandiri maupun bersama orang lain mengembangkan keahlian baru, karena sejak kecil ia dibiasakan bebas berinisiatif dengan masterly inactivity. Dia suka membaca buku karena buku-bukunya menarik. Dia suka semua mata pelajaran karena bahannya bermutu dan cara belajarnya selaras dengan kodrat dan kapasitasnya. Dia akan terbiasa berinovasi karena sehari-hari terbiasa punya banyak waktu luang untuk bereksperimen dengan hidupnya.
Anak akan menjadi pribadi yang mampu bernalar kritis karena sejak kecil dibiasakan menyimak dengan saksama dan mencerna ide secara mandiri lewat metode narasi. Daftar buku yang dia baca panjang, karya para penulis terbaik sepanjang sejarah manusia sejauh yang bisa dia akses. Dia belajar logika dan filsafat. Dia belajar psikologi dan seni dan sejarah dan sains dan segala macam pelajaran lainnya. Dia bisa melihat satu isu dari berbagai sudut pandang.
Anak bahkan akan paham tentang cara kerja sistem kapitalisme, mitos-mitos ukuran sukses di masyarakat, dan isu-isu ketimpangan sosial-ekonomi. Dia bisa merefleksikan nasionalismenya, keberagamaannya, dan segala macam imperatif sosial-budaya yang hendak dipaksakan padanya. Anak akan cakap bekerja, dengan kesadaran untuk apa dia bekerja, dan apa yang berharga untuk dilakukan dengan uang hasil kerjanya. Anak akan mencintai bangsanya tanpa menafikan bahwa bangsanya pun perlu diperbaiki. Singkatnya, dia akan menjadi warga negara yang bijak dan bajik.
***
Akhir kata, saya setuju sekali dengan Nino bahwa bukan hanya pelajaran sejarah saja yang perlu ditinjau ulang, tapi semua mata pelajaran, bahkan seluruh kurikulum pendidikan nasional.
Sebagai penonton, saya hanya berharap bahwa siapa pun di Kemendikbud sana yang sedang berusaha menyusun kurikulum yang lebih baik akan punya cukup keberanian untuk mengambil jarak dari kelompok-kelompok kepentingan, demi kebaikan anak-anak Indonesia, bagi masa depan bangsa ini.
Tidak mudah tentu saja, tapi itulah risikonya jadi pemimpin. Kalau tidak berani, jualan es krim saja.**
Ini tidak mudah mbak.
Kepentingan nya lebih dari yang mbak jelaskan disini.
Saya yang tumbuh dari pendidikan ini sampai ke PTN negeri ada hidden mission. Kalau ada yang mau mengubah mentalnya dan kalkulasi politiknya dia bisa ukur serta mampu menanggulanginya.
Untuk mengubah ini corenya ada di kemampuan presiden.
Selama presiden tidak tegas memberi komando, setiap kementerian, terutama pendidikan dan kebudayaan akan selalu berpolitik alih-alih kerja untuk mencapai kecerdasan bangsa yang diharapkan.
Boleh mbak baca buku judul kenapa perlu kembali ke UUD 1945? Di gagas ketua KPK pendiri dan pertama Indonesia 🌼❤️
Gagasan tulisan ini sangat insightful untuk pembangunan negeri nusantara di masa depan, kalau perang ini berhasil kita lalui ❤️
Terima kasih wawasan dan masukannya ya. Kendala memang banyak, tantangannya pun besar. Tapi mari sama-sama terus berusaha agar pendidikan di negeri ini bisa membaik.
Daebak. Jleb jleb jleb.
Kecerdasan seseorang bukan tampak dari banyaknya istilah serapan asing yang ia gunakan, melainkan bagaimana ia dapat memaparkan konsep dan teori rumit dalam bahasa paling membumi, sederhana, tak bersayap-sayap, langsung pada sasarannya. Jleb jleb jleb.
Terima kasih sudah membaca, mbak Ken!