“Tuhan sudah menganugerahi anak dengan semua potensi, tapi soal terbesarnya belum diputuskan – bagaimanakah hati, kepala, tangan ini akan dipergunakan? Untuk melayani siapakah mereka diabdikan? Jawabannya melibatkan masa depan bahagia atau menderita dari sosok yang begitu kau sayangi.” (Home Education, hlm. 2)
Saya menyimpan klipingan koran itu di jurnal harian saya. Saya tempel tersendiri di satu halaman. Judulnya “Johnson Jatuh dan Raih Emas”, dari harian Kompas tanggal 7 September 2007 rubrik Sport.
Isinya berita tentang Shawn Johnson, waktu itu umur 15 tahun, pesenam asal Amerika yang memperoleh medali emas di Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2007 di Stuttgart, Jerman. Johnson yang juara senam nasional di Amerika itu sempat jatuh saat beraksi di nomor balok titian, namun itu tidak menghalangi tim Amerika pulang membawa emas.
Bukan soal medali emas itu yang membuat saya menyimpan potongan koran ini, tetapi dua paragraf selanjutnya.
Putri pasangan Doug dan Teri itu mulai berlatih senam saat berusia tiga tahun di West Des Moines, Iowa, 1995. Ibunya memasukkan dia ke klub senam karena Shawn kelewat aktif bergerak. “Kata ibu, anak yang liar seperti saya harus mengerjakan sesuatu supaya tenang. Senam sangat menarik dan dapat bertemu banyak orang dan berteman dengan siapa saja,” kata pesenam kelahiran 19 Januari 1992 itu. Selain sibuk senam, Shawn siswa berprestasi di sekolah. Dia sudah menerbitkan tiga cerita pendek. Ia ingin menjadi dokter atau pelatih senam.
Dengan penuh doa, saya mencoretkan di bagian bawah klipingan koran itu, “Aku ingin menjadi ibu yang sejeli ibu Shawn bagi Vi (dan adik-adiknya) …”
Bulan September tahun 2007 itu Vi baru berumur 1 tahun 1 bulan, sementara adiknya belum lahir. Saya belum pernah mendengar opsi home education. Saya belum berkenalan dengan pemikiran Charlotte Mason. Saya bahkan belum banyak tahu tentang bagaimana menjadi orangtua yang baik.
Hari demi hari saya belajar tentang cara mendidik anak lewat coba dan ralat, yang pasti lebih banyak salahnya ketimbang benarnya. Tapi di hati saya niat sudah terpatri: ingin selalu belajar untuk menjadi ibu yang lebih jeli menemukan serta mengembangkan potensi dalam diri anak-anak saya.
***
Sebagai pengajar mata kuliah untuk para mahasiswa semester pertama yang berkeliling dari fakultas ke fakultas, bukan cuma 1-2 kali saya bertemu dengan lulusan SMA yang memilih kuliah jurusan tertentu karena ‘terpaksa’.
Tidak diterima di universitas lebih favorit, fakultas lebih favorit, jurusan lebih favorit yang jadi pilihan pertama, akhirnya mereka pasrah saja masuk jurusan mana saja, yang penting terdaftar sebagai mahasiswa perguruan tinggi negeri. Biar saja kuliah tidak sesuai minat, asalkan bisa dapat ijazah. Toh nantinya belum tentu juga dapat pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmu.
Saya belum pernah membuat riset, tapi saya yakin cukup banyak lulusan SMA di negeri ini yang, saat dinyatakan lulus, masih belum tahu apa yang sebetulnya mereka minati. Bidang ilmu apakah yang ingin ia dalami? Profesi apa yang ia impikan? Untuk visi apakah mereka akan mengabdikan kehidupan?
Ilmu terpenting, yakni merumuskan tujuan hidup, justru tidak pernah diajarkan di sekolah. Kita keluar dari sistem pendidikan sama butanya seperti saat kita masuk. Seusai menghabiskan belasan tahun meniti jenjang-jenjang sekolah, anak-anak muda kita masih harus gelisah bergumul bertahun-tahun (berpuluh-puluh tahun?) lagi untuk menemukan jawaban pertanyaan, “Apa sebenarnya tujuan hidupku?” “Pekerjaan mana yang sebetulnya paling tepat untukku?”
Semoga mereka cukup beruntung untuk menemukan jawabannya, andai mereka masih mau meluangkan waktu memikirkannya dengan sungguh-sungguh di tengah berbagai tekanan berat kehidupan mereka kelak sebagai orang dewasa, beban dan tuntutan rumah tangga.
***
Kabar gembiranya adalah: kita tidak harus tergantung kepada sistem pendidikan untuk membuat anak-anak kita menemukan visi kehidupan mereka.
Charlotte Mason bilang, untuk menjadi manusia seutuhnya, seseorang perlu lahir dua kali, dan untuk kedua jenis kelahiran itu, orangtua memegang peranan penting.
Kelahiran pertama mengantarnya ke kehidupan alamiah, kelahiran kedua ke dalam kehidupan spiritual dari inteligensi dan kesadaran moral. Orang-orang besar punya ibu-ibu hebat, yakni ibu-ibu yang diberkahi dengan kapasitas tanpa batas untuk mau bersusah payah dalam kerja membesarkan anak-anaknya. Susah payah ini tak ubahnya hamil yang kedua kali untuk melahirkan si anak ke dalam kehidupan yang lebih tinggi derajatnya; dan karena kehidupan baru itu membuat hidup seorang anak lebih terberkati, setiap anak memiliki hak untuk kelahiran kedua ini agar menjadi manusia yang lebih lengkap di tangan kedua orangtuanya. (Parents and Children, hlm. 19)
Dan tugas ini sebetulnya tidak serumit yang kita pikir. Kita tidak harus membuat anak jago dalam segala hal. Marah-marah karena anak dapat angka merah di rapor untuk salah satu mata pelajaran semestinya tak perlu terjadi.
