Pada salah satu kesempatan acara ngobrol soal homeschooling di Semarang, seorang ibu bertanya, “Anak homeschooling kan nggak sekolah, lalu bagaimana mereka belajar cinta bangsa dan negara? Mereka kan nggak pernah ikut upacara atau hari-hari besar nasional, bagaimana mengajarkannya?”
Sebuah pertanyaan yang tajam bagi saya, tanya yang langsung memantul ke dalam diri saya: Apa yang sudah saya lakukan untuk menanamkan cinta bangsa dan negara kepada kedua anak saya yang tidak bersekolah?
Dibentuk Lewat Keseharian
Pertama-tama, saya percaya cinta tidak lahir dari hafalan buku pelajaran dan kebanggaan berbangsa tidak hadir semudah mengikuti ritual protokoler. Bukankah PPKN menjadi salah satu mata pelajaran yang diujikan di Ujian Nasional ditambah dengan pelajaran sejarah (dulunya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa)? Lalu mengapa kita melihat generasi muda kita yang tidak sadar sejarah malah sibuk semakin narsis?
Saya setuju dengan pendapat bahwa anak hanya akan menjadi sepatriotis dan senasionalis orangtuanya. Sekali lagi ini kembali kepada esensi dasar homeschooling, Raising our children is raising ourselves yang dikemukakan Naomi Aldort. Mendidik anak sama dengan mendidik diri sendiri.
Pendidikan nasionalisme dan patriotisme dimulai dari keseharian, dibentuk dalam interaksi dengan anak. Tidak bisa tidak, tidak bisa ditawar, tidak ada cara lain, karena nasionalisme dan patriotisme adalah gugahan rasa dan getaran dorongan yang tidak bisa ditransfer seperti rumus matematika melainkan harus diteladankan.
Bercermin dari teladan hidup Panglima Besar Jenderal Sudirman yang mengorbankan segala sesuatunya demi idealisme perjuangan, kita juga semestinya mengerahkan usaha keras untuk menanamkan nilai-nilai berharga ini (keberanian membela yang benar, keberanian berkorban dan mengejar impian) dalam diri anak-anak.
Banyak Opsi Kegiatan
Saya percaya bahwa sejarah itu hidup dan bukan ilmu yang mati, sehingga saya mengajak anak untuk melakukan eksplorasi sejarah dari berbagai sumber. Selain membaca buku dan melihat video sejarah, kami rutin mengunjungi museum di seputaran Jakarta. Info museum pula yang pertama kali kami cari setiap kali berencana keluar Jakarta.
Kami juga dengan sengaja mencari berbagai event dan pameran yang berkaitan dengan budaya bangsa seperti pertunjukan seni, pameran permainan tradional, eksibisi kain, jalur rempah, sampai ekskursi suku pedalaman. Semua ini kami harapkan membuka mata anak akan identitas bangsanya yang kaya dan harus dijaga.
Setelah beberapa tahun konsisten melakukannya, saya melihat anak sulung saya Dominggo mulai menjalin sendiri benang merah riwayat perjalanan bangsa Indonesia sejak zaman purbakala, zaman penjajahan, zaman perjuangan bangsa hingga zaman pembangunan yang dia selidiki melalui artefak, diorama, teks sejarah, prasasti, pertempuran berdarah, para tokoh pahlawan dan penggerak bangsa, dll.
Saya sendiri penyuka sejarah. Ibu saya dulu pernah menyayangkan kenapa saya tidak menyukai matematika atau akuntansi saja. Cita-cita saya menjadi arkeologis juga pernah jadi bahan tertawaan ibu. Di sini saya mendapat pelajaran, pengakuan orangtua akan minat anak berpengaruh banyak pada optimisme anak untuk belajar. Cita-cita masa lalu terlanjur saya kubur dalam-dalam, tapi dengan memutuskan homeschooling,saya rindu wariskan kecintaan pada sejarah itu kepada anak-anak.
Membimbing anak mengenali asal-usulnya, siapa dia, siapa nenek moyangnya, dari budaya mana kedua orangtuanya berasal, akulturasi budaya dalam keluarga besar, ragam tradisi dan kepercayaan yang ada di sekitarnya – semua ini mengajar anak bahwa kemerdekaan dan kemajuan suatu bangsa tidak pernah diraih hanya oleh segolongan orang. Sejak dulu kolaborasi menjadi kunci dari keberhasilan perjuangan melawan kolonialisme dan seyogyanya juga demikian ketika kita saat ini melawan perpecahan di dalam bangsa sendiri.
Semangat maju bersama walau berbeda itu harus dibangun dan orangtualah yang harus mengkondisikannya dalam lingkar pergaulan keluarga. Ketika anak memahami bagaimana dia bisa sampai ada di saat ini, saat yang merupakan hasil perjuangan dari para pendahulunya, masa yang menjadi buah dari penderitaan masa lalu, maka anak akan menggunakannya untuk membangun fondasi bahwa bukan sebuah kebetulan dia bisa ada dan bangsa ini masih ada.
