Tanya:
Sejak SMP saya ingin menjadi guru tapi akhirnya saya ambil diploma akuntansi agar bisa langsung dapat kerja dengan gaji cukup. Sejak itu, mimpi menjadi seorang guru saya simpan meski tetap berharap. Namun, setelah mengikuti suatu retret, panggilan untuk menjadi guru terus mengetuk hati saya lagi.
Mengetahui Charlotte Mason dan belajar dari berbagai sumber lain, saya benar-benar menemukan kembali passion saya untuk bisa mengajar. Saya mencintai anak-anak, saya mencintai pendidikan, saya ingin berbagi. Saya ingin kuliah lagi, karena ilmu yang sudah pernah saya ambil adalah akuntansi. Saya ingin minta saran dan nasihat, saya harus melakukan langkah apa untuk mewujudkannya? Terima kasih banyak.
Dari X
Jawaban:
Kisah hidup Mbak luar biasa, bikin saya terharu. Saya ingin coba membantu sedikit, tidak lewat informasi teknis, tapi refleksi. Refleksi ini terinspirasi oleh dan banyak menyitir dari tulisan Steve Pavlina tentang medium vs. message.
Ada dua aspek dari karir kita. Yang pertama adalah medium. Yang kedua adalah pesan (message).
Medium itu sendiri pasaran dan murah. Yang membuat berharga adalah pesan yang ada di dalamnya. Pikirkanlah sekeping CD. Dalam wujud aslinya, kepingan itu kosong dan murah. Yang menentukan harganya adalah “pesan” apa yang disimpan di dalamnya.
Ada CD yang diisi musik dan dibandrol harga dua ratus ribu, ada pula CD berisi software yang dilepas dengan harga tiga juta. Secara fisik, kedua CD itu sama saja, sama-sama kepingan berkilap. Perbedaan harga muncul bukan dari bentuk luarnya, tapi dari kandungan di dalamnya.
Wujud luar dari pekerjaan kita adalah suatu medium. Mungkin kita akuntan, advokat, tenaga administrasi, atau guru. Ini semua adalah medium, lewat wadah inilah kita hendak menyampaikan pesan. Sama seperti CD kosong, pekerjaan kita itu sendiri adalah wadah yang menunggu untuk diisi.
Label profesi apa pun yang kita sandang, entah akuntan atau guru, belum bermakna apa-apa. Ada akuntan yang bergaji lima ratus ribu per bulan, ada yang bergaji lima puluh juta per bulan. Ada akuntan yang memakai ilmunya sekedar untuk mencari sesuap nasi, ada akuntan yang memakai ilmunya untuk menyelamatkan uang negara.
Hal yang sama berlaku juga untuk profesi guru. Orang yang sekedar menjadi guru itu banyak, tapi orang yang bisa mengubah kehidupan orang lain lewat profesi guru, itu baru beda. Berhasil menyandang jenis pekerjaan tertentu belum menjamin apakah apa yang akan kita kerjakan betul-betul bernilai tinggi.
***
Sampai di sini kita pahami dulu bahwa nilai utama dari satu karir tidak berasal dari mediumnya (yakni jenis pekerjaan yang kita sandang), tetapi pesan di dalamnya.
Pesan itu adalah suatu visi spesifik yang kita komunikasikan dan kita wujudkan lewat medium yang kita pilih. Kadang mediumnya tidak harus hanya satu. Sesungguhnya, pesan yang perlu kita sampaikan – yakni panggilan hidup kita – tak mungkin tercakup hanya lewat satu medium saja.
Namun kebanyakan orang sampai saat ini beranggapan bahwa karir identik dengan nama pekerjaan. Kalau ditanya “Apa pekerjaanmu?”, kita menjawab “Aku akuntan!” atau “Aku guru!”. Kalau hanya sebatas itu yang kita pikirkan, maka berarti cara pikir kita masih berbasis medium. Kita menganggap karir adalah nama pekerjaan tertentu, bukan apa pesan atau nilai unik yang ingin kita ciptakan lewat pekerjaan itu.
Risiko pertama dari cara pikir berbasis medium ini adalah pandangan kita akan terlalu sempit dan terbatas. “Aku ini kan akuntan, bukan guru, jadi aku tidak berhak mengajar! Aku ini akuntan, bukan psikolog, jadi aku tidak boleh bicara soal kejiwaan anak-anak.” Kita membatasi ruang gerak kita sendiri.
Risiko kedua jika kita terlalu terpaku kepada medium adalah kita semakin lupa kepada pesan yang sesungguhnya ingin kita bawa, padahal pesan itulah yang lebih penting ketimbang mediumnya.
Mbak X, katakanlah nanti Anda betul-betul lulus kuliah keguruan lalu bekerja sebagai guru. Awalnya terasa begitu menyenangkan, tapi makin lama Anda menghadapi realita kehidupan guru – target, sistem, evaluasi, siswa yang sulit bekerja sama, dan seterusnya – antusiasme itu pun memudar. Anda kembali mengeluh bahwa ini bukan pekerjaan ideal yang Anda impikan.
Medium apa pun, jenis pekerjaan apa pun, pada dasarnya adalah hampa. Kita sendiri yang harus menciptakan nilai agar pekerjaan itu menjadi bermakna. Sebutkan jenis pekerjaan apa saja, lalu tanyailah orang-orang yang menjalaninya, maka kita akan dengar segala macam suka duka, pasang surut, naik turun dari pekerjaan itu. Tetapi kalau kita punya gambaran jelas tentang pesan apa yang sebetulnya ingin kita isikan ke dalamnya, maka semangat untuk menekuninya akan tetap tinggi.
***
Motivasi bersumber dari pesan, bukan medium. Ketika kita bangun di pagi hari, apa yang kita pikirkan tentang pekerjaan kita? “Aku harus menyelesaikan tugas A, B, C” (medium)? Atau “Hari ini aku akan menemani murid-muridku belajar sesuatu yang membuat hidup mereka lebih bermakna” (pesan)? Perspektif mana yang menurut Anda lebih membangkitkan motivasi?
Tentu saja keduanya, medium dan pesan, sama-sama bagian penting dari karir kita. Namun, khususnya di era kemajuan teknologi dan emansipasi seperti ini, medium yang kita pilih semakin bervariasi dan tidak permanen.
Contoh: saya sendiri mengekpresikan tujuan hidup saya yang saya definisikan sebagai “A life of spiritual awareness, applied Truth, abundant love and sincere service” lewat berbagai media: menjadi ibu homeschooler, sekaligus konselor laktasi, sekaligus pengurus organisasi kemasyarakatan, sekaligus pengajar, sekaligus penulis, sekaligus aktivis gereja, dan lain-lain. Dan saya yakin masih banyak lagi media lain yang bisa saya coba sebagai sarana mengekspresikan pesan itu di masa yang akan datang.
Mbak X, saya ajak Anda untuk duduk dan memikirkan bagian paling penting dari tulisan ini. Cinta anak-anak dan ingin berbagi? Ada banyak cara untuk mengekspresikannya. Bagaimana Anda memutuskan media mana yang paling tepat untuk Anda kejar pertama-tama?
Untuk itu anda perlu mulai dengan merumuskan pesan Anda – apa tujuan hidup, visi hidup, panggilan hidup, apa pun sebutannya, yang menjadi intisari dari karir Anda? Kalau Anda menjadi guru, akan menjadi guru yang seperti apa? Apa yang akan membedakan Anda dari kebanyakan guru “rata-rata” di luar sana?
Tujuan hidup yang jelas akan memberi warna pada apa pun yang Anda kerjakan. Anda haus untuk terus belajar, Anda suka berbagi pengetahuan, Anda suka berguru dari orang-orang yang lebih pakar. Kualitas-kualitas seperti ini berakar dari pesan internal dalam diri Anda, dan akan selalu Anda bawa ke mana saja, tak peduli pekerjaan apa yang Anda geluti. Dan masing-masing kita punya pesan dan kualitas unik yang hanya kita bisa mewujudkannya, tidak bisa digantikan oleh orang lain.
***
Butuh waktu untuk betul-betul berhasil merumuskan pesan kehidupan kita. Pesan itu sebetulnya sudah tersimpan dalam diri kita lama sekali, barangkali sudah kita sadari sejak masa kanak-kanak, namun baru tersadari sepenuhnya saat kita beranjak dewasa.
Sekolah, sayangnya, tidak pernah mengajarkan bagaimana merumuskan tujuan hidup, jadi kita harus berpikir sendiri, belajar sendiri bagaimana melakukannya. Apabila kita konsisten memikirkannya, berupaya merumuskannya, makin lama kita akan makin paham tentang tujuan hidup kita itu, dan kita akan bisa mengekspresikannya secara lebih sadar dan terencana.
Dalam proses ini, kita harus menantang kerak-kerak tradisi, pengkondisian sosial, dan indoktrinasi masa lampau yang coba mengurung kita ke dalam medium dan menakut-nakuti kita untuk melangkah sepenuhnya merangkul pesan, i.e. panggilan hidup kita.
Mbak X, kalau Anda akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan lama dan pindah ke pekerjaan baru, pastikan bahwa proses ini bukanlah sekedar ganti pekerjaan biasa, melainkan suatu perpindahan dari cara pikir yang berbasis medium menjadi cara pikir berbasis pesan. Saat pesan Anda makin terang, Anda akan makin yakin memilih langkah tertentu untuk maju mencapainya.
Saat ini, Anda merasa menjadi guru adalah medium yang lebih baik untuk pesan kehidupan Anda dibandingkan menjadi akuntan. Itu bagus. Teruskanlah menjernihkan kecocokan antara medium baru itu (menjadi guru) dengan pesan dalam diri Anda (panggilan atau visi hidup) yang ingin Anda wujudkan. Dan seiring berjalannya waktu, jagalah diri Anda tetap luwes untuk menggunakan medium baru lain dalam rangka menyampaikan pesan Anda. Sekali lagi, media itu wadah yang hampa, yang penting adalah ada pesan yang Anda isikan ke dalamnya.
Salam,
Ellen Kristi
Sangat bernilai mbk bhwa pkerjaan adalah wadah untuk membuat kita mnjadi bermanfaat buat sesama..mbk sbnarnya tujuan hidup atau visi misi hidup haruskah tetulis ap hany skedar angan n spt ap membedakan visi misi n tujuan hidup..mkasihh mbk ellen
Syukurlah kalau pesannya sampai. Semangat ya, mbak Anita!