KONTAK |  KEGIATAN | REKOMENDASI BUKU |

  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
CMIndonesia.com
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
  • TENTANG CM
    • Sekapur Sirih
    • Profil Charlotte Mason
    • 20 Butir Filosofi CM
    • Serial Home Education
    • Leksikon Metode CM
    • Bahan Belajar Metode CM
  • BERITA
  • KOLOM
  • PODCAST
  • PRINTABLES
    • KERTAS BERGARIS
    • REKOMENDASI BUKU #1
  • BUKU
    • Laman Reseller & Dropshipper
  • ARTIKEL
    • Praktik CM
    • Refleksi CM
    • Pengasuhan
    • Pengembangan Diri
    • Kata Riset
    • Mancanegara
  • RUBRIK
    • Opini
    • Resensi
    • Sosok
    • Tanya Jawab
    • Wawancara
December 5, 2011  |  By Ellen K In Tanya Jawab
Kapan Usia Tepat Mendiskusikan Seksualitas dengan Anak?
Seksualitas, kapan harus dijelaskan? (Dok. Istimewa)
Seksualitas, kapan harus dijelaskan? (Dok. Istimewa)
Post Views: 106

Tanya: 
Kapankah usia yang tepat untuk berdiskusi soal seksualitas dan reproduksi dengan anak-anak?

Dari N (member Indonesia Homeschoolers)

Jawab:
Pertanyaan ini sungguh menggelitik, karena cepat atau lambat semua orangtua harus menghadapinya. Secara biologis, sebetulnya tidak ada yang rumit soal seksualitas dan reproduksi. Mulai dari “Kenapa anak lelaki pipisnya berdiri, anak perempuan jongkok?” sampai “Adik bayi datang dari mana sih?” semua itu jawabannya telah tersedia dalam buku-buku ilmiah tentang anatomi manusia, obstetrik-ginekologi, perinatologi, dan disiplin-disiplin ilmu terkait. Kita bisa mendiskusikannya dengan anak sejak umur berapa pun, begitu muncul pertanyaan darinya.

Tetapi dimensi hidup manusia selalu lebih rumit dari sebatas kodrat alamiah dan biologis. Kalau binatang tinggal mengikuti hukum-hukum alam – lahir, makan, menjadi dewasa, mencari pasangan di musim kawin, bereproduksi – manusia musti melakukan itu semua dalam naungan nilai-nilai moral. Seekor anjing bisa mengawini induknya sendiri tanpa merasa bersalah, tapi manusia akan dihantui pertanyaan: Baik atau burukkah yang saya kerjakan ini?

Dan seksualitas adalah bidang kehidupan manusia yang sarat nilai moral, juga tabu. “Hus! Saru!” begitu peringatan orangtua sambil melotot ketika kata atau tindakan kita dianggap nyerempet-nyerempet urusan seksualitas dan reproduksi. Alhasil, sampai dewasa pun kita selalu merasa malu atau sungkan untuk mendiskusikannya secara terbuka. Kita lantas mewarisi sikap misterius yang serupa dengan gaya orangtua kita dulu saat anak-anak kita menanyakan hal-hal itu. Bukannya kita tidak mau menjelaskan. Kita hanya tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya dengan tepat, sehingga kita lebih memilih menghindari pembicaraan itu.

Pendidikan seks itu penting. Anak-anak kita membutuhkannya. Tetapi alih-alih langsung bertanya “apa yang harus kita ajarkan” dan “bagaimana mengajarkannya”, Charlotte menyuruh kita lebih dulu menjawab pertanyaan: mengapa anak perlu belajar itu? (Home Education, hlm. 171). Saya mendapati bahwa ketiga pertanyaan yang diajukan Charlotte itu harus dijawab secara berurutan, tidak bisa dibolak-balik. Pertanyaan tentang mengapa harus diselesaikan dulu sebelum apa dan bagaimana.

Secara umum, kita akan bilang bahwa kita tak ingin mereka mendapat informasi perihal seks dari teman-teman atau internet yang lebih sering salah, porno, dan menakut-nakuti. Saya pun setuju dengan A.S. Neill bahwa “anak perempuan, demi kebaikannya sendiri, harus tahu bahwa berhubungan seks tanpa memakai alat kontrasepsi bisa mengakibatkan kehamilan. Anak-anak lelaki dan perempuan mesti selalu diberitahu bahwa penyakit kelamin itu nyata adanya dan berbahaya.” (Summerhill School, 1992:216)

Kesehatan adalah satu hal, hal yang penting, tetapi dalam perspektif pendidikan Charlotte Mason, tujuan pendidikan seks harus lebih dari itu. Berkebalikan dari AS Neill yang sama sekali tak merujuk pada dimensi spiritual dan moral dari seksualitas, bagi Charlotte tujuan penting pendidikan – termasuk pendidikan seks – adalah supaya anak “menjalani kehidupan yang patut di bumi, dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih mulia lagi di akhirat”.