Anak perlu mengerti bahwa kenyamanannya saat ini lahir dari kerja keras orang-orang dari masa ke masa. Saya rasa kesadaran ini perlu ditanamkan agar anak tidak sibuk dengan keakuannya dan menjadikan dirinya sebagai pusat dunia, memandang dirinya harus selalu dipuaskan dan tidak peka akan kondisi sekitar. Anak perlu menghargai masa lalu untuk membangun masa depan.
Selain rutin mengunjungi museum, dua tahun terakhir ini kami juga rutin mengikuti tur jalan kaki. Komunitas penyelenggaranya memiliki paket-paket jelajah kota, menyisiri satu bagian kota dan mengulik sejarahnya. Sejauh ini kami sudah mengikuti tur Cikini, Kota Tua, Pasar Baru, dan Jatinegara. Bonusnya anak-anak jadi kuat jalan kaki jauh dan tahu banyak sekali cerita unik di balik nama jalan, gedung dan sebagainya. Oh ya, kami juga menjelaskan makna dari setiap hari libur nasional dan mengadakan upacara bendera a la kami di rumah.
Menyikapi Peristiwa Politik
Semangat kami untuk soal nasionalisme dan patriotisme ini memang makin membara sejak proses Pilkada DKI 2012 dan Pilpres 2014 lalu. Kini Pilkada DKI 2017 membuat konflik sektarian semakin mengemuka dan para pendidik justru menjadi penyebar hoax. Kami sendiri memilih tidak mendoktrin anak untuk ikut pilihan politik kami walaupun anak jelas tahu bahwa kami ikut serta membagikan materi kampanye di pilpres lalu.
Nonton berita dan mendiskusikan isu-isu politik ketika berkegiatan bersama sudah lumrah di rumah kami. Sambil mendengar berita radio dan televisi, saya dan suami biasa berdebat mengenai bagaimana harusnya menyikapi peristiwa kekinian seperti kasus korupsi, penggusuran, kemiskinan dan bencana di daerah, prestasi olahraga di luar negri, aksi demonstrasi massa 411 dan 212, berita terorisme, ribut-ribut di KPK, aksi sedulur Kendeng, mengap ada haul Gus Dur, dsb.
Jika memungkinkan, kami mengaitkan suatu fenomena dengan pelajaran moral bagi anak-anak. Pokoknya kami coba menjawab dengan sederhana pertanyaan anak tentang berita media. Namun, tentu saja kami masih tetap menyaring berita-berita yang belum patut dia simak.
Selain itu, kami mengajak anak untuk menjadi pelaku sejarah. Jangan hanya jadi penonton, tapi ikut bersumbangsih dalam sejarah dengan tindakan sesederhana membuang sampah pada tempatnya, belajar lagu-lagu nasional, mendahulukan mereka yang cacat dan manula di transportasi umum, dan tindakan patriotik lainnya.
Terakhir, adalah kami selalu menghubungkan sejarah dengan alam gaib. Hah? Maksudnya, kami percaya Allah adalah pemilik sejarah. Atas dasar itulah kami mengajak anak-anak ikut mendoakan para pemimpin bangsa, menyebut nama-nama mereka di dalam doa agar mereka tetap amanah, takut akan Tuhan dalam menjalankan tugasnya membela rakyat dan mengayomi warga. Tidak lupa kami memohon kebaikan Allah untuk menyadarkan pemimpin yang masih lupa diri, bahkan dalam beberapa kesempatan kami terang-terangan meminta Tuhan juga menghukum pemimpin yang sudah begitu jahat. Tidak ada salahnya meminta kan? Toh semuanya berpulang kepada kehendak sang Khalik.
Paparan diatas masih jauh dari cukup dan bukanlah jaminan bahwa anak-anak kami akan menjadi benar dan baik. Semua hanyalah ikhtiar agar kelak salah satu pemuda yang berdampak positif bagi masa depan bangsa ini berasal dari rumah kami. Amin.
[Tulisan ini terinspirasi oleh kutipan yang di-posting oleh Ellen Kristi di Komunitas Charlotte Mason Indonesia. “Pendidikan sejarah yang hanya memuji-muji penguasa adalah isyarat buruk. Pelajaran sejarah seharusnya membuka mata anak tentang kondisi riil negerinya: ada pahlawan, ada oportunis; ada kebijakan yang benar, ada pula yang keliru. Lewat pelajaran sejarah pula, anak membandingkan riwayat negerinya dengan negeri-negeri lain, belajar dari kehebatan dan kejatuhan bangsa-bangsa. Dengan demikian di dadanya tertanam sikap “patriotisme yang terinformasi”, yang tidak chauvinistik. Ini modal penting agar anak menjadi warga negara yang berguna. – Vol. 4 Charlotte Mason “Ourselves” Book 2 “Self-Direction” (22)”. Detil informasi tentang kegiatan-kegiatan yang saya sebut ada tertulis di blog pribadi saya: kacamatanet.wordpress.com]
no replies