KONTAK |  KEGIATAN | REKOMENDASI BUKU |

  • CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • CMid
    • Tentang CMid
    • Keanggotaan CMid
  • KOLOM
  • PODCAST
CMIndonesia.com
  • BAHAN BELAJAR
    • PRINTABLES
      • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • CYB
    • DESKRIPSI CYB
    • RESELLER & DROPSHIPPER
  • ARTIKEL
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • BERITA
  • CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • CMid
    • Tentang CMid
    • Keanggotaan CMid
  • KOLOM
  • PODCAST
  • BAHAN BELAJAR
    • PRINTABLES
      • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • CYB
    • DESKRIPSI CYB
    • RESELLER & DROPSHIPPER
  • ARTIKEL
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • BERITA
September 22, 2013  |  By Ellen K In Praktik CM
Belajar Matematika dengan MEP
Belajar matematika harus bertahap. (Dok. Istimewa)
Belajar matematika harus bertahap. (Dok. Istimewa)
Post Views: 1,241

Jumat lalu (20/9) sulung kami Vi telah menyelesaikan lesson plan ke 30 dari materi Mathematics Enhancement Programme (MEP) level 1A. Selama enam minggu dia menghabiskan waktu sekitar 15-40 menit sehari, lima hari seminggu.

Saya ingin berkomentar bahwa saya SANGAT suka cara MEP meletakkan landasan pemahaman matematika. Sampai LP #30 Jumat lalu, meski telah diperkenalkan angka 1-20 lebih dahulu, Vi relatif ‘cuma’ atau ‘baru’ diajak berkutat dengan angka 0, 1, dan 2 positif maupun negatif. Tapi perancang MEP memastikan bahwa Vi memahami angka-angka itu dari segala aspek matematis yang bisa dipikirkan. Mulai dari mengurutkan, mengenali pola, mencari pasangan, menandai  persamaan (lebih kecil/lebih besar/sama dengan), probabilitas, mencongak (menghitung dalam hati), menciptakan hitungan sendiri, mencari solusi logis, dan lain sebagainya.

Memang saya pernah dengar dari sesama homeschooler yang konsisten memakai MEP sejak awal bagi anaknya, bahwa MEP memakai model kemajuan spiral. Materi dimulai dari hal yang paling sederhana, lalu anak diajak memutarinya, satu konsep akan diulang-ulang dengan berbagai cara berbeda, makin lama makin sulit tapi tanpa terasa keterampilan matematikanya terus naik. Kata teman saya, tidak usah kuatir kalau ada bagian yang anak kita masih kesulitan mengerjakan, karena akan ada banyak kesempatan untuk memperkuat pemahamannya tentang bagian itu pada materi-materi selanjutnya.

Dan setelah menjalani 30 kali sesi, saya mendapati omongan teman saya itu sangat benar. Awalnya Vi kegirangan karena materinya sangat mudah dan bisa menyelesaikannya sangat cepat, tapi memasuki dua minggu terakhir ini, dia mulai harus menyisihkan waktu lebih lama untuk berpikir saat menggarap nomor demi nomor – kadang ada kelirunya, kadang mengeluh “Vi nggak tahu!”, padahal angkanya ya cuma berkutat dari nol sampai dua itu tadi. Dari proses enam minggu ini, saya jadi tahu bahwa Vi sudah relatif mahir dalam hal hitungan-hitungan tambah-kurang, tapi masih harus digembleng lagi soal probabilitas, mengenali pola, persamaan, dan angka negatif.

***

Hal yang saya sukai dari MEP selain gratisnya (!) adalah teknik mengajarkannya juga lengkap, tidak hanya lewat worksheet, tapi juga pendekatan konkret: memakai objek (manipulatives), poster, soal cerita, bahkan olahraga ringan. Misalnya:

  • Lempar-lemparan bola sambil melontarkan pertanyaan matematika. Ketika melempar bola, saya mengucap, misalnya “1+4”, lalu saat menangkap bola Vi musti langsung menjawab “5”.
  • Menghitung dalam hati suatu urutan yang panjang (mental counting). Saya bilang “0”, Vi mengingat. Lalu saya bilang lagi: “ditambah satu”, “dikurangi nol”, “ditambah satu”, “dikurangi dua”, “ditambah nol”, “ditambah dua”, lalu “berapa?” dan Vi harus menyebutkan hasilnya.
  • Menata beberapa benda, menyuruh Vi mengamati, lalu Vi harus tutup mata dan saya akan mengambil salah satu benda atau menukar urutan letaknya, Vi buka mata dan harus mengenali apa yang sudah berubah.
  • Menata pensil warna di atas meja dengan urutan: dua pensil, tanda “+”, satu pensil, tanda “=”, satu pensil (jadi memunculkan hitungan 2+1=1), lalu menyuruh Vi memindahkan satu pensil supaya hitungan yang keliru itu menjadi benar (bisa 2+0=2 atau 1+1=2).
  • Soal cerita tambah dan kurang, seperti: “Kamu punya satu boneka, tapi kamu ingin punya dua boneka. Berapa boneka yang harus kita beli?” – setelah itu Vi diminta untuk menunjukkan perhitungan tadi dengan simbol matematika (2-1=1 atau 1+1=2).

***

Dalam interaksinya, fasilitator MEP pada berbagai kesempatan diminta mendorong anak mengungkapkan pengamatan atau hasil perhitungannya dalam kalimat yang logis dan matematis. Jadi, tidak cukup anak tahu hasil perhitungan atau jawabannya, dia musti juga mampu mengutarakannya dengan kalimat matematis yang baik, seperti mengatakan: “Jumlah biji di sisi kiri lebih banyak dua daripada jumlah biji di sisi kanan” setelah sebelumnya disuruh meletakkan tanda yang tepat (>, <, atau =) antara sisi kiri dan kanan.