Dari perspektif Charlotte ini, pendidikan seks haruslah lebih dari sekedar menjelaskan soal organ-organ genital dan proses-proses jasmaniah dari seksualitas dan reproduksi. Yang Charlotte harapkan sebagai hasil akhir pendidikan adalah suatu “kemantapan pikiran dan kemuliaan karakter” (Vol. 6, hlm. 21). Jika diterapkan pada kasus pendidikan seks, Charlotte akan menanyakan hal-hal berikut:

  • Sudahkah anak tahu bagaimana cara memperlakukan dan saling memperlakukan tubuh, baik tubuhnya maupun tubuh orang lain, dengan sikap respek?
  • Apakah anak sudah dilatih untuk menjadi tuan, bukan hamba, dari berbagai hasrat, selera, emosi, gairah, dan nafsu badaniahnya?
  • Sudahkah kehendak anak dilatih cukup kuat untuk berani memilih apa yang ia anggap luhur untuk dikerjakan, sekalipun pilihan itu berbeda dari teman-teman di sekelilingnya?
  • Apakah daya nalar anak telah dilatih untuk cerdas menelaah dan membedakan mana yang betul-betul benar dan baik dari sekedar mitos, prasangka, fanatisme, atau kekurangpahaman; menilai aspek pro dan kontra dari setiap situasi sebelum memutuskan sikap alih-alih sekedar ikut-ikutan?
  • Sudahkah anak menjalin relasi pribadi dengan Tuhan? Sudahkah ia menghayati nilai-nilai agamanya secara tulus, bukannya sekedar tradisi atau dogma yang dihafalkan?

Pendidikan seks adalah ekspresi khusus dari pendidikan karakter. Karena karakter adalah kualitas yang menyeluruh, seksualitas pada akhirnya akan berkait dengan semua aspek diri anak: kehendak, nurani, kesadaran moral, penguasaan diri, akal sehat, juga spiritualitas. Kita tak bisa mengharapkan anak terampil mengendalikan kehidupan seksualitasnya jika ia tidak terbiasa mengendalikan aspek-aspek lain dari kepribadiannya.

Berikut ini beberapa saran berbasis filosofi CM yang bisa dipakai dalam pendidikan seks dalam konteks pendidikan karakter:

  • Kita harus percaya anak punya kemampuan membedakan baik dan jahat, sekalipun awalnya mereka belum punya konsep yang baik itu apa, yang jahat itu apa. Tugas orangtualah untuk mengajarkan konsep-konsep moral itu secara teratur dan bertahap.
  • Kenalkan satu demi satu konsep moral melalui percakapan ringan sehari-hari. Percakapan semacam ini harusnya singkat saja, jangan bertele-tele.
  • Lebih baik mengkaji hal-hal secara positif (bagaimana bersikap sopan, kudus, respek, dan seterusnya) ketimbang memberi contoh-contoh perilaku buruk yang tidak boleh dilakukan, yang berarti memasukkan ide-ide tentang perilaku buruk itu ke dalam otak mereka.
  • Jangan mengindoktrinasi, ini justru melemahkan kemampuan inteleknya. Semakin sedikit ceramah, semakin baik. Pesan-pesan luhur yang disampaikan pada momen inspiratif akan melekat seterusnya di hati anak ketimbang kuliah-kuliah yang panjang dan menjemukan.
  • Sajikan kisah-kisah bermuatan moral, terutama yang langsung tertulis dalam kitab suci, tanpa menggurui dan biarkan anak merenungkan sendiri apa pesan yang terkandung dalam kisah-kisah itu.
  • Kalau anak melakukan kesalahan atau ‘dosa’, cari tahu dulu apakah ia melakukannya karena ia belum tahu itu salah atau meskipun ia sudah tahu itu salah. Dua situasi ini membutuhkan penanganan yang berbeda. Kebanyakan perilaku buruk anak-anak usia dini umumnya aksi impulsif. Mereka, misalnya, ingin tahu soal organ genital mereka sendiri atau anak lain sekedar mengikuti dorongan biologis-psikologis. Mereka belum paham bahwa itu salah, jadi jangan perlakukan seolah-olah mereka sudah tahu – Memarahi mereka untuk itu hanya akan membuat mereka bingung.
  • Jangan tampilkan Tuhan sebagai sosok penghukum dosa yang jijik pada seksualitas. Anak-anak perlu berkenalan dengan aspek Tuhan yang bersifat intim, bahwa Ia penuh kasih sayang, pemurah dan pengampun, mengenal setiap makhluknya secara pribadi.
  • Orangtua sebaiknya mengajarkan hanya yang mereka betul-betul imani dan tak usah menyusahkan diri berkhotbah tentang doktrin agama yang mereka sendiri tidak terlalu paham.
  • Membaca dan belajar kitab-kitab suci memang penting, tapi jangan terlalu sering atau terlalu panjang sehingga anak merasa terbeban, bosan, dan kehilangan rasa takzim.
  • Hindarkan memakai pelajaran agama sebagai sarana mengkritik perilaku anak. Lebih baik biarkan firman Tuhan menjelaskan dirinya sendiri.
  • Berikan teladan kehidupan yang kudus dan bahagia, contoh relasi seksual yang sehat dan penuh kasih sayang antara ayah dan ibu.
  • Ajarilah anak merasakan kehadiran Tuhan dalam kegiatan sehari-hari dan bahwa ia bertanggung jawab langsung kepada-Nya, bukan kepada manusia.

