Oleh: Peter Gray, Ph.D
Seandainya kau pelajar SMA atau mahasiswa, lalu suatu hari datang Ibu Peri menawarimu dua pilihan: (1) Kau akan paham betul materi pelajaranmu, tapi dapat nilai jelek (D), atau (2) kau akan tidak paham materi sama sekali, tapi dapat nilai bagus (A). Mana yang akan kau pilih? Jujurlah.
Hampir semua siswa (kecuali sedikit saja yang berani berontak) tanpa ragu akan memilih Opsi (2). Itu cara berpikir yang rasional. Para siswa itu sadar bahwa sekolah pada hakikatnya adalah tentang nilai, bukan pemahaman. Kalau mereka merasa perlu memahami suatu materi, mereka selalu bisa belajar sendiri, dengan cara yang jauh lebih hemat waktu dan tenaga dibanding yang bisa dikerjakan di sekolah. Sebaliknya, mereka tak akan pernah bisa menghapus nilai D yang hina itu. Sungguh bodoh orang yang mau memilih Opsi (1)! Di jenjang SMA, semua siswa sudah tahu persis itu.
Sekolah itu tempat pamer, bukan tempat belajar. Saat kita mendaftarkan anak-anak kita ke sekolah, kita mendaftarkan mereka ke dalam suatu rangkaian kontes tanpa akhir—untuk membuktikan siapa yang terbaik, siapa yang bisa meraih ranking tertinggi atau nilai teratas dalam ujian, siapa yang memenangkan penghargaan, siapa yang berhasil masuk ke kelas akselerasi, siapa yang bisa diterima di perguruan tinggi favorit. Kita memandang nilai, ranking, dan penghargaan itu sebagai ukuran keberhasilan bukan hanya anak, tapi juga kita sendiri sebagai orangtua. Kita mencari cara, entah malu-malu atau tidak tahu malu, untuk memamerkan semuanya kepada para sahabat dan kerabat.
Padahal semua ini tidak ada urusannya dengan proses belajar dan pasti sebetulnya kita semua juga sadar itu. Kita jadi jarang mencari tahu apa yang sebetulnya anak kita betul-betul pelajari di sekolah; kita hanya peduli soal nilai rapor. Kita para orangtualah yang mungkin, lebih dari anak-anak kita, menganggap bodoh sekali kalau mereka memilih Opsi (1) bukannya Opsi (2). Kita akan melarang mereka memilih Opsi (1) selama kita mampu.
***
Kalau sekolah betul-betul tempat untuk belajar, bukannya untuk pamer, kita akan merancang persekolahan sama sekali berbeda. Sekolah akan jadi tempat bagi anak-anak untuk mengejar berbagai minat mereka, mempelajari apa yang mereka ingin pelajari, mencoba beragam pilihan karir, mempersiapkan masa depan seperti yang mereka harapkan. Setiap siswa akan menggarap materi yang berbeda, dengan jadwal yang berbeda, sehingga tak ada landasan untuk memperbandingkan satu sama lain. Setiap siswa akan belajar membaca ketika mereka ingin belajar membaca, dan kita akan membantu mereka ketika mereka mengharapkan bantuan. Titik pusatnya menjadi kerjasama, bukan lagi persaingan. Itulah yang terjadi di beberapa sekolah demokratis, yang dirancang sebagai tempat belajar dan bukan pamer, dan sekolah-sekolah itu terbukti luar biasa efektif.
***
Satu hal yang kita pelajari tentang proses belajar ialah bahwa proses ini akan terhambat oleh berbagai tekanan yang sekolah pakai untuk memacu prestasi. Banyak eksperimen psikologis menunjukkan bahwa segala macam kontes dan evaluasi akan mendorong yang sudah jago menjadi makin jago dibanding situasi non-kontes, tapi dampak sebaliknya akan terjadi pada mereka yang belum jago.
Contoh: Dilaporkan oleh Michaels dkk. (1982) tentang para psikolog yang mengamati sejumlah orang yang bermain bilyar dalam tanding persahabatan di kampus. Awalnya, mereka mengamati dari jauh, sehingga para pemain tak tahu diri mereka sedang diamati. Kemudian mereka bergerak mendekat dan mengamati secara terbuka, terang-terangan menunjukkan bahwa mereka menilai penampilan pemain. Hasilnya, para pemain yang sudah bagus (saat diamati dari jauh) menampilkan prestasi lebih baik ketika tahu diri mereka diamati; sebaliknya para pemain pemula, yang masih belajar cara memainkannya, tampil lebih buruk saat dinilai. Fenomena serupa ditemukan pada berbagai bidang lain – intelektual, atletik, maupun manual. Pamer kemampuan memang difasilitasi oleh evaluasi dan kontes, tapi tekanan semacam itu menghambat proses belajar. Sayangnya, dalam upaya tak kenal lelah kita yang maksudnya ingin meningkatkan pembelajaran di sekolah, kita terus menambah tekanan terhadap siswa, lalu bingung mengapa cara kita tidak berhasil.
***
Menarik untuk dicermati bahwa bersamaan dengan ditingkatkannya tekanan untuk berprestasi di sekolah, kesenjangan pendidikan antara anak-anak dari kelas ekonomi atas dan bawah makin lebar. Tentu ada banyak faktor yang terlibat di dalamnya, tapi ada satu yang saya ingin Anda pertimbangkan.
Mari kita andaikan bahwa anak-anak dari keluarga mampu bisa mempelajari sebagian besar materi yang akan diujiankan di rumah masing-masing. Mereka menunjukkan prestasi yang baik dalam rangkaian tes dan evaluasi sekolah karena mereka sudah tahu banyak soal itu. Mereka sudah dibiasakan. Tapi anak-anak dari keluarga tak mampu tak banyak belajar di rumah tentang apa yang akan diujikan di sekolah. Sejak awal, mereka mendapat nilai buruk dalam ujian-ujian karena mereka belum siap. Tekanan yang tinggi dari tes dan evaluasi terus-menerus – dibarengi oleh rasa terhina dan malu kalau gagal – membuat sangat sulit bagi anak-anak kurang mampu ini untuk belajar di sekolah, ketika diperhadapkan dengan anak-anak kelas atas yang sudah mempelajari materi itu di rumah.
Kegagalan bisa menyebabkan anak-anak ini secara fatal meyakini bahwa mereka itu bodoh, yang lalu mungkin mendorong mereka berhenti dalam proses belajar, secara mental bahkan mungkin secara jasmaniah. Dengan kata lain, saya menduga bahwa lingkungan yang memberi tekanan tinggi akan memisahkan anak-anak yang lebih dulu tahu dari anak-anak yang belum tahu, suatu kesenjangan yang akan terus melebar dari tahun ke tahun di sekolah. Dan, setiap kali tuntutan berprestasi meningkat, kesenjangan itu bakal kian lebar.
Kalau kita betul-betul ingin mengurangi kesenjangan pendidikan, kita mesti merancang sekolah sebagai tempat belajar, bukan tempat pamer.
Penyadur bebas: Ellen Kristi
Sumber: Psychology Today
no replies