Dengan menjadi fasilitator ini, saya jadi ikut paham panjangnya proses yang harus dilewati anak untuk betul-betul menguasai satu konsep matematika. Pernah sekali waku Vi sepulang berbelanja dari toko buku diskon, Vi terheran-heran mengapa uang kembalian yang dia terima lebih banyak dari harga buku yang tertera di sampul belakang buku yang dia beli. Harga bukunya Rp30,000, dia membayar dengan uangnya sendiri Rp50,000. “Kenapa kembaliannya kok bukan Rp20,000?” tanyanya kepada saya. Dia tidak tahu bahwa ada diskon 15% untuk bukunya. Langsung deh saya bersemangat mengajak dia belajar konsep diskon. Setelah menjelaskan berbuih-buih, berusaha sekonkret dan sesederhana mungkin, buntutnya tetap saja dia bilang, “Nggak paham!”. Sementara saya masih berusaha menjelaskan, dia sudah ngacir karena bosan. Saya jadi geli sendiri menyadari: “Lhawong ilmu kurang-kurangan saja baru belajar, perkalian sama sekali belum, kok diajak mikir diskon!”

Alice Horocks, seorang praktisi CM yang juga doktor matematika, pernah menulis bahwa penting sekali mengajarkan matematika secara bertahap, konsep per konsep. Sebab begitu satu konsep terlewatkan, tidak betul-betul dipahami, anak akan sulit mengikuti pelajaran tahap berikutnya. Bukankah itu yang dirasakan banyak siswa-siswa di sekolah? Makin naik kelas, makin sulit matematika itu terasa, makin takut dan bencilah mereka pada subjek ini. Akhirnya seumur hidup fobia matematika!

Saya kini makin melihat kebenaran pendapat CM bahwa belajar matematika itu bukan monopoli para jenius. Setiap anak memerlukannya. Fungsi matematika dalam pendidikan karakter adalah memberi pada anak kompetensi berpikir logis. Bisa tambah, kurang, kali, bagi baru sebagian kecil dari kompetensi ini. Jika pelajaran matematikanya baik, semustinya anak-anak kita juga akan terlatih dalam berpikir logis dan cermat.

Facebook Comments

Article by Ellen K

Ellen Kristi. Ibu tiga anak homeschooler, praktisi metode CM dan penulis buku "Cinta Yang Berpikir", berdomisili di Semarang. Dapat dihubungi lewat ellenkristi@gmail.com

Previous StoryTahap Agar Anak Mahir Menulis
Next StoryApa Itu Narasi dan Mengapa Perlu?

Related Articles

  • Rayya
    Nature Study yang Menumbuhkan Spiritualitas Anak (dan Kita)
    View Details
  • Keluarga Alexa
    Langkah Kami Memilih Homeschooling dan Memulai Sesi Akademis CM
    View Details

no replies

Leave your comment Cancel Reply

(will not be shared)

Charlotte Mason Indonesia

Media informasi pendidikan karakter. Menyajikan beragam berita, gagasan filosofis sampai tips dan trik bagi orang tua dan guru agar berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang “berpikir tinggi, hidup membumi.”

Cinta yang Berpikir. Penulis: Ellen Kristi

Terbaru

  • DIBUKA: Kelas Cinta yang Berpikir Angkatan #9 October 8, 2024
  • DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #12 October 4, 2024
  • DIBUKA: Kelas Cinta yang Berpikir Angkatan #8 September 13, 2024
  • DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #11 September 1, 2024
  • DIBUKA: Kelas Cinta yang Berpikir Angkatan #7 August 26, 2024
  • DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #10 August 2, 2024
  • DIBUKA: Kelas Cinta yang Berpikir Angkatan #6 July 18, 2024
  • DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #9 July 2, 2024
  • Surat Terbuka CMid tentang Kebijakan “Sastra Masuk Kurikulum” June 3, 2024
  • DIBUKA: Kelas Cinta yang Berpikir Angkatan #5 June 16, 2023

Arsip

Charlotte Mason Indonesia

Alamat
Jl. Jeruk VII/24
Semarang 50249

Jam Kegiatan:
Senin—Jumat: 9:00AM–5:00PM

POPULER

  • Mengapa Orangtua dan Guru Belum Berhasil Mendewasakan Karakter Anak? 77 views | 0 comments | by Ellen K | posted on January 15, 2021
  • Rekomendasi Buku Terjemahan AO 35 views | 0 comments | by admin | posted on November 9, 2021
  • Rekomendasi Buku Lokal dan Terjemahan Selain AO 33 views | 0 comments | by admin | posted on November 8, 2021
  • 20 Butir Filosofi CM 19 views | 0 comments | by admin | posted on November 22, 2017
  • Pengantar Rekomendasi “Living Books” Tim Kurikulum CMid 19 views | 0 comments | by admin | posted on November 10, 2021

KOMENTAR TERKINI

  • Ellen K on DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #11
  • sari kartika on DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #11
  • Ellen K on Mengapa Siswa Belajar Demi Nilai Bagus, Bukan Mencari Ilmu?
  • Arizul Suwar on Mengapa Siswa Belajar Demi Nilai Bagus, Bukan Mencari Ilmu?
  • Ellen K on DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #5
  • Wijayanti on DIBUKA: Sosialisasi CM dan CMid Angkatan #5

Visitors

Today: 22

Yesterday: 679

This Week: 25680

This Month: 102262

Total: 947634

Currently Online: 112

Copyright ©2011-2021 Charlotte Mason Indonesia. All Rights Reserved. || Web Development: Whoups Creative Co.