Buku anak terbitan Tiga Serangkai “Aku Belajar Mengendalikan Diri” ramai dibicarakan netizen seminggu ini terkait kontennya yang dinilai pornografis. Saya belum membaca buku itu dan tentu akan sulit mencarinya karena sudah tidak lagi diedarkan, tapi saya punya satu kesan kuat terkait kasus ini.
Kesan saya adalah: penulisan, penerbitan, dan peredaran buku anak kita sangat disetir oleh sentimen pasar, tetapi kode etik dalam industri buku masih payah. Selain soal problem di kontennya, ada problem di nalar yang menguasai industri buku kita.
Mirip seperti di dunia kuliner, kalau ada menu baru yang laris dan ngetren, berbondong-bondong pedagang lain akan menjual menu serupa. Begitu juga di dunia buku. Penerbit mana yang tidak “ngiler” kalau melihat ada genre buku yang sukses meraup omset miliaran rupiah? Jadilah dia tertarik ikut menerbitkan genre buku serupa.
Dalam bisnis, meniru adalah sesuatu yang wajar. Namun, meniru juga mesti ada kode etiknya, apalagi di dunia penulisan. Kita bicara soal karya intelektual, yang amat sangat perlu dihargai. Secara umum ada hukum tentang hak cipta yang melindunginya. Secara moral, editor dan penulis harus tetap hati-hati dalam mengeluarkan karya sesuai sasaran pembacanya dan mempertimbangkan hubungan baik dengan pihak yang ditirunya.
Adanya peniruan ide saya lihat jelas dalam kasus buku terbitan Tiga Serangkai ini. Seri “Aku Bisa Melindungi Diri Sendiri” ini baik konsep maupun tampilannya sangat mirip dengan serial buku “Aku Anak yang Berani: Bisa Melindungi Diri Sendiri” karya penulis laris Watiek Ideo.
Sejak diterbitkan tahun 2014, buku Watiek Ideo tersebut telah dicetak ulang sampai enam kali, dipakai oleh banyak orangtua, guru, dan sekolah. Omsetnya jelas tidak kecil. Barangkali karena itulah penerbit Tiga Serangkai berminat membuat buku sejenis, bahkan sangat mirip. Setelah mendapat penulis yang mau bekerjasama mengeksekusi, diterbitkanlah serial dengan format, tipe ilustrasi, sampai tagline sangat mirip. Orangtua kebanyakan bakal sulit membedakan, kalau bukan dari harganya.
Akibatnya, ketika terjadi heboh yang diikuti penarikan buku Tiga Serangkai dari peredaran, buku-buku Watiek Ideo juga terkena imbas ikut ditarik dari toko-toko. Konon secara pribadi, editor dari Tiga Serangkai sudah meminta maaf secara pribadi kepada Watiek. Minta maaf memang sudah seharusnya, tetapi nasi sudah menjadi bubur. Hancurnya citra buku dan penulis yang sudah dibangun lama, tentu tidak mudah dipulihkan.
Saya lihat di sini pun, toko-toko buku offline maupun online tidak bersikap sesuai apa yang benar, tetapi berdasar pendapat publik. Toko buku besar seperti Gramedia pun jadi “ketakutan” memajang buku Watiek Ideo dan memilih menyimpannya dulu di gudang. Ternyata nalar ekonomi memang luar biasa kuat, lebih mendikte dibanding citarasa literasi (seperti apa kualitas bukunya?), apalagi rasa keadilan (mengapa pihak yang tidak bersalah harus ikut menanggung akibat perbuatan orang lain?).
Saya hanya berpikir, kasihan anak-anak Indonesia jika industri bukunya dikuasai oleh nalar ekonomi dan sentimen pasar seperti ini. Ketika buku-buku ditulis sebatas menyesuaikan diri dengan tren, editor dan penulis mengabaikan asas kepatutan dalam menerbitkan karya, juga toko-toko buku berdagang tanpa idealisme, tampaknya masih jauh harapan melihat mekar suburnya sastra anak Indonesia yang kaya ragam dan berkualitas.
no replies