“Agar ibu paham maknanya menjadi ibu, sepenuhnya siap menjalankan tugasnya, dia harus memiliki lebih dari sekedar informasi ‘katanya’ tentang teori pendidikan.” (Home Education, hlm. 3)
Sama seperti kebanyakan perempuan muda lain, saya dulu memasuki fase menjadi ibu tanpa bekal pengetahuan apa pun selain “katanya” dan “kayaknya” tentang peran baru ini.
Bayi saya lahir dan saya tidak tahu cara menyusuinya. Bayi saya demam dan saya tidak tahu tata laksana merawatnya. Bayi saya menangis dan saya berkeras hati tidak menggendongnya supaya dia tidak “bau tangan” (kecanduan digendong).
Alhasil, bayi saya tidak berhasil mendapatkan ASI eksklusif. Sejak kecil dia banyak dijejali antibiotik dan terlalu sering diambil darah. Secara emosional menjadi insecure karena selalu didiamkan meski sudah menangis selama berjam-jam.
Itu hanya beberapa contoh dari banyak sekali kesalahan yang saya kerjakan di “masa kegelapan” saya dulu saat jadi ibu baru. Dan saya butuh waktu panjang untuk memperbaiki semua cedera fisik dan emosional yang ditimbulkan oleh semua kesalahan itu pada diri anak saya.
***
Kita semua ingin jadi ayah dan ibu yang hebat, yang sempurna dalam arti:
- selalu tenang dan bisa mengendalikan situasi
- selalu ramah dan sabar terhadap anak-anak kits
- selalu mampu mengatasi pelanggaran-pelanggaran disiplin anak dengan cara yang tepat
- selalu bisa meluangkan waktu untuk mendampingi anak
- selalu berpikiran positif dan optimis tentang anak-anak
- selalu tahu cara yang tepat merespons anak
Namun sayangnya, “selalu” itu dalam kenyataannya hanya “kadang-kadang”, sementara yang lebih sering terjadi adalah kita bingung harus mengerjakan atau mengatakan apa.
Parenting is not an inborn skill. Menjadi orangtua bukanlah keterampilan alamiah sejak lahir, kata psikoterapis James Windell. Dan justru di situlah masyarakat kita ini sangat mengherankan.
Mari perhatikan: semua profesi yang menyangkut hajat hidup orang lain — tenaga medis, aparat hukum, insinyur, pengatur ekonomi, juga guru — hanya bisa diemban oleh orang-orang yang telah melewati masa belajar panjang, termasuk tugas magang dan ujian profesi.
Lalu mengapa tidak ada pelatihan atau sekolah persiapan menjadi orangtua? Masyarakat seperti berharap bahwa lelaki dan perempuan muda yang belum berpengalaman ini bakal bisa sendiri menjadi orangtua yang baik tanpa bimbingan.
Seperti yang dituliskan oleh Charlotte Mason di buku Home Education:
Pengasuhan terhadap anak, secara jasmani, moral, dan intelektual, sangatlah memprihatinkan karena para orangtua minim pengetahuan yang mutlak diperlukan untuk membimbing pengasuhan itu.
Untuk mendesain sepatu atau membangun rumah, untuk mengelola kapal atau mesin kereta api, dibutuhkan program magang yang panjang. Apakah menyingkapkan kemanusiaan seseorang dalam tubuh dan pikirannya dianggap lebih sederhana dari itu sehingga siapa pun boleh memegang kekuasaan dan mengelolanya tanpa persiapan apa pun?
***
Karena tidak ada pembekalan khusus, akhirnya banyak ayah-ibu muda bersandar pada pengalaman masa lalu saja. Mereka meniru pola pengasuhan yang dulu mereka alami.
Ayah atau ibu yang semasa kecilnya dibesarkan dalam deraan tongkat rotan atau cercaan sulit untuk memahami arti penting membesarkan anak tanpa kekerasan, fisik ataupun verbal.
