Anak bisa membaca – pentingkah itu? Tentu saja. Namun arti terpentingnya bukan agar orangtua bisa membanggakan si anak kepada sesama ayah-ibu lain, “Lihat, anakku sudah bisa membaca sejak usia dua tahun!” atau sekadar supaya anaknya tidak dianggap bodoh oleh masyarakat.
Dalam metode pendidikan Charlotte Mason, kegiatan membaca menjadi salah satu tolok ukur kemandirian anak sebagai pembelajar. “Pendidikan seorang anak belum lagi dimulai kalau dalam dirinya belum terpatri kebiasaan membaca mandiri,” kata pendidik Inggris abad ke-19 ini.
Seperti apa kebiasaan membaca mandiri itu?
Pertama, “terbiasa membaca dengan tenang, cermat, cerdas, meskipun tanpa suara, karena matanya berkonsentrasi penuh pada makna setiap klausa” – artinya, secara teknis anak membaca secara efektif dan terampil.
Kedua, “satu kali membaca materi apa pun dirasanya cukup untuk menarasikan yang dia baca” – artinya, anak mampu menangkap ide-ide dalam bacaan, ditandai dengan kemampuannya menceritakan kembali intisari dari bacaan itu.
Ketiga, “disertai minat dan kesenangan” – artinya membaca karena senang alias cinta membaca. Jika anak mendapat kegembiraan dari proses membaca, dia akan melakukannya tanpa harus disuruh-suruh, apalagi diancam.
Dan keempat, “buku-buku utuh yang sesuai dengan taraf kecerdasannya” – artinya, anak tidak hanya membaca cuplikan yang disajikan dalam LKS atau buku pelajaran sekolah, melainkan membaca buku sungguhan dari awal sampai akhir. Rak bukunya berisi bukan cuma koran, majalah, atau bacaan ringan apalagi picisan, tapi juga karya bermutu di bidang sastra, sejarah, sains, filsafat, teologi, dsb. yang mungkin dianggap orang tebal dan rumit.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana proses mewujudkannya?
Setahap demi setahap. Metode pendidikan Charlotte Mason menekankan proses belajar yang gentle, tidak buru-buru. Pahami prinsip-prinsip dasarnya, lalu letakkan fondasi mulai dari tingkat paling dasar, dan terus bangun secara terencana dan bertujuan tingkat-tingkat berikutnya setiap kali satu lapisan fondasi telah mapan.
Masa Pra-Sekolah: Atmosfer Berbahasa yang Kaya
Sampai dengan usia 6-7 tahun, anak belum perlu pelajaran formal apa pun, termasuk membaca. Biarkan mereka sepuas-puasnya bermain bebas, mengolah serta mengasah keterampilan motorik halus dan kasar. Sediakan atmosfir berbahasa yang kaya. Minimalkan tayangan televisi dan pemakaian gawai (gadget). Perbanyak interaksi dan percakapan antar manusia, baik dengan orangtua, keluarga besar, teman, kerabat, tetangga.
Jadikan membaca buku bermutu sebagai kebiasaan sehari-hari yang menyenangkan, misalnya sebagai ritual intim orangtua-anak sebelum tidur atau sesudah bangun tidur. Terbiasa dengan kekayaan kosakata yang sastrawi dari pustaka hidup (living books) betul-betul berguna sebagai fondasi awal keterampilan membaca anