KONTAK |  KEGIATAN | REKOMENDASI BUKU |

  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
CMIndonesia.com
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
December 4, 2013  |  By Ellen K In Mancanegara
Sekolah, Tempat Belajar atau Pamer?
Sekolah dan ujian, sungguhkah wahana belajar? (Dok. Istimewa)
Sekolah dan ujian, sungguhkah wahana belajar? (Dok. Istimewa)
Post Views: 159

Oleh: Peter Gray, Ph.D

Seandainya kau pelajar SMA atau mahasiswa, lalu suatu hari datang Ibu Peri menawarimu dua pilihan: (1) Kau akan paham betul materi pelajaranmu, tapi dapat nilai jelek (D), atau (2) kau akan tidak paham materi sama sekali, tapi dapat nilai bagus (A). Mana yang akan kau pilih? Jujurlah.

Hampir semua siswa (kecuali sedikit saja yang berani berontak) tanpa ragu akan memilih Opsi (2). Itu cara berpikir yang rasional. Para siswa itu sadar bahwa sekolah pada hakikatnya adalah tentang nilai, bukan pemahaman. Kalau mereka merasa perlu memahami suatu materi, mereka selalu bisa belajar sendiri, dengan cara yang jauh lebih hemat waktu dan tenaga dibanding yang bisa dikerjakan di sekolah. Sebaliknya, mereka tak akan pernah bisa menghapus nilai D yang hina itu. Sungguh bodoh orang yang mau memilih Opsi (1)! Di jenjang SMA, semua siswa sudah tahu persis itu.

Sekolah itu tempat pamer, bukan tempat belajar. Saat kita mendaftarkan anak-anak kita ke sekolah, kita mendaftarkan mereka ke dalam suatu rangkaian kontes tanpa akhir—untuk membuktikan siapa yang terbaik, siapa yang bisa meraih ranking tertinggi atau nilai teratas dalam ujian, siapa yang memenangkan penghargaan, siapa yang berhasil masuk ke kelas akselerasi, siapa yang bisa diterima di perguruan tinggi favorit. Kita memandang nilai, ranking, dan penghargaan itu sebagai ukuran keberhasilan bukan hanya anak, tapi juga kita sendiri sebagai orangtua. Kita mencari cara, entah malu-malu atau tidak tahu malu, untuk memamerkan semuanya kepada para sahabat dan kerabat.

Padahal semua ini tidak ada urusannya dengan proses belajar dan pasti sebetulnya kita semua juga sadar itu. Kita jadi jarang mencari tahu apa yang sebetulnya anak kita betul-betul pelajari di sekolah; kita hanya peduli soal nilai rapor. Kita para orangtualah yang mungkin, lebih dari anak-anak kita, menganggap bodoh sekali kalau mereka memilih Opsi (1) bukannya Opsi (2). Kita akan melarang mereka memilih Opsi (1) selama kita mampu.

***

Kalau sekolah betul-betul tempat untuk belajar, bukannya untuk pamer, kita akan merancang persekolahan sama sekali berbeda. Sekolah akan jadi tempat bagi  anak-anak untuk mengejar berbagai minat mereka, mempelajari apa yang mereka ingin pelajari, mencoba beragam pilihan karir, mempersiapkan masa depan seperti yang mereka harapkan. Setiap siswa akan menggarap materi yang berbeda, dengan jadwal yang berbeda, sehingga tak ada landasan untuk memperbandingkan satu sama lain. Setiap siswa akan belajar membaca ketika mereka ingin belajar membaca, dan kita akan membantu mereka ketika mereka mengharapkan bantuan. Titik pusatnya menjadi kerjasama, bukan lagi persaingan. Itulah yang terjadi di beberapa sekolah demokratis, yang dirancang sebagai tempat belajar dan bukan pamer, dan sekolah-sekolah itu terbukti luar biasa efektif.

***

Satu hal yang kita pelajari tentang proses belajar ialah bahwa proses ini akan terhambat oleh berbagai tekanan yang sekolah pakai untuk memacu prestasi. Banyak eksperimen psikologis menunjukkan bahwa segala macam kontes dan evaluasi akan mendorong yang sudah jago menjadi makin jago dibanding situasi non-kontes, tapi dampak sebaliknya akan terjadi pada mereka yang belum jago.

Contoh: Dilaporkan oleh Michaels dkk. (1982) tentang para psikolog yang mengamati sejumlah orang yang bermain bilyar dalam tanding persahabatan di kampus. Awalnya, mereka mengamati dari jauh, sehingga para pemain tak tahu diri mereka sedang diamati. Kemudian mereka bergerak mendekat dan mengamati secara terbuka, terang-terangan menunjukkan bahwa mereka menilai penampilan pemain. Hasilnya, para pemain yang sudah bagus (saat diamati dari jauh) menampilkan prestasi lebih baik ketika tahu diri mereka diamati; sebaliknya para pemain pemula, yang masih belajar cara memainkannya, tampil lebih buruk saat dinilai. Fenomena serupa ditemukan pada berbagai bidang lain – intelektual, atletik, maupun manual. Pamer kemampuan memang difasilitasi oleh evaluasi dan kontes, tapi tekanan semacam itu menghambat proses belajar. Sayangnya, dalam upaya tak kenal lelah kita yang maksudnya ingin meningkatkan pembelajaran di sekolah, kita terus menambah tekanan terhadap siswa, lalu bingung mengapa cara kita tidak berhasil.