Siapa sih di antara kita, orang dewasa ini, yang hebat dalam semua subjek pelajaran? Lantas mengapa kita menuntut anak kita sekeras itu? Salah-salah yang kita peroleh kelak bukan anak yang serba pandai di semua bidang pelajaran, tetapi anak yang cuma tahu sedikit-sedikit di banyak hal, tapi tidak pernah menjadi pakar untuk bidang yang mana pun. Jack of all trades, master of none.
***
Dalam filosofi pendidikan Charlotte Mason, pikiran anak hakikatnya bersifat spiritual. Tapi sama seperti badan jasmaniah, pikiran anak juga butuh makanan untuk bisa hidup dan berkembang dalam bentuk ide-ide. Ide itu Charlotte ibaratkan seperti organisme. Begitu tertancap di benak, ia dengan sendirinya akan berkembang biak, memproduksi berbagai macam ide baru yang lain lagi.
Tapi apa makna dari teori tentang sifat ide yang seperti itu bagi pendidikan seorang anak? Dalam pengertian ini: berikanlah kepada anakmu satu ide yang berharga, maka engkau telah berkontribusi bagi pendidikannya lebih banyak ketimbang membebankan pada benaknya berton-ton informasi; karena anak yang bertumbuh dengan sedikit saja ide dominan telah terjamin gairah pembelajarannya, telah tergariskan karir masa depannya. (Home Education, hlm. 174)
Selanjutnya di uraian volume 6 bukunya, Towards a Philosophy of Education, Charlotte mengingatkan para pendidik: tugas kita adalah menyediakan hidangan bagi pikiran anak, yang memadai secara kualitas, kuantitas, maupun variasi. Karena jiwa setiap anak itu unik dan misterius, kita tidak bisa memastikan ide mana yang akan membuatnya ‘berselera’, maka kita musti menyajikan menu yang bervariasi.
***
Teri, ibunda Shawn Johnson, berhasil menancapkan satu ide berharga dalam benak putrinya pada usia yang begitu muda. Benak Shawn mengurus sisanya. Gagasan tentang keindahan senam itu merasuk, berkembang biak, menciptakan ide-ide baru yang menjamin Shawn suatu gairah belajar tanpa akhir dan karir seumur hidup.
Dulu saya sekedar terkesan secara intuitif tentang betapa beruntungnya anak-anak saya kalau saya bisa menjadi ibu seperti itu. Sekarang – lewat penjelasan Charlotte – saya jadi paham bahwa alih-alih sekedar menunggu keberuntungan, saya bisa mengupayakan itu secara terencana.
Metode CM menunjukkan kepada saya bagaimana menyajikan sebanyak mungkin pilihan ide inspiratif untuk anak-anak saya pilih sebagai jalan hidup mereka. Saya bisa memberi anak-anak saya kesempatan untuk mengejar panggilan hidup mereka sendiri, yang lahir dari ide inspiratif itu, menekuni bidang pekerjaan yang mereka cintai, seperti Shawn mencintai senam.
Pendidikan sungguh bukan semata menyuruh anak-anak masuk ke kelas, mendengarkan guru ceramah, mengerjakan PR dan ujian, lalu menerima rapor atau ijazah. Hakikat pendidikan ialah memberikan ide-ide yang menginspirasi kehidupan anak, sehingga mereka menemukan satu ide yang cukup berharga untuk dijadikan tujuan hidup.
Met siang Kak Ellen, saya sangat terinspirasi dg artikel ini ka, apalagi saat ini saya dlm posisi bingung utk mengarahkan potensi anak laki laki saya yg berusia 7thn (yg memiliki bnyk kemauan utk mengikuti berbagai kegiatan, tetapi dlm pelaksanaan kegiatan/ latihannya msh suka semaunya sendiri). Mohon arahannya kak Ellen. Terima kasih.
Halo, Rima! Senang kalau artikel ini bisa memantik insight dalam dirimu. Dalam kasusmu, tampaknya dirimu sangat bersemangat memfasilitasi minat anak tapi belum seimbang dengan melatih dia berkomitmen atas pilihannya. Sebaiknya sebelum mengikuti kegiatan apa pun, anak diminta menyatakan komitmen secara jelas: kalau difasilitasi ikut kegiatan ini, apakah dia berjanji akan selalu mengikuti jadwal kegiatannya (kecuali ada kondisi darurat)? apakah dia berjanji akan mengerjakan latihan-latihannya? Hanya fasilitasi/bayari anak kalau dia mau berkomitmen. Dan tegaskan bahwa kalau di tengah jalan dia tidak menjalankan komitmen itu, maka orangtua akan menyetop kegiatan tersebut. Demikian kalau dari sudut pandangku sebagai praktisi CM.
Terima kasih Ka Ellen atas artikelnya, sangat menginspirasi dan membuka fikiran saya sebagai seorang Ibu, bagaimana memulai belajar memahami potensi anak dan kemampuan anak yang menonjol seperti Ibu Shawn, mohon arahannya Ka, saya sangat tertarik dg metode CM, terima kasih sebelumnya Ka, ini ada no wa saya 087786614900 jika saya harus mendaftar atau bgmnya nanti. Terima kasih Ka
Halo, Amilia. Senang kalau ide dalam artikel ini yang menggugahmu. Nanti admin akan kontak dirimu ya, sampaikan saja apa yang kamu butuhkan via admin. Terima kasih.