“Aku dulu dibesarkan dengan cara seperti itu dan aku bertumbuh baik-baik saja. Mengapa sekarang aku harus mendidik anak-anakku dengan cara yang berbeda?” demikian pikir mereka, sering tanpa sadar.
Atau sebaliknya, ketika merasa tidak puas dengan gaya mendidik orangtua dulu, mereka akan melakukan kebalikannya. Merasa dulu terlalu dikerasi orangtua, sekarang mereka sangat memanjakan anak. Merasa dulu selalu ditinggal orangtua bekerja, sekarang mereka merasa bersalah kalau meninggalkan anak. Pendulum diayunkan ke arah ekstrem lainnya — “yang ternyata tetap sama salahnya,” kata Dreikurs.
Bukannya ayah-ibu ini berniat jahat pada anak-anak. Hanya saja tak terpikir oleh mereka cara mengasuh yang berbeda dan lebih baik. Knowledge is power, kata Sir Francis Bacon (1561-1626). Memiliki pengetahuan membuat kita berdaya. Namun, kata Rudolf Dreikurs, “a little knowledge is a dangerous thing.” Tahu sedikit-sedikit justru bisa berbahaya.
***
Kita sedih, bahkan mungkin marah, kalau melihat ada orangtua yang masih salah dalam cara mengasuh anak-anak, entah memakai kekerasan atau terlalu memanjakan. Namun kita tidak boleh berhenti di prihatin atau menyalah-nyalahkan.
Merefleksikan pengalaman saya dulu saat debut menjadi ibu baru, saya sangat ingin menjadi ibu yang baik, tapi saya belum tahu caranya. Yang saya butuhkan bukan pandangan iba atau cemoohan. Saya butuh bantuan kongkrit!
Saya pikir demikian pula ayah-ibu lain yang masih kesulitan membesarkan anak mereka dengan baik. Mereka butuh bantuan praktis agar lebih bisa memahami anak-anak, sekaligus mengenali cara berpikir mereka sendiri. Mereka butuh dimampukan memikul dua tanggung jawab sekaligus: mendidik anak-anak, juga mendidik diri sendiri.
Orang sering terkecoh dengan sosok para ayah-ibu yang secara fisik sudah besar, lalu menganggap “seharusnya mereka sudah dewasa, tahu caranya mendidik anak”.
Namun ternyata kedewasaan itu bukan kualitas yang otomatis mengiringi usia, bukan? Meskipun kita sudah jadi matang secara fisik, tapi banyak dari antara kita yang masih kekanak-kanakan. Kita berperilaku seperti anak-anak, malah mungkin kita adalah “anak-anak bermasalah” yang perlu direhabilitasi.
***
Entah kapan masyarakat sadar betapa pentingnya semua calon orangtua dibekali secara serius dan semua yang sudah jadi orangtua difasilitasi untuk meng-upgrade diri.
Entah kapan akan disediakan “sekolah” persiapan khusus untuk menjadi orangtua dan program bimbingan bagi para orangtua yang masih harus bergumul mengatasi sifat kekanak-kanakan mereka.
Bagi kita yang sudah keburu jadi orangtua, kita tidak bisa menunggu. Kita harus mencari sendiri pembekalan itu. Kalau masyarakat belum bisa menyediakan bantuan secara sistematis, kita terpaksa harus membantu dulu diri sendiri. Sebisanya.
Kita tak akan pernah menjadi orangtua yang sempurna, tapi kita selalu bisa menjadi orangtua yang lebih baik. Untuk itu, kita harus bekerja keras mengubah orientasi dan memperbaharui diri dari waktu ke waktu, dan terus belajar, terus belajar, sampai kita bisa dengan mantap membedakan mana metode mendidik yang benar dan efektif, dari yang salah dan tak berguna.
Dan alih-alih saling membandingkan diri, mencemooh orangtua lain saat melihat mereka lebih payah, atau terpuruk saat merasa kita yang lebih payah, bagaimana kalau membangun solidaritas? Mari bergandengan tangan, saling mendukung, saling menyemangati dalam proses berat kita mendewasakan anak dan mendewasakan diri sendiri.
no replies