Mark Zuckerberg, pendiri facebook, bukan lagi ateis. Dia meyakini, agama itu penting. Judul berita Washington Post yang ditulis oleh Julie Zauzmer tanggal 30 Desember 2016 itu langsung mencuri perhatian saya. Lekas jari saya mengetuk layar ponsel untuk segera membaca isinya.
Inti ceritanya: Mark membuat status yang memberi indikasi dia merayakan Natal. Lalu ada salah satu pembaca berkomentar, “Bukannya kamu ateis?” – karena selama ini Mark mengidentifikasi dirinya demikian. Lantas, Mark menjawab, “Aku dibesarkan sebagai Yahudi, lalu mengalami masa ketika aku mempertanyakan apa saja, tapi aku sekarang yakin agama itu sangat penting.”
Mark Zuckerberg dibesarkan sebagai Yahudi, saya dibesarkan sebagai Kristiani. Orangtua saya sangat religius. Saya pun tumbuh menjadi anak yang sangat religius. Saking religiusnya, sampai bercita-cita tidak menikah dan menjadi misionaris.
Namun, agama itu sungguh berbasis pengalaman pribadi. Dan pengalaman menghantar saya pada pertanyaan-pertanyaan sulit tentang Tuhan dan Kebenaran-Nya. Benarkah hanya ada satu Jalan? Akankah aku menjadi Kristen kalau terlahir di keluarga non-Kristen? Mengapa agama membuat orang berperang dan saling menyakiti?
Kata Karen Armstrong, kejahatan atas nama agama adalah penyebab lahirnya ateisme. Jika agama membuat orang jadi jahat dan dunia penuh kekerasan, buat apa beragama? Mungkin Mark mempertanyakan itu. Saya juga. Saya tidak tahu apakah saya ateis, yang pasti waktu itu saya marah sekali pada Tuhan, yang diam saja melihat nama-Nya dipakai untuk membunuh, memperkosa, menyiksa, menghancurkan.
Kalau Tuhan benar-benar ada, mengapa Dia membiarkannya? Kalau Tuhan benar-benar Mahakuasa, bukankah mudah bagi-Nya memberi ultimatum: “Ikut Jalan ini, ini satu-satunya, awas kalau pilih yang lain!”? Maka, seperti Mark, saya memasuki masa “mempertanyakan semua-muanya”. Religiusitas saya tergoncang hebat. Semua doktrin dan ritual terasa kosong.
***
Kalau betul itu yang namanya ateisme, maka saya bilang, menjadi ateis itu sangat menyiksa. Karena sebenarnya, seperti kata Blaise Pascal, ada ruang kosong dalam hati yang butuh Tuhan mengisinya. Seperti puisi Nietzsche juga, hati dan mata saya terus menangis, “Kembalilah, kembalilah, Tuhanku yang hilang.” Saya merasa berada dalam “malam gelap bagi jiwa”.
Ayah saya kuatir melihat saya. Dia bilang, “Berhentilah memikir-mikirkan semua itu. Aku sudah pernah mengalaminya, tak perlu kau ulang lagi.”
Tapi saya menggeleng. Bukan tidak mau. Tapi tidak bisa. Perjalanan mengarungi keraguan tak bisa diwakilkan. Saya “terpilih” untuk mengalaminya, dan saya tak bisa lari meskipun sakit rasanya. Ini krisis eksistensial saya. Semua pengalaman orang lain tak akan mengatasinya.
Saya tak menutup-nutupi krisis eksistensial saya di depan komunitas religius saya. Bukan tidak mau. Tapi tidak bisa. Pura-pura percaya padahal ragu sungguh bukan pilihan.
Kejujuran. Di bawah sadar, ajaran Alkitab itu telah tertanam. Kejujuran. Bukankah agama mengajar orang untuk jujur? Bagaimana kalau seseorang jujur bahwa dirinya tidak/belum mampu meyakini agama?
Lorong keraguan itu gelap dan panjang. Yang menjalaninya pun tak tahu kapan proses itu akan berakhir. Bilakah terlihat terang? Kalau boleh memilih, saya pun ingin segera mengakhiri masa ini. Tak ada enak-enaknya hidup dengan mempertanyakan segala sesuatu. Sayang, hidayah tak ada dalam kendali saya. Jadi, saya hanya bisa terus berjalan, bergulat mencari jawaban. Butuh waktu panjang sebelum saya akhirnya menemukan terang saya kembali.
***
Di dunia maya ini, saya melihat ayah-ibu yang begitu giat mendidik anak-anak mereka dalam agama. Sebagian bangga melihat pencapaian agama anak-anaknya. Saya ikut senang, dan berdoa semoga anak-anak itu terus mantap berelasi dengan Tuhan.
Namun, jika suatu waktu, anak kita berubah ekspresi, mengalami krisis eksistensial, mempertanyakan semua-muanya, temanilah dia dalam segala keraguannya. Dia sedang memanggul salib, dan kita tak bisa menggantikan posisinya. Segala nasihat, kekuatiran dan kesedihan kita melihat “ateisme”-nya, bukan jawaban yang dia cari. Jadi, restuilah dia untuk mencari.
Ketika jawaban akhirnya ia temukan, lihatlah bahwa anak akan menjadi pribadi yang otentik. Agamanya adalah agamanya, bukan agama warisan orangtuanya. Masa musafirnya telah usai, Terang telah datang.
Mark Zuckerberg telah menemukan terangnya. Sebagai sesama mantan musafir keraguan, saya ikut berbahagia untuknya. Akhirnya ruang kosong dalam hati itu telah didiami. Akhirnya Tuhan yang hilang itu telah kembali.
Dan jika Mark merasakan yang saya rasakan, saya yakin dia juga mensyukuri proses yang berharga ini. Karena orang yang belum pernah ragu tak tahu bahagianya menjadi yakin setelah ragu.
Salam kenal Bu Ellen Kristi.
Terima kasih untuk tulisan ini. Saya merasa mendapatkan teman seperjalanan hidup di dunia. Jarang sekali ada yang jujur mengakui kegelisahan tentang Tuhan dan Agama. Saya adalah salah satu yang mempertanyakan segala sesuatu itu. Saya juga tidak berencana mewariskan agama kepada anak anak.
Semoga kita berdua bisa menemukan perahu kehidupan yang akan membawa kita berlabuh di pelabuhan terakhir.
Terima kasih.
Saya juga senang berkenalan dengan ibu yang berharap anaknya tidak sekadar beragama secara warisan. Amin untuk kalimat terakhirnya, mbak Sandra. (Ellen)