Tanya:
Kapankah usia yang tepat untuk berdiskusi soal seksualitas dan reproduksi dengan anak-anak?
Dari N
Jawab:
Filsuf AJ Heschel bilang asal ada pertanyaan, berarti benak seseorang siap belajar. Saya pikir itu berlaku pula dalam isu seksualitas. Ketika anak bertanya tentang seksualitas, berarti ia memiliki rasa ingin tahu tentang itu, dan itu adalah waktu yang tepat untuk mendiskusikannya.
Dan sebetulnya, secara ilmiah tidak ada yang rumit dengan pertanyaan anak terkait seks. Katakanlah anak bertanya: “Kenapa anak lelaki pipisnya berdiri, anak perempuan jongkok?” atau “Adik bayi datang dari mana sih?”. Kita tinggal buka buku atau situs yang kredibel soal anatomi manusia, obstetrik-ginekologi, perinatologi, dsj. Jawabannya sudah tersedia di sana, siap dibagikan kepada anak.
Sekali lagi, andai perspektif kita murni objektif-ilmiah, masalah seksualitas bisa didiskusikan dengan anak sejak umur berapa pun, begitu muncul pertanyaan darinya, sebatas informasi yang dia ingin ketahui.
Saya dulu pernah mendengar suatu anekdot dalam bahasa Inggris tentang percakapan anak dan ibunya. Saya sadurkan di sini:
Anak: Ma, what is sex? Seks itu apa?
Mama: (menjelaskan panjang lebar tentang hubungan seks)
Anak: Panjang sekali ya jawabannya. Lalu kotak mana yang harus aku centang di formulir ini? (sambil menyodorkan formulir dari sekolah yang memintanya mengisi kotak Male atau Female di bagian Sex)
Jadi, jangan berasumsi macam-macam dulu saat anak bertanya soal seks. Dengarkan baik-baik, pastikan apa informasi yang anak itu butuhkan, baru kemudian jawablah sesuai kebutuhannya.
***,
Yang menghambat kita untuk berdiskusi seterbuka itu adalah dimensi kultural-moral dalam persoalan seksualitas.
Realitasnya memang hidup manusia selalu lebih rumit dari sebatas kodrat alamiah dan biologis. Tidak seperti binatang, manusia mesti menjalani hidup seksualnya dalam naungan nilai-nilai moral. Seekor anjing bisa mengawini induknya sendiri tanpa merasa bersalah, tapi manusia akan dihantui pertanyaan: Baik atau burukkah yang saya kerjakan ini?
Seksualitas kemudian menjadi isu yang penuh dengan tabu. “Hus! Saru!” begitu peringatan orangtua sambil melotot ketika kata atau tindakan kita dianggap nyerempet-nyerempet urusan seksualitas dan reproduksi.
Alhasil, sampai dewasa pun kita selalu merasa malu atau sungkan untuk mendiskusikannya secara terbuka. Kita lantas mewarisi sikap misterius yang serupa dengan gaya orangtua kita dulu saat anak-anak kita menanyakan hal-hal itu.
Blok mental ini perlu dibereskan dulu, sebab jika tidak, kita akan selalu merasa tidak siap berdiskusi soal seksualitas dengan anak, kita akan cenderung menghindari topik ini, berapa pun umur si anak. Dengan kata lain, dalam hal pendidikan seks, hambatan besarnya justru bukan pada diri anak, tapi pada diri kita sendiri sebagai edukator.
***
Catatan lain yang ingin saya berikan adalah soal pendekatan diskusi. Dalam hal mengajarkan sesuatu kepada anak-anak, kita sering langsung dengan tak sabar bertanya: “Apa yang harus saya ajarkan?” dan “Bagaimana mengajarkannya?”
Namun, Charlotte Mason memberi anjuran, alih-alih langsung bertanya “apa” dan “bagaimana”, kita mesti lebih dulu bertanya “mengapa” (Home Education, hlm. 171). Ketiga pertanyaan itu harus dijawab secara berurutan, tidak bisa dibolak-balik. Pertanyaan tentang mengapa harus diselesaikan dulu sebelum apa dan bagaimana.
Prinsip yang sama berlaku soal pendidikan seks. Sebelum bertanya apa yang perlu diajarkan soal seksualitas dan cara mengajarkannya, kita perlu merefleksikan dulu soal mengapa anak perlu belajar soal seksualitas? Mengapa pendidikan seks itu penting? Tujuan pendidikan akan menentukan konten dan metodenya.
***
Secara umum pendidikan seks itu dikemas dalam istilah “kesehatan reproduksi”. Kita ingin anak-anak paham soal seksualitas supaya mereka tidak terkecoh oleh informasi perihal seks dari teman-teman atau internet yang lebih sering salah, porno, dan menakut-nakuti.
Pendidik liberal A.S. Neill bilang: “anak perempuan, demi kebaikannya sendiri, harus tahu bahwa berhubungan seks tanpa memakai alat kontrasepsi bisa mengakibatkan kehamilan. Anak-anak lelaki dan perempuan mesti selalu diberitahu bahwa penyakit kelamin itu nyata adanya dan berbahaya.” (Summerhill School, 1992:216)
Kesehatan adalah satu hal, hal yang penting, tetapi dalam perspektif pendidikan Charlotte Mason, tujuan pendidikan seks harus lebih dari itu. Berkebalikan dari AS Neill yang sama sekali tak merujuk pada dimensi spiritual dan moral dari seksualitas, bagi Charlotte tujuan penting pendidikan – termasuk pendidikan seks – adalah supaya anak “menjalani kehidupan yang patut di bumi, dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih mulia lagi di akhirat”.
Dari perspektif Charlotte ini, pendidikan seks haruslah lebih dari sekedar menjelaskan soal organ-organ genital dan proses-proses jasmaniah dari seksualitas dan reproduksi. Yang Charlotte harapkan sebagai hasil akhir pendidikan adalah suatu “kemantapan pikiran dan kemuliaan karakter” (A Philosophy of Education, hlm. 21).
***
Jika alasannya adalah untuk memuliakan karakter, maka dalam hal pendidikan seks, konten pendidikan seks tidak akan melulu soal seksualitas, tapi soal pengelolaan diri anak secara utuh.
Kita bukan hanya perlu memastikan anak tahu fakta tentang organ reproduksinya atau lawan jenisnya. Lebih dari itu, kita akan mengevaluasi hal-hal berikut:
- Sudahkah anak tahu bagaimana cara memperlakukan dan saling memperlakukan tubuh, baik tubuhnya maupun tubuh orang lain, dengan sikap respek?
- Apakah anak sudah dilatih untuk menjadi tuan, bukan hamba, dari berbagai hasrat, selera, emosi, gairah, dan nafsu badaniahnya?
- Sudahkah kehendak anak dilatih cukup kuat untuk berani memilih apa yang ia anggap luhur untuk dikerjakan, sekalipun pilihan itu berbeda dari teman-teman di sekelilingnya?
- Apakah daya nalar anak telah dilatih untuk cerdas menelaah dan membedakan mana yang betul-betul benar dan baik dari sekedar mitos, prasangka, fanatisme, atau kekurangpahaman; menilai aspek pro dan kontra dari setiap situasi sebelum memutuskan sikap alih-alih sekedar ikut-ikutan?
- Sudahkah anak menjalin relasi pribadi dengan Tuhan? Sudahkah ia menghayati nilai-nilai agamanya secara tulus, bukannya sekedar tradisi atau dogma yang dihafalkan?
Pendidikan seks adalah ekspresi khusus dari pendidikan karakter. Karena karakter adalah kualitas yang menyeluruh, seksualitas pada akhirnya akan berkait dengan semua aspek diri anak: kehendak, nurani, kesadaran moral, penguasaan diri, akal sehat, juga spiritualitas.
Kita tak bisa mengharapkan anak terampil mengendalikan kehidupan seksualitasnya jika ia tidak terbiasa mengendalikan aspek-aspek lain dari kepribadiannya.
***
Setelah visi dan cakupan kontennya terpetakan, selanjutnya kita menata cara menyajikannya yang selaras dengan tujuan kita. Beberapa saran berbasis filosofi CM yang bisa dipakai dalam pendidikan seks dalam konteks pendidikan karakter:
- Kita harus percaya anak punya kemampuan membedakan baik dan jahat, sekalipun awalnya mereka belum punya konsep yang baik itu apa, yang jahat itu apa. Tugas orangtualah untuk mengajarkan konsep-konsep moral itu secara teratur dan bertahap.
- Kenalkan satu demi satu konsep moral melalui percakapan ringan sehari-hari. Percakapan semacam ini harusnya singkat saja, jangan bertele-tele.
- Lebih baik mengkaji hal-hal secara positif (bagaimana bersikap sopan, kudus, respek, dan seterusnya) ketimbang memberi contoh-contoh perilaku buruk yang tidak boleh dilakukan, yang berarti memasukkan ide-ide tentang perilaku buruk itu ke dalam otak mereka.
- Jangan mengindoktrinasi, ini justru melemahkan kemampuan inteleknya. Semakin sedikit ceramah, semakin baik. Pesan-pesan luhur yang disampaikan pada momen inspiratif akan melekat seterusnya di hati anak ketimbang kuliah-kuliah yang panjang dan menjemukan.
- Sajikan kisah-kisah bermuatan moral, terutama yang langsung tertulis dalam kitab suci, tanpa menggurui dan biarkan anak merenungkan sendiri apa pesan yang terkandung dalam kisah-kisah itu.
- Kalau anak melakukan kesalahan atau “dosa” seksual, cari tahu dulu apakah ia melakukannya karena ia belum tahu itu salah atau meskipun ia sudah tahu itu salah. Dua situasi ini membutuhkan penanganan yang berbeda. Kebanyakan perilaku buruk anak-anak usia dini umumnya aksi impulsif. Mereka, misalnya, ingin tahu soal organ genital mereka sendiri atau anak lain sekedar mengikuti dorongan biologis-psikologis. Mereka belum paham bahwa itu salah, jadi jangan perlakukan seolah-olah mereka sudah tahu. Memarahi mereka untuk itu hanya akan membuat mereka bingung.
- Jangan tampilkan Tuhan sebagai sosok penghukum dosa yang jijik pada seksualitas. Anak-anak perlu berkenalan dengan aspek Tuhan yang bersifat intim, bahwa Ia penuh kasih sayang, pemurah dan pengampun, mengenal setiap makhluknya secara pribadi.
- Orangtua sebaiknya mengajarkan hanya yang mereka betul-betul imani dan tak usah menyusahkan diri berkhotbah tentang doktrin agama yang mereka sendiri tidak terlalu paham.
- Membaca dan belajar kitab-kitab suci memang penting, tapi jangan terlalu sering atau terlalu panjang sehingga anak merasa terbeban, bosan, dan kehilangan rasa takzim.
- Hindarkan memakai pelajaran agama sebagai sarana mengkritik perilaku anak. Lebih baik biarkan firman Tuhan menjelaskan dirinya sendiri.
- Berikan teladan kehidupan yang kudus dan bahagia, contohkan relasi seksual yang sehat dan penuh kasih sayang antara ayah dan ibu.
- Ajarilah anak merasakan kehadiran Tuhan dalam kegiatan sehari-hari dan bahwa ia bertanggung jawab langsung kepada-Nya, bukan kepada manusia.
Semoga refleksi singkat ini bisa membantu.
Salam,
Ellen Kristi
====
Tulisan dimutakhirkan 3 Januari 2021
no replies