Jumat lalu (20/9) sulung kami Vi telah menyelesaikan lesson plan ke 30 dari materi Mathematics Enhancement Programme (MEP) level 1A. Selama enam minggu dia menghabiskan waktu sekitar 15-40 menit sehari, lima hari seminggu.
Saya ingin berkomentar bahwa saya SANGAT suka cara MEP meletakkan landasan pemahaman matematika. Sampai LP #30 Jumat lalu, meski telah diperkenalkan angka 1-20 lebih dahulu, Vi relatif ‘cuma’ atau ‘baru’ diajak berkutat dengan angka 0, 1, dan 2 positif maupun negatif. Tapi perancang MEP memastikan bahwa Vi memahami angka-angka itu dari segala aspek matematis yang bisa dipikirkan. Mulai dari mengurutkan, mengenali pola, mencari pasangan, menandai persamaan (lebih kecil/lebih besar/sama dengan), probabilitas, mencongak (menghitung dalam hati), menciptakan hitungan sendiri, mencari solusi logis, dan lain sebagainya.
Memang saya pernah dengar dari sesama homeschooler yang konsisten memakai MEP sejak awal bagi anaknya, bahwa MEP memakai model kemajuan spiral. Materi dimulai dari hal yang paling sederhana, lalu anak diajak memutarinya, satu konsep akan diulang-ulang dengan berbagai cara berbeda, makin lama makin sulit tapi tanpa terasa keterampilan matematikanya terus naik. Kata teman saya, tidak usah kuatir kalau ada bagian yang anak kita masih kesulitan mengerjakan, karena akan ada banyak kesempatan untuk memperkuat pemahamannya tentang bagian itu pada materi-materi selanjutnya.
Dan setelah menjalani 30 kali sesi, saya mendapati omongan teman saya itu sangat benar. Awalnya Vi kegirangan karena materinya sangat mudah dan bisa menyelesaikannya sangat cepat, tapi memasuki dua minggu terakhir ini, dia mulai harus menyisihkan waktu lebih lama untuk berpikir saat menggarap nomor demi nomor – kadang ada kelirunya, kadang mengeluh “Vi nggak tahu!”, padahal angkanya ya cuma berkutat dari nol sampai dua itu tadi. Dari proses enam minggu ini, saya jadi tahu bahwa Vi sudah relatif mahir dalam hal hitungan-hitungan tambah-kurang, tapi masih harus digembleng lagi soal probabilitas, mengenali pola, persamaan, dan angka negatif.
***
Hal yang saya sukai dari MEP selain gratisnya (!) adalah teknik mengajarkannya juga lengkap, tidak hanya lewat worksheet, tapi juga pendekatan konkret: memakai objek (manipulatives), poster, soal cerita, bahkan olahraga ringan. Misalnya:
- Lempar-lemparan bola sambil melontarkan pertanyaan matematika. Ketika melempar bola, saya mengucap, misalnya “1+4”, lalu saat menangkap bola Vi musti langsung menjawab “5”.
- Menghitung dalam hati suatu urutan yang panjang (mental counting). Saya bilang “0”, Vi mengingat. Lalu saya bilang lagi: “ditambah satu”, “dikurangi nol”, “ditambah satu”, “dikurangi dua”, “ditambah nol”, “ditambah dua”, lalu “berapa?” dan Vi harus menyebutkan hasilnya.
- Menata beberapa benda, menyuruh Vi mengamati, lalu Vi harus tutup mata dan saya akan mengambil salah satu benda atau menukar urutan letaknya, Vi buka mata dan harus mengenali apa yang sudah berubah.
- Menata pensil warna di atas meja dengan urutan: dua pensil, tanda “+”, satu pensil, tanda “=”, satu pensil (jadi memunculkan hitungan 2+1=1), lalu menyuruh Vi memindahkan satu pensil supaya hitungan yang keliru itu menjadi benar (bisa 2+0=2 atau 1+1=2).
- Soal cerita tambah dan kurang, seperti: “Kamu punya satu boneka, tapi kamu ingin punya dua boneka. Berapa boneka yang harus kita beli?” – setelah itu Vi diminta untuk menunjukkan perhitungan tadi dengan simbol matematika (2-1=1 atau 1+1=2).
***
Dalam interaksinya, fasilitator MEP pada berbagai kesempatan diminta mendorong anak mengungkapkan pengamatan atau hasil perhitungannya dalam kalimat yang logis dan matematis. Jadi, tidak cukup anak tahu hasil perhitungan atau jawabannya, dia musti juga mampu mengutarakannya dengan kalimat matematis yang baik, seperti mengatakan: “Jumlah biji di sisi kiri lebih banyak dua daripada jumlah biji di sisi kanan” setelah sebelumnya disuruh meletakkan tanda yang tepat (>, <, atau =) antara sisi kiri dan kanan.
Dengan menjadi fasilitator ini, saya jadi ikut paham panjangnya proses yang harus dilewati anak untuk betul-betul menguasai satu konsep matematika. Pernah sekali waku Vi sepulang berbelanja dari toko buku diskon, Vi terheran-heran mengapa uang kembalian yang dia terima lebih banyak dari harga buku yang tertera di sampul belakang buku yang dia beli. Harga bukunya Rp30,000, dia membayar dengan uangnya sendiri Rp50,000. “Kenapa kembaliannya kok bukan Rp20,000?” tanyanya kepada saya. Dia tidak tahu bahwa ada diskon 15% untuk bukunya. Langsung deh saya bersemangat mengajak dia belajar konsep diskon. Setelah menjelaskan berbuih-buih, berusaha sekonkret dan sesederhana mungkin, buntutnya tetap saja dia bilang, “Nggak paham!”. Sementara saya masih berusaha menjelaskan, dia sudah ngacir karena bosan. Saya jadi geli sendiri menyadari: “Lhawong ilmu kurang-kurangan saja baru belajar, perkalian sama sekali belum, kok diajak mikir diskon!”
Alice Horocks, seorang praktisi CM yang juga doktor matematika, pernah menulis bahwa penting sekali mengajarkan matematika secara bertahap, konsep per konsep. Sebab begitu satu konsep terlewatkan, tidak betul-betul dipahami, anak akan sulit mengikuti pelajaran tahap berikutnya. Bukankah itu yang dirasakan banyak siswa-siswa di sekolah? Makin naik kelas, makin sulit matematika itu terasa, makin takut dan bencilah mereka pada subjek ini. Akhirnya seumur hidup fobia matematika!
Saya kini makin melihat kebenaran pendapat CM bahwa belajar matematika itu bukan monopoli para jenius. Setiap anak memerlukannya. Fungsi matematika dalam pendidikan karakter adalah memberi pada anak kompetensi berpikir logis. Bisa tambah, kurang, kali, bagi baru sebagian kecil dari kompetensi ini. Jika pelajaran matematikanya baik, semustinya anak-anak kita juga akan terlatih dalam berpikir logis dan cermat.
no replies