***

Menarik untuk dicermati bahwa bersamaan dengan ditingkatkannya tekanan untuk berprestasi di sekolah, kesenjangan pendidikan antara anak-anak dari kelas ekonomi atas dan bawah makin lebar. Tentu ada banyak faktor yang terlibat di dalamnya, tapi ada satu yang saya ingin Anda pertimbangkan.

Mari kita andaikan bahwa anak-anak dari keluarga mampu bisa mempelajari sebagian besar materi yang akan diujiankan di rumah masing-masing. Mereka menunjukkan prestasi yang baik dalam rangkaian tes dan evaluasi sekolah karena mereka sudah tahu banyak soal itu. Mereka sudah dibiasakan. Tapi anak-anak dari keluarga tak mampu tak banyak belajar di rumah tentang apa yang akan diujikan di sekolah. Sejak awal, mereka mendapat nilai buruk dalam ujian-ujian karena mereka belum siap. Tekanan yang tinggi dari tes dan evaluasi terus-menerus – dibarengi oleh rasa terhina dan malu kalau gagal – membuat sangat sulit bagi anak-anak kurang mampu ini untuk belajar di sekolah, ketika diperhadapkan dengan anak-anak kelas atas yang sudah mempelajari materi itu di rumah.

Kegagalan bisa menyebabkan anak-anak ini secara fatal meyakini bahwa mereka itu bodoh, yang lalu mungkin mendorong mereka berhenti dalam proses belajar, secara mental bahkan mungkin secara jasmaniah. Dengan kata lain, saya menduga bahwa lingkungan yang memberi tekanan tinggi akan memisahkan anak-anak yang lebih dulu tahu dari anak-anak yang belum tahu, suatu kesenjangan yang akan terus melebar dari tahun ke tahun di sekolah. Dan, setiap kali tuntutan berprestasi meningkat, kesenjangan itu bakal kian lebar.

Kalau kita betul-betul ingin mengurangi kesenjangan pendidikan, kita mesti merancang sekolah sebagai tempat belajar, bukan tempat pamer.

Penyadur bebas: Ellen Kristi
Sumber: Psychology Today

Facebook Comments

Article by Ellen K

Ellen Kristi. Ibu tiga anak homeschooler, praktisi metode CM dan penulis buku "Cinta Yang Berpikir", berdomisili di Semarang. Dapat dihubungi lewat ellenkristi@gmail.com

Previous StoryApa Itu Narasi dan Mengapa Perlu?
Next StorySistem Pendidikan yang Kompetitif, Untuk Apa?

Related Articles

  • dice_736_420
    Pelajaran Berhitung Pertama Anak Prasekolah
    View Details
  • ular naga_736_420
    Apa Ruginya Kalau Anak Tidak Kenal Ninabobo dan Tembang Dolanan?
    View Details

no replies

Leave your comment Cancel Reply

(will not be shared)

Charlotte Mason Indonesia

Media informasi pendidikan karakter. Menyajikan beragam berita, gagasan filosofis sampai tips dan trik bagi orang tua dan guru agar berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang “berpikir tinggi, hidup membumi.”

Cinta yang Berpikir. Penulis: Ellen Kristi

Terbaru

  • Mendampingi Anak Belajar Seni Berpuisi February 28, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #4 February 18, 2021
  • Podcast #35: Belajar Sastra ala Metode CM February 14, 2021
  • Pelajaran Berhitung Pertama Anak Prasekolah February 11, 2021
  • Apa Ruginya Kalau Anak Tidak Kenal Ninabobo dan Tembang Dolanan? February 9, 2021
  • Podcast #34: Tetap Kalem Saat Anak Emosional February 6, 2021
  • Refleksi Seorang Guru tentang Kesalahan Umum Orangtua dan Guru February 5, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6 February 3, 2021
  • Yang Harus Dibenahi dalam Pendidikan Sains Kita February 2, 2021
  • Podcast #33: Proses Belajar Menulis Kreatif ala Metode CM January 30, 2021

Arsip

Charlotte Mason Indonesia

Alamat
Jl. Jeruk VII/24
Semarang 50249

Jam Kegiatan:
Senin—Jumat: 9:00AM–5:00PM

POPULER

  • 10 Ciri Pribadi Kekanak-kanakan dan Solusinya 150 views | 0 comments | by admin | posted on September 16, 2017
  • Mendampingi Anak Belajar Seni Berpuisi 146 views | 0 comments | by admin | posted on February 28, 2021
  • Mengapa Anak Tantrum dan Cara Terbaik Menghadapinya 91 views | 0 comments | by Ellen K | posted on August 1, 2012
  • Rilis Rekomendasi Tim Kurikulum CMid Tahap #1 52 views | 0 comments | by admin | posted on February 12, 2019
  • DIBUKA: Program Daring “Pelatihan Mendewasakan Emosi” Angkatan #4 45 views | 0 comments | by admin | posted on February 18, 2021

KOMENTAR TERKINI

  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Sizi on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Normalita h on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #6
  • Ardiba on Pendidikan ala CM untuk Keluarga Muslim
  • Ellen K on Membantu Anak Menemukan Tujuan Hidupnya

Visitors

Today: 234

Yesterday: 670

This Week: 2257

This Month: 10662

Total: 243946

Currently Online: 122

Copyright ©2011-2021 Charlotte Mason Indonesia. All Rights Reserved. || Web Development: Whoups Creative Co.