“Anak-anak selayaknya memperoleh yang terbaik dari ibu mereka: waktu-waktu ketika ia paling segar, paling siaga dalam sehari itu.” (Home Education, hlm. 18)
Waktu pertama kali membaca Home Education, kutipan di atas adalah salah satu tulisan Charlotte yang paling menohok saya. Tohokan itu sampai sekarang masih saya rasakan setiap kali membaca ulang kalimat ini.
Sebagai ibu bekerja, saya tidak bisa menghindar berkali-kali kemrungsung (tergesa-gesa) di pagi hari diburu detik jam yang terus berputar. Anak yang baru bangun tidur dan sebetulnya ingin bermain-main dulu dengan saya, terpaksa saya tolak. “Maaf, Nak, Mama sudah hampir terlambat.” Ada kalanya anak merajuk minta ikut, sehingga saya terpaksa main petak umpet supaya bisa berangkat dengan tenang tanpa ditangisi.
Pulang dari kerja juga bukan berarti anak bisa memiliki saya sepenuhnya. Seringkali hati saya rasanya terbagi-bagi, di satu sisi ingin konsentrasi menemani anak-anak bermain, di sisi lain kepikiran tugas kantor, koreksian ujian, menulis ini atau mengerjakan itu untuk beberapa organisasi sosial tempat saya bergabung sebagai sukarelawan. Belum lagi hasrat untuk menengok inbox atau situs-situs jejaring sosial: menyapa, mengobrol, berdiskusi dengan teman-teman dunia maya.
***
Orang bilang, soal kebersamaan dengan anak itu yang penting kualitas, bukan kuantitas. Tapi menurut saya, itu hanya rasionalisasi kita orang dewasa saja untuk menekan rasa bersalah karena tidak bisa lebih banyak meluangkan waktu untuk anak-anak. Coba selami hati anak, tempatkan diri di posisinya. Ia tidak akan bilang yang penting kualitas, bukan kuantitas. Bagi dia dua-duanya penting. Ia butuh kualitas, maupun kuantitas.
Yang lebih parah adalah kalau kita tidak menyediakan baik kuantitas, maupun kualitas. Sudah cuma punya sedikit waktu untuk bisa bersama-sama dengan anak, itu pun pikiran kita terus melayang-layang ke berbagai hal lain. “Ma, tadi aku begini begitu, lho!” anak bercerita penuh gairah. Tapi kita cuma menatapnya kosong karena di kepala kita sedang melintas berbagai hal yang kita rencanakan untuk kerjakan menyangkut agenda-agenda ‘penting’ kita di kantor. “Ma, Mama dengerin aku nggak, sih?” tuntutnya. Kita tergeragap dan bertanya dengan tak enak hati, “Eh, apa, Nak? Kamu cerita apa tadi?”
Naomi Aldort dalam bukunya Raising Children Raising Ourselves (2005) menulis:
Anak-anak tampaknya tidak bisa merasakan koneksi cinta kalau kita hanya memberi mereka perhatian sepotong-sepotong. Ia mungkin mendesak Anda memandang ke arahnya saat ia bicara, dan jika Anda mengalihkan pandangan mata, bahkan sekalipun hanya sedetik, ia mungkin akan menarik dagu Anda untuk mengembalikan fokus itu. Dia lalu akan mengulangi lagi ceritanya dari awal. Kalau Anda mengajaknya bermain, sembari membaca, atau berkutat dengan telepon genggam, atau terkantuk-kantuk, ia tidak berhasil memperoleh dosis cinta yang dibutuhkannya.
***
Memperhatikan dengan fokus adalah fondasi ikatan cinta, sama seperti yang kita lakukan bersama pasangan dan sahabat-sahabat kita. Dapatkah Anda membayangkan sebuah persahabatan atau romansa tanpa waktu privat (one-on-one time) yang fokus? Kita manusia bisa tumbuh dengan subur secara emosional dan intelektual lewat kedekatan semacam itu.
Kita mempertaruhkan koneksi batin kita dengan anak saat pikiran senantiasa sibuk, hati tak sungguh-sungguh hadir meskipun badan ada bersama dengan anak. Kita jadi tidak paham anak, anak juga jadi tidak paham kita. Kita jadi mudah marah kepada anak (karena tidak mengenal pikirannya), anak juga jadi makin uring-uringan dan sulit diatur.
Saya belajar, dan sampai sekarang pun masih terus belajar, apa artinya being present in the moment ketika hadir di samping anak. Ini soal pilihan saja, imbuh Naomi.
“Ketika Anda membacakan anak buku cerita sementara sebetulnya Anda ingin merawat kebun, hak kalian berdua untuk bergembira sama-sama terampok. Pilihlah, entah mengajak anak ke kebun untuk merawatnya dulu, atau membacakan buku dan mengesampingkan pikiran tentang kebun sampai Anda selesai membaca.
Nikmati saat ini; biarkan diri Anda dibasuh oleh rasa cinta dan takjub terhadap anak Anda. Kalau pikiran Anda terus melayang ke kebun, Anda akan kehilangan kenikmatan itu. Perbedaannya adalah memilih di mana pikiran Anda akan berada. Dengan kata lain, Anda bisa secara badan hadir dengan anak tapi hati sebal (karena ingin ada di tempat lain) atau Anda bisa hadir di samping anak dan merasa bahagia.”
***
Ayah-ibu, kita mungkin tak cukup beruntung untuk mencecap kemewahan terus mendampingi anak-anak sepanjang hari sepanjang minggu. Kita tak selalu bisa memberi mereka kuantitas waktu yang cukup untuk bersama-sama. Maka, jangan tambah lagi dosa kita kepada mereka dengan mengkorupsi juga kualitas kebersamaan yang mereka butuhkan.
Marilah terus belajar tentang hal ini: hadir selalu secara penuh bagi anak kita setiap kali kita punya kesempatan untuk itu. Berikan waktu khusus untuk mereka ketika mereka merasa menjadi prioritas paling penting dalam kehidupan kita. Biarkan mereka merasakan secara nyata bahwa kita mencintai mereka lebih dari segala kesibukan lain di dunia ini.
Mereka berhak untuk mendapatkannya. Mereka amat sangat membutuhkannya.
no replies