“Waktunya telah tiba bagi para orangtua yang berpikir untuk introspeksi dan menimbang tidakkah dia harus menentang sistem ujian yang kompetitif. Cermati baik-baik, problem utamanya ada di kompetisi, bukan ujiannya. Yang kita minta adalah sistem ujian janganlah kompetitif.” (Parents and Children, hlm. 218)
Anak masuk ke sekolah dengan rasa ingin tahu yang besar, tetapi mengapa kemudian saat dia lulus, hasrat belajar itu malah padam? Jawaban: karena ada hasrat lain yang dikobarkan untuk menggantikannya – hasrat berkompetisi.
Sistem kompetitif memudahkan kerja pengajar. Anak-anak belajar dengan giat, menggarap PR, membuat tugas walau bukan lagi supaya tahu, melainkan supaya tidak kalah atau malu. Tak lupa ditekankan: betapa mulianya anak yang bisa berprestasi dan membanggakan orangtua!
Masalahnya, ketika semua anak harus belajar materi yang sama dengan cara yang sama dalam rentang waktu yang sama (supaya bisa diukur siapa yang paling hebat), maka anak dikondisikan untuk tak lagi menanyakan hal-hal ‘nyeleneh’ seperti masa pra-sekolah. Target kurikulum mesti tercapai, jangan menghambur-hamburkan waktu. Rasa ingin tahu? Simpan saja dulu. Dan dia pun menyimpannya, sampai layu.
Alinea di atas adalah sepenggal dari serial ringkasan volume Parents and Children yang membangkitkan banyak tanggapan di grup Komunitas Charlotte Mason Indonesia. Muncul pertanyaan mendasar: Kompetisi itu sebetulnya baik atau buruk bagi anak? Seorang ibu anggota grup mengatakan, dia pernah mendengar ada psikolog yang merekomendasikan kompetisi sebagai sarana meningkatkan prestasi dan kemampuan anak. Benarkah itu?
Lontaran tersebut membuat saya tergelitik untuk mencari tahu hasil riset-riset psikologis seputar kompetisi. Ada beberapa artikel dan jurnal yang saya baca. Dirangkum dalam artikel The Psychologist Vol. 25 (Juli 2012) bahwa secara jasmaniah, suasana kompetisi meningkatkan detak jantung, aktivitas otot, tekanan darah, hormon testoteron, kortisol, dan adrenalin – di satu sisi menandai dikerahkannya kemampuan maksimal yang memungkinkan pencapaian prestasi tertinggi atau pemecahan rekor, di sisi lain (kalau tidak kuat), bisa menyebabkan kehabisan energi (breakdown).
***
Charlotte Mason sendiri memandang kompetisi sebagai dorongan alamiah tiap orang, yang lahir dari hasratnya untuk maju, dipuji, dan menjadi yang terbaik. Ketika dikerjakan secara berkelompok dalam suasana persahabatan, kompetisi itu menyenangkan dan positif. Namun, ketika persaingan menjadi terlalu obsesif, yang menang jadi sombong dan yang kalah jadi rendah diri atau ngamuk, lalu orang jadi menghalalkan segala cara untuk menang – ekses yang acap terlihat dalam ajang kompetisi di negeri kita – jelas situasi tak sehat lagi.
Dari semua ekses kompetisi, yang paling Charlotte waspadai adalah dampaknya terhadap hasrat akan pengetahuan. Setiap anak terlahir dengan hasrat untuk mempelajari segala hal di sekelilingnya. Anak-anak suka bertanya, bukan karena ingin juara, tapi karena memang ingin tahu. Bagi mereka, mengetahui itu saja sudah merupakan suatu kesenangan, learning is a pleasure in itself, itu sebabnya mereka suka belajar apa saja. Bagi Charlotte, rasa ingin tahu asali inilah yang idealnya menjadi motivasi utama anak dalam belajar. Jika anak terbiasa belajar karena merasa butuh dan suka, maka sepanjang hayatnya dia akan menjadi pembelajar mandiri.
Apa yang terjadi ketika kemudian anak masuk ke dalam sistem yang terobsesi pada nilai, ranking, angka rapor, transkrip ijazah, penghargaan, gelar juara, dan sejenisnya? Dia mulai menginternalisasi bahwa itulah tujuannya. Dia tak lagi belajar semata-mata karena senang belajar, tetapi karena diiming-imingi atau diancam. Benaknya disesaki oleh ambisi mendapatkan nilai setinggi-tingginya, menjadi juara satu; oleh kekuatiran jangan-jangan di rapor nanti ada angka merah, betapa malunya kalau sampai tidak naik kelas, dan lain-lain, sampai lupa nikmatnya belajar dan indahnya pengetahuan, tak sempat mengagumi ajaibnya alam semesta atau menyimak hebatnya ide dan karya orang besar sepanjang sejarah …
***
Kewaspadaan Charlotte disuarakan kembali saat ini oleh teori otonomi (self-determination theory). Para psikolog yang mendalami teori ini meramalkan bahwa kompetisi itu baik sejauh anak mengikuti kompetisi atas keinginannya sendiri, tetapi berdampak negatif pada motivasi anak yang merasa dipaksa berkompetisi. Kesenangan belajar bisa berkurang ketika motivasi intrinsik digantikan oleh imbalan ekstrinsik. Bahkan, seperti yang terungkap dalam penelitian Schwieren dan Weichselbaumer (2010), demi memenangkan imbalan ekstrinsik itu, kompetisi akhirnya bisa memunculkan perilaku curang.
Peter Gray, profesor riset dari Boston College, membahas secara gamblang perbedaan belajar demi belajar dan ‘belajar’ demi pamer. Meski sejatinya ingin menganalisis problem kesenjangan pendidikan, mengapa anak-anak tertentu sangat sukses secara akademis sementara sebagian lainnya hancur, Gray menggaungkan kegelisahan yang sama dengan Charlotte Mason, tentang betapa merugikannya model pendidikan yang kompetitif. Kata Gray: Kalau sekolah betul-betul tempat untuk belajar, bukannya untuk pamer, kita akan merancang persekolahan sama sekali berbeda.
Sekolah akan jadi tempat bagi anak-anak untuk mengejar berbagai minat mereka, mempelajari apa yang mereka ingin pelajari, mencoba beragam pilihan karir, mempersiapkan masa depan seperti yang mereka harapkan.
Setiap siswa akan menggarap materi yang berbeda, dengan jadwal yang berbeda, sehingga tak ada landasan untuk memperbandingkan satu sama lain.
Setiap siswa akan belajar membaca ketika mereka ingin belajar membaca, dan kita akan membantu mereka ketika mereka mengharapkan bantuan.
Titik pusatnya menjadi kerjasama, bukan lagi persaingan.
***
Pada akhirnya, kita perlu menjawab bagi diri kita sendiri setiap kali muncul dorongan dalam hati kita untuk menerjunkan anak (atas inisiatif kita, bukan inisiatifnya) entah ke dalam sistem kompetitif sekolah atau ke dalam kompetisi apa pun: ini sebetulnya demi apa?
no replies