Oleh: Karen Glass*
Bicara soal metode pendidikan Charlotte Mason, hampir pasti narasi akan disebut. Memang mustahil menjalankan metodenya tanpa menyertakan kegiatan narasi. Narasi bisa dijelaskan sebagai: “meminta anak menceritakan kembali yang dia dengar atau baca”. Kedengaran simpel. Apa sulitnya? Eit, jangan buru-buru memandang enteng.
Dalam enam volume bukunya, Charlotte menceritakan narasi sebagai pengganti kegiatan evaluasi dengan model pertanyaan komprehensi. Sejak zaman Charlotte, sekolah sudah terlalu terbiasa memakai model ini untuk menuntun siswa memahami materi, memberi petunjuk kepada murid-murid itu bagaimana mereka seharusnya berpikir.
Tak jarang muncul situasi ketika siswa akan buru-buru mencermati daftar pertanyaan di akhir materi lalu baru mulai membaca teks, supaya dia bisa memindai bagian bacaan mana yang perlu diingat. Fokusnya tertuju kepada mencari jawaban sepantasnya bagi pertanyaan-pertanyaan siap saji. Sedikit saja proses berpikir yang terjadi dalam model evaluasi ini.
Lebih dari itu, asumsi bahwa dengan menanyai anak-anak sama dengan mengajari mereka berpikir adalah keliru. Benarkah anak tidak bisa mencerna sendiri materi yang dia simak? Benarkah mereka tak akan berpikir kecuali diberi pertanyaan? Charlotte percaya kebalikannya. Anak secara alamiah adalah pemikir. Dan tugas narasi bukanlah untuk mengajari anak berpikir, melainkan menuntutnya berpikir.
Dalam metode CM, setelah mendengar pelajaran sejarah atau dongeng atau gambaran negeri yang jauh, anak akan diminta untuk memberi narasi – dia harus menceritakan kembali apa yang tadi dia dengar. Mengetahui bahwa dia akan diminta membuat narasi membuat anak berkonsentrasi penuh.
Lalu apa lagi yang harus dia kerjakan? Sembari mendengar dan sesudahnya, dia harus memeras daya pikirannya, mengerahkan ingatan, lalu menentukan poin mana yang pas untuk dijadikan bagian pembuka. Barangkali dia tidak bisa mengulang semua isi materi, maka dia harus menilai dan menimbang dan memilih lagi aspek-aspek mana yang paling penting untuk dia ceritakan. Dia musti mengurutkan lagi isi cerita, juga mengurutkan alur pikirannya, supaya kalimat-kalimat yang dia ucapkan sambung-sinambung, bermakna, dan bisa dimengerti. Demikianlah seluruh proses mental ini harus berlangsung.
Kalau Anda masih ragu akan efektivitas narasi dalam mengaktifkan kapasitas berpikir, sebaiknya Anda coba sendiri. Pilihlah satu bacaan, kemudian baca dan narasikan bagi diri Anda sendiri. Bukan kerja mental ringan, tapi Charlotte telah membuktikan bahwa anak mampu melakukannya.
Oh, Anda mungkin kini teryakinkan bahwa narasi itu penting dan bertekad menerapkannya. Lalu Anda bilang pada anak Anda yang berusia 6-7 tahun, “Ayo, ceritakan kembali apa yang tadi sudah Mama bacakan.” Seringkali semua bayangan indah Anda langsung runtuh.
Tentu saja ada anak-anak yang kuat dalam kemampuan bahasa, yang bisa membuat narasi panjang lebar, bahkan lebih panjang dari teks aslinya, tanpa melupakan satu pun rincian cerita. Tapi banyak juga anak yang sekadar mengulangi kata per kata dari kalimat terakhir yang tadi Anda bacakan, karena bagian itu saja yang masih dia ingat.
Ada anak-anak lain yang cukup mampu menceritakan kembali urutan kisahnya dengan baik, tapi selalu lupa nama-nama tokoh atau tempat, dan selalu menggantinya dengan “dia” atau “di sana”. Ada lagi anak-anak yang cukup puas dengan narasi ringkas, “Jadi, tadi itu ada kambing ketemu serigala.”
Apakah kalau seperti itu Anda lantas harus putus asa dan menyimpulkan bahwa metode narasi gagal atau mustahil? Jangan! Anak-anak butuh waktu untuk melatih otot-otot mentalnya, dan kita musti berhati-hati agar tidak mengekspresikan secara terbuka kekecewaan atau ketidaksabaran kita terhadap upaya-upaya awalnya yang sekilas tak memuaskan itu.
Beri contoh beberapa kali baginya seperti apa narasi yang kita harapkan – kalau ada kakaknya yang sudah mahir narasi, si kakak bisa juga dijadikan model. Tujuannya agar anak punya bayangan tentang yang musti dia kerjakan. Kalau bacaan terlalu panjang, kita bisa membacanya sebagian-sebagian dulu, biar lebih pendek. Boleh juga meminta anak untuk menggambar atau bermain peran sebagai narasinya. Atau memakai alat bantu – entah boneka, lego, dan lain sebagainya – untuk memancing ingatan dan kata-katanya.
Apa pun trik dan sarana pendukung yang kita pakai, yang terpenting adalah sikap pantang menyerah. Anak yang membuat narasi dari hari ke hari akan menjadi anak yang aktif berpikir, memanfaatkan setiap bagian benaknya, sehingga daya pikirnya menjadi kuat, tak ubahnya otot olahragawan yang menjadi lentur dan kuat karena dipakai terus-menerus.
Nama lain narasi adalah “karangan lisan”. Seorang anak yang sering membuat narasi, awalnya secara lisan dan kemudian tertulis, tak lagi butuh kurikulum untuk belajar mengarang. Bahkan di awal perjalanan homeschooling saya dengan metode CM sudah bisa membuktikan bahwa narasi adalah proses yang lebih unggul untuk belajar mengarang ketimbang metode lain.
Pernah waktu anak saya berumur enam tahun dan ada di tingkat satu, saya punya teman homeschooleryang anaknya berumur setahun lebih tua dan memakai kurikulum populer setara kelas 2 SD berbasis buku teks. Teman saya ini lewat telepon mengeluh frustrasi atas kemampuan menulis anaknya. Buku pelajaran menyuruhnya menulis “dua kalimat mengenai para pionir Amerika dan bangsa Indian”. Anak itu lalu menulis: “Para pionir itu keren. Bangsa Indian itu keren.”
Teman saya, sebagai bunda merangkap guru, kecewa berat pada kemampuan anaknya, padahal menurut saya akar masalah sesungguhnya ada pada buku teks itu. Karena disuruh menulis, anak jadi repot mengurusi gerakan pensil di atas keras, cara mengeja dan menulis huruf-besar-kecil yang benar, sembari memikirkan isi tulisannya.
Kebetulan pada waktu ditelepon itu, anak saya baru saja menyelesaikan bacaannya yang bertema serupa – The Thanksgiving Story karya Alice Dalgliesh. Seusai membacakan, saya meminta singkat padanya, “Coba katakan padaku apa yang kamu tahu soal Thanksgiving.” Narasi lisan anak saya cukup banyak untuk mengisi dua lembar kertas, seandainya ditulis. Tapi saya tidak yakin dia bisa mengungkapkan sebanyak itu seandainya dia diberi tugas menulis, belum tentu dia bisa menghasilkan dua kalimat dengan ejaan dan kapitalisasi yang sebaik anak teman saya.
Saya jadi sadar betapa hebatnya manfaat narasi. Narasi memampukan anak untuk mengungkapkan isi pikirannya, yang dia ketahui, jauh melampaui apa yang dia bisa ungkapkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan komprehensi. Peristiwa itu saja cukup bagi saya untuk membulatkan hati percaya kepada kata-kata Charlotte mengenai narasi, dan mengikuti tahapan prosesnya dari awal sampai akhir.
Itulah yang saya dan anak-anak saya jalani. Saya mendengarkan narasi lisan mereka tahun demi tahun demi tahun sebelum akhirnya meminta mereka membuat narasi tertulis, dan saya memberi mereka waktu yang cukup untuk sangat fasih dalam narasi tertulis (karena menulis dan bicara adalah dua perkara berbeda) sebelum akhirnya saya mengajari mereka membentuk narasi tertulis itu menjadi tulisan formal, seperti sinopsis, esai, dan makalah.
Bukan Charlotte Mason penemu konsep narasi. Sejarahnya berasal-usul dari metode latihan retorika pada masa Yunani dan Romawi Kuno. Erasmus pernah meresepkannya dalam buku On the Right Method of Instruction: “Guru tidak boleh lupa melatih siswa mereproduksi materi yang dia sampaikan ke peserta kelas. Latihan ini menuntut waktu dan kerja keras bagi guru, aku sangat tahu, tapi proses ini mendasar dan penting. Tentu saja yang dituntut bukan pengulangan kata per kata dari apa yang disampaikan guru, melainkan substansi dari materi itu yang disampaikan dengan gaya bahasa siswa sendiri.”
Akan tetapi, Charlotte-lah yang mengenali kehebatan metode ini, kemampuan istimewanya dalam menghimpun seluruh daya pikir anak. Charlotte menjadikan narasi bagian sentral dari metode pendidikannya sebegitu rupa, berbeda dari metode-metode lain sebelumnya. Dia mengembangkan praktek narasi, memberi petunjuk bagaimana itu bisa dikerjakan di sekolah maupun di rumah, dan ternyata berhasil sama baik.
Mari kita ingat bahwa bahwa tugas kita bukanlah mengajari anak untuk bepikir, melainkan memberi mereka sesuatu untuk dijadikan bahan berpikir. Dan dengan meminta mereka membuat narasi, kita sedang menggenggam kunci penting dalam puzzle pengetahuan dari sudut pandang Charlotte Mason, yang ingin melihat anak sanggup menautkan antara pelajaran satu dan pelajaran lain, antara masa lampau dan masa kini, antara benaknya sendiri dan benak setiap pemikir yang tulisannya dia berkesempatan untuk baca.
*Karen Glass, ibu dari empat anak homeschooler yang dikenal sebagai praktisi CM spesialis kajian perbandingan metode CM dan pendidikan klasik. Karya terakhirnya, Consider This, mendapat banyak pujian dari pembaca. Artikel berikut ia sumbangkan untuk event 31 Hari Bersama Charlotte Mason dalam blog Afterthoughts. Disadur bebas oleh Ellen Kristi.
no replies