“Kebutuhan mendesak kita pertama-tama bukanlah metode pendidikan yang lebih baik, melainkan konsepsi lebih memadai tentang anak … tiada kejahatan yang lebih kejam ketimbang membungkam atau meremukkan atau merusak kepribadian itu.” (A Philosophy of Education, hlm. 80)
Membungkam, meremukkan, atau merusak kepribadian. Memikirkan frase terakhir dari kalimat tersebut, ingatan saya melayang pada hari-hari ketika kami – saya dan teman-teman satu angkatan di SMA – mengikuti mata pelajaran fisika. Ini subjek yang butuh kekuatan nalar, dengan segala hafalan rumusnya.
Guru kami waktu itu sangat cerdas, dia hafal berbagai rumus fisika di luar kepala, dan bisa menyelesaikan soal yang paling rumit hanya dalam hitungan detik. (Sepertinya saya agak melebih-lebihkan, tapi di mata saya waktu itu, dia memang cerdas sekali.)
Guru kami ini tidak banyak bicara, hanya menerangkan sedikit saja tentang sebuah rumus lalu memberi kami satu demi satu soal untuk dikerjakan. Soal yang ia berikan tidak pernah sederhana, selalu hanya bisa dijawab dengan mengelaborasi rumus yang baru saja diajarkan dengan berbagai rumus lain dari buku teks.
Sebagian murid menggarap soal-soal itu dengan bersemangat, karena merasa bisa. Sebagian lagi, jumlahnya jauh lebih banyak dari kelompok pertama tadi, mencoba sekedarnya saja, karena merasa yakin “pasti aku tidak bisa”.
Setelah lewat beberapa saat, guru fisika kami akan menunjuk satu nama untuk maju ke papan tulis mendemonstrasikan solusi dari soal itu. Anehnya, sepertinya bukan tidak disengaja, ia selalu menunjuk murid-murid yang paling lemah dalam pelajaran fisika.
Begitulah murid yang malang itu dengan lesu maju ke papan tulis, mencorat-coret tanpa rasa percaya diri jawabannya, menerima gojlokan cibiran dan senyuman sinis dari si guru selama berbelas-belas menit tentang kesalahan-kesalahan hitungannya, sebelum akhirnya guru itu menyuruhnya meminta bantuan dari murid-murid paling pintar di kelas.
Suatu hari, yang ditunjuk maju adalah seorang sahabat perempuan saya. Saya tahu dia benci pelajaran fisika. Baginya, bisa mendapatkan angka 50 untuk ulangan fisika sudah merupakan keajaiban.
Saya melihatnya bercucuran keringat dingin di depan papan tulis, bolak-balik menghapus dengan tangan cara menghitung yang disalahkan oleh guru sampai papan tulis itu jadi basah.
Menit demi menit berlalu, sang guru tak juga mengakhiri “sesi penyiksaan” ini. Ekspresi sahabat saya makin lama makin putus asa, perhitungannya makin lama makin ngawur. Saya menunduk pura-pura sibuk, tak sampai hati menyaksikan itu, tapi tak tahu harus berbuat apa selain merasa iba.
Sampai sekarang, sepuluh tahun lebih sejak lulus SMA, sahabat saya ini tak pernah sembuh dari traumanya akan fisika dan keyakinan bahwa ia adalah anak yang bodoh.
***
“Kecerdasan seperti misteri,” kata John Holt, pelopor gerakan unschooling di Amerika dalam bukunya How Children Fail (1964). Holt lama menjalani karir sebagai seorang guru dan teliti melakukan observasi terhadap para siswanya.
Saya akan mengutip keseluruhan refleksi John Holt dari jurnal hariannya tanggal 18 Februari 1958, yang menurut saya penting dipikirkan:
Kita diberitahu bahwa kebanyakan orang tidak pernah mengembangkan lebih dari sebagian kecil saja kapasitas intelektual mereka yang terpendam.
Mengapa? Mengapa kebanyakan hanya bisa mencapai sepuluh persen dari potensi kekuatan mereka. Mengapa tidak lebih besar? Bagaimana caranya ada orang-orang yang berhasil meningkatkannya sampai 20-30 persen – atau bahkan lebih lagi? Apa yang membuat saklar otak terpencet padam, atau bahkan mencegahnya terpencet menyala seumur hidup anak?
Selama empat tahun terakhir mengajar di Colorado Rocky Mountain School, aku dihadapkan pada masalah ini. Saat mulai menjadi guru, aku pikir memang sebagian orang terlahir lebih cerdas ketimbang yang lain dan kita tidak bisa berbuat banyak tentang itu.Sepertinya ini adalah pendapat umum para psikolog. Tidak terlalu sulit mempercayainya, andai kontak kita dengan anak-anak sebatas di ruang kelas atau di ruang tes psikologis.
Tapi kalau kau hidup di sebuah sekolah kecil, bertemu siswa-siswa di kelas, juga di asrama, dalam kehidupan sehari-hari, saat mereka berekreasi, berolah raga, dan melakukan berbagai pekerjaan domestik, kau tidak bisa lari dari kesimpulan bahwa banyak orang yang tampak lebih cerdas di satu waktu dibanding di waktu-waktu lain.Mengapa? Mengapa musti seorang bocah lelaki atau perempuan, yang di situasi tertentu begitu banyak akal, penuh perhatian, imajinatif, pandai menganalisis situasi, ringkasnya cerdas, bisa masuk ke dalam kelas lalu, seolah-olah kena mantera sihir, berubah menjadi anak-anak tolol?
Murid-murid paling parah yang kita temui, yang paling parah yang pernah aku jumpai, ternyata dalam kehidupannya di luar ruang kelas sama dewasa, cerdas, dan menariknya seperti anak-anak lain di dalam kelas.Apa yang salah di sini? Para pakar berbisik kepada orangtua tentang gangguan permanen di otak — cara mudah untuk mengakhiri misteri yang tak bisa kau jelaskan dengan cara lain. Sepertinya entah di titik mana, kecerdasan anak terputus koneksinya dari proses belajar di sekolah. Di titik yang mana? Mengapa?
Tahun ini, murid-muridku parah. Aku tidak meluluskan banyak anak, terutama untuk pelajaran bahasa Perancis dan Algebra, dibandingkan guru-guru lain di sekolah.Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik supaya mereka bisa lulus, Tuhan saksinya. Sebelum setiap tes, kami selalu melakukan drill habis-habisan, yang sopannya dikenal sebagai ‘tinjauan kembali”. Ketika mereka ternyata gagal dalam ujian, kami mengadakan analisis kegagalan itu, lalu lebih banyak tinjauan kembali, setelah itu ujian remidi (selalu lebih mudah ketimbang ujian pertama), yang kebanyakan mereka hampir selalu … gagal lagi.
Kupikir aku menemukan jalan keluarnya: aku membuat pelajaran itu menarik dan ruang kelas menjadi hidup dan antusias. Bahkan kadang kala, beberapa anak yang tadinya gagal lantas jadi menyukai kelas-kelasku. Hilangkan rasa takut anak untuk mengakui bagian mana yang mereka belum pahami. Terus beri mereka tekanan yang mantap dan pasti untuk maju. Semua ini aku lakukan.Hasilnya? Siswa yang pintar tetap pintar, sebagian mungkin jadi lebih pintar; tapi siswa yang bodoh tetap bodoh, dan beberapa malah terlihat tambah bodoh. Di ujian berikutnya mereka masih gagal.
Harusnya ada jawaban yang lebih baik. Barangkali kita bisa mencegah anak-anak itu menjadi orang gagal yang kronis sebelum terlanjur.
John Holt tepat sekali. Mustinya ada jawaban yang lebih baik ketimbang mengubah metode belajar.
Charlotte bilang, kita musti terjun lebih dalam dari sekedar mencoba trik-trik baru. Kita musti memperbaharui konsepsi kita tentang anak. Kita harus merumuskan ulang filosofi pendidikan kita. Kita harus lebih dahulu menjawab pertanyaan tentang mengapa, sebelum menentukan apa dan bagaimana anak kita sebaiknya belajar.
Sebelum pertanyaan fundamental itu terjawab, kita hanya bisa memandangi anak-anak kita ini dengan iba.
no replies