Tahun ini tahun istimewa bagi kami. Secara resmi Grace putri kami memulai babak formal dalam perjalanan homeschooling-nya. Sejak terlontar wacana untuk mendidik sendiri anak-anak kami, baru kali inilah kami memulai sesi terstruktur yang cukup formal.
Ya, tepatnya sejak September lalu, kami mulai menjalani keseharian kami dengan menggunakan kurikulum gratis dari Ambleside Online, salah satu panduan metode Charlotte Mason yang populer.
Sejak awal berkenalan dengan Charlotte Mason (CM), saya merasa sreg dengan gagasan-gagasannya. Setiap kali membaca pemikirannya, tanpa sadar hati dan kepala ini langsung mengangguk-angguk setuju; antara mengamini dan merasa heran dengan kedalaman gagasan-gagasannya.
Cuplikan-cuplikan pemikiran CM yang diposting setiap hari di grup Komunitas Charlotte Mason Indonesia membuat saya jatuh cinta terhadap metode ini. Bersyukur, tak lama kemudian buku Cinta yang Berpikir terbit. Buku ini sangat membantu saya mendalami filosofi pendidikan yang ditawarkan oleh CM. Berawal dari sanalah, akhirnya saya dan suami mantap memilih metode CM sebagai panduan yang akan membimbing perjalanan homeschooling dalam keluarga kami.
Metode CM menganjurkan agar anak-anak memulai pelajaran formalnya pada usia 6 tahun atau lebih, tapi tidak lebih muda dari usia itu. Kami sendiri akhirnya menunda pelajaran formal Grace sampai ia berusia 7 tahun. Sebelum itu kami mengikuti anjuran CM untuk banyak mengajaknya eksplorasi di luar rumah, fokus untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik (habit training), dan mengeksposnya ke aneka buku-buku bermutu (living books) yang bisa kami temukan.
Bukan berarti tidak ada rasa gentar dalam hati saya saat menjalankan metode ini. Bagaimana tidak? Dengan menjalankan metode ini berarti saya sendiri harus keluar dari zona nyaman saya, bersedia belajar dan jatuh bangun bersama anak-anak. Sebagai pendamping utama dalam proses ini saya sendiri pun dituntut untuk belajar disiplin dan konsisten, rajin menyiangi aneka cacat cela dalam karakter saya sendiri supaya bisa menjadi teladan keluhuran kepada anak-anak.
Bagi saya ini proses yang menantang tapi juga mengerikan. Melihat kelemahan diri sendiri sama artinya dengan membuka borok-borok dalam diri, membersihkan lalu mengobatinya agar membaik dan menjadi pulih. Bagaimana mungkin saya bisa mengharapkan anak-anak menjadi seorang yang berkepribadian luhur dan penuh cinta pada misi hidup yang kelak akan diembannya, jika saya sendiri masih jauh dari semuanya itu?
CM bilang: education is an atmosphere, a discipline, a life! Cita-cita yang menjadi tujuan akhir pendidikan ala CM adalah lahirnya insan-insan kamil di dunia ini. “Oh, sanggupkah kami?” menjadi pertanyaan yang kerap muncul dalam hati kecil saya. (Bersambung)
no replies