Gemas kita melihatnya: bocah-bocah lelaki “tengil” yang terus berlarian ke sana kemari, saling bergulat, mendorong, dan bercanda tiada habisnya, tak mau duduk tenang. Namun, kata riset, semua kehebohan fisik ini ternyata justru memudahkan mereka belajar membaca.
University of Eastern Finland merilis hasil riset mereka di Journal of Medicine and Sport tanggal 30 November lalu. Didapati, makin panjang durasi anak kelas 1 SD duduk di kelas dan makin sedikit aktivitas jasmani mereka, makin rendah capaian belajar membaca mereka selama dua tahun berikutnya. Kurangnya gerak fisik itu juga berpengaruh negatif pada prestasi akademis matematika.
Para peneliti menganalisis 153 anak usia 6-8 tahun. Debar jantung dan gerakan mereka dicatat dengan sensor, kemudian mereka diberi tes tertulis matematika dan membaca. “Kami menemukan bahwa aktivitas fisik yang rendah, tingkat duduk diam yang tinggi, dan terutama kombinasi keduanya, berpengaruh pada keterampilan membaca yang rendah pada anak-anak lelaki,” demikian kesimpulan riset.
Yang menarik, dampak serupa tidak terlihat pada anak-anak perempuan. Duduk dalam waktu panjang tanpa banyak bergerak tidak didapati mempengaruhi kemampuan mereka belajar membaca.
Meskipun grup yang diteliti relatif kecil, riset ini memberi bukti kekuatiran orangtua selama ini: yakni bahwa anak lelaki butuh dididik dengan cara yang berbeda dari anak perempuan.
Riset ini juga menjadi masukan bagi sekolah-sekolah agar lebih memperhatikan porsi pendidikan jasmani. Saat ini, seringkali anggaran dialokasikan lebih banyak untuk mengembangkan fasilitas elektronik, laboratorium, dan perpustakaan. Meskipun bermanfaat, sarana prasarana itu justru makin mengkondisikan anak banyak duduk dan sedikit bergerak. Model belajar sedentaris itu nantinya justru kontraproduktif bagi para siswa, khususnya siswa lelaki
Sumber: TIME
no replies