Salam manis,
Ellen Kristi

Facebook Comments

Article by Ellen K

Ellen Kristi. Ibu tiga anak homeschooler, praktisi metode CM dan penulis buku "Cinta Yang Berpikir", berdomisili di Semarang. Dapat dihubungi lewat ellenkristi@gmail.com

Previous StoryMendidik Sang Pendidik
Next StoryThe Ron Clark’s Story: Kisah Guru Pantang Menyerah

Related Articles

  • Perilaku anak bikin emosi?
    Kita Harus Apa Saat Anak Susah Diatur dan Emosi Memuncak?
    View Details
  • Tanya Jawab_Anak Egois Tak Mau Berbagi
    Ketika Anak Egois dan Tak Mau Berbagi
    View Details

no replies

Leave your comment Cancel Reply

(will not be shared)

Charlotte Mason Indonesia

Media informasi pendidikan karakter. Menyajikan beragam berita, gagasan filosofis sampai tips dan trik bagi orang tua dan guru agar berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang “berpikir tinggi, hidup membumi.”

Cinta yang Berpikir. Penulis: Ellen Kristi

Terbaru

  • Menyelaraskan Resolusi Tahun Baru dan Tujuan Hidup January 17, 2021
  • Mengapa Orangtua dan Guru Belum Berhasil Mendewasakan Karakter Anak? January 15, 2021
  • Ke Mana Arah Pendidikan Anak Usia Dinimu? January 13, 2021
  • Belajar Musik: Haruskah Menunggu Anak Tampak Berminat atau Berbakat? January 11, 2021
  • Profesi Mana yang Paling Tepat Untuk Anak Tekuni? January 6, 2021
  • Membantu Anak Belajar dari Masa Lalu Orangtuanya January 5, 2021
  • Membesarkan Anak Bukan Hanya Urusan Ibu-ibu January 4, 2021
  • DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #5 January 3, 2021
  • Bahayanya Membandingkan Diri dengan Praktisi CM Senior December 18, 2020
  • Sekilas Panduan CM Soal Belajar Geografi December 17, 2020

Arsip

Charlotte Mason Indonesia

Alamat
Jl. Jeruk VII/24
Semarang 50249

Jam Kegiatan:
Senin—Jumat: 9:00AM–5:00PM

POPULER

  • Ke Mana Arah Pendidikan Anak Usia Dinimu? 1.4k views | 0 comments | by Ellen K | posted on January 13, 2021
  • Membantu Anak Menemukan Tujuan Hidupnya 891 views | 2 comments | by Ellen K | posted on November 22, 2011
  • Mengapa Orangtua dan Guru Belum Berhasil Mendewasakan Karakter Anak? 812 views | 0 comments | by Ellen K | posted on January 15, 2021
  • Tunjukkan Cinta Lewat Waktu 401 views | 0 comments | by Ellen K | posted on November 26, 2011
  • Belajar Musik: Haruskah Menunggu Anak Tampak Berminat atau Berbakat? 273 views | 0 comments | by Ellen K | posted on January 11, 2021

KOMENTAR TERKINI

  • Ellen K on Membantu Anak Menemukan Tujuan Hidupnya
  • Amilia on Membantu Anak Menemukan Tujuan Hidupnya
  • Ellen K on Pekerjaan Tak Sesuai “Passion”, Haruskah Ditinggalkan?
  • Anita on Pekerjaan Tak Sesuai “Passion”, Haruskah Ditinggalkan?
  • Erlin on Podcast #29: Menyiapkan Anak Belajar Membaca
  • Ika on Podcast #28: Menyusun Jadwal Belajar Keseharian

Visitors

Today: 286

Yesterday: 1137

This Week: 286

This Month: 19106

Total: 197312

Currently Online: 274

Copyright ©2011-2021 Charlotte Mason Indonesia. All Rights Reserved. || Web Development: Whoups Creative Co.