Bekal pengetahuan apa yang kita punya saat menyambut kelahiran anak pertama? Kalau Anda seperti saya, jawabannya: sedikit kata si anu, menurut si ini, dan tafsir pribadi tentang pengalaman masa kecil saya sendiri. Cukupkah itu? Kalau Anda seperti saya, jawabannya: SAMA SEKALI TIDAK.
Di hari-hari pertama kelahiran anak sulung saya, sudah saya rasakan betapa minimnya pengetahuan dan keterampilan saya sebagai ibu. Bagaimana cara menyusuinya, bagaimana cara memandikannya, bagaimana menghadapi tangisannya? Dan seribu satu bagaimana lainnya yang belum saya ketahui jawabannya pada waktu itu.
Kita orangtua ini adalah laki-laki dan perempuan yang gagah berani. Kita berani menerima tugas terberat di dunia, yakni membesarkan seorang manusia agar ia menjadi manusia yang semanusiawi mungkin, tanpa bekal pelatihan khusus. Untuk mendesain sepatu atau membangun rumah, untuk mengelola kapal atau mesin kereta api, dibutuhkan program magang yang panjang. Apakah menyingkapkan kemanusiaan seorang anak dalam tubuh dan pikirannya dianggap lebih sederhana dari itu?” (Home Education, hlm. 3) Tapi kita berani memikul tanggung jawab ini hanya bermodalkan tekad dan kemauan saja. Kita begitu yakin bahwa kita pasti bisa menjadi ayah dan ibu yang baik. Menurut saya, ini adalah optimisme yang luar biasa besar. Tapi seberapa pun besarnya, optimisme kita pasti akan terlempar ke atas jika di sisi lain neraca diletakkan batu timbangan problem riil dalam membesarkan anak.
***
Satu-satunya cara untuk menambah bobot pada optimisme kita adalah semangat untuk terus belajar. Anak-anak itu datang untuk mengajari kita banyak hal. Mereka adalah tiket pendaftaran kita ke dalam Akademi Orang Tua. Setelah mereka datang, hidup kita tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya.
Kesalahan dan kegagalan adalah sesuatu yang wajar dan, kalau proses Anda seperti saya, pasti terjadi. Mohon maaf sebesar-besarnya kepada para anak sulung, kalian terpaksa menjadi kelinci percobaan kami para orangtua. Tapi dari kalianlah kami paling banyak belajar untuk menjadi orangtua yang lebih baik.
Kalau diibaratkan transkrip kuliah, maka indeks prestasi saya sebagai orangtua di tingkat pertama – maksudnya, anak pertama – sangat tidak memuaskan. Mata kuliah ASI Eksklusif nilainya E, mata kuliah teknik disiplin D, mata kuliah makanan sehat untuk bayi D, mata kuliah keteladanan C, mata kuliah kesabaran D, mata kuliah pengobatan yang rasional E, dan seterusnya. Kalau ditotal jadilah indeks prestasi (IP) sementaranya adalah nasakom alias ‘nasib satu koma’.
Saya sama sekali bukan orangtua yang sempurna. Dulu tidak, sekarang pun belum. Tapi saya menetapkan hati untuk menjadi mahasiswa Akademi Orang Tua yang tidak mudah puas dengan kesalahan dan kegagalan. Mengapa? Karena saya cinta anak-anak saya. Dan: “wujud nyata dari cinta kita kepada anak,” kata Bunda Wati, “adalah belajar.” Bunda Wati, atau lengkapnya Dr. Purnamawati, Sp.A(K), adalah pendiri milis Sehat yang telah mendidik ribuan ayah dan ibu untuk melek tentang apa yang dinamakan pengobatan yang rasional (rational use of medication alias RUM). Kalimat yang beliau lontarkan di salah satu kesempatan kami bertemu ini selalu saya simpan baik-baik di hati saya.
Saya belajar lagi, belajar terus sampai bisa, sampai mengerti. Puji Tuhan, ketika dipercaya untuk naik ke tingkat berikutnya, yakni dipercayai Tuhan untuk membesarkan anak kedua, semua mata kuliah yang dulu tidak memuaskan, berhasil saya ulang dengan nilai memuaskan.
***
Tapi di dalam Akademi Orang Tua, setiap hari ada materi kuliah baru, setiap hari ada pekerjaan rumah yang menantang. Bagaimana mengatasi perselisihan kakak dan adik, bagaimana membagi waktu antara pendampingan anak dengan to-do-list yang berjibun, bagaimana menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana bersikap sabar sekalipun badan capek, bagaimana mendengar supaya anak bicara dan bagaimana bicara supaya anak mendengar, dan seterusnya.
Di dalam kelas salah satu mata kuliah, barangkali kita akan bertemu dengan orangtua-orangtua lain yang kelihatan begitu cemerlang. Kita minder melihat prestasi mereka yang luar biasa. Kita merasa jengkel pada diri sendiri karena tidak bisa sehebat mereka.
Tapi, hei, mari saya beritahu satu rumus rahasia, supaya kita tidak patah semangat. Ketahuilah bahwa para ibu dan ayah paling hebat sekalipun, tepatnya yang kita kagumi dan anggap hebat, punya kloset privat tersembunyi yang berisi berbagai kelemahan pribadi. Mereka menyadari itu, bergumul untuk membersihkan kloset mereka masing-masing, tetapi kita berdiri terlalu jauh untuk melihatnya. Tirulah apa yang bagus dari mereka, merasa terinspirasilah, tapi tak perlu secara obsesif membanding-bandingkan diri sampai kita merasa depresi dan terintimidasi.
Yang kedua, ketahuilah, bahwa siapa saja bisa meraih prestasi tertinggi dalam Akademi ini. Sebab ijazah yang kita kejar bukanlah penilaian berbasis kecerdasan intelektual IQ, melainkan berbasis karakter.
Karakter adalah prestasi, suatu pencapaian nyata yang terbuka kemungkinannya bagi siapa saja, baik bagi kita orang dewasa maupun bagi anak-anak kita tanpa tergantung kepada IQ, bakat bawaan, atau kejeniusan; dan kehebatan sejati dalam sebuah keluarga atau seorang individu dinilai dari karakternya. Orang-orang besar kita anggap besar semata-mata karena kekuatan karakter mereka. (Parents and Children, hlm. 72)
Kita sendiri yang memilih untuk terdaftar di Akademi Orang Tua ini. Sekarang pilihannya adalah mau terus belajar dan lulus dari setiap mata kuliah yang wajib diambil, untuk kelak menikmati “hari-hari yang mulus dan menyenangkan” bersama anak-anak kita; atau kita mau malas-malasan, cari jalan gampang, dan akhirnya harus drop out dari Akademi ini sebagai orangtua yang gagal?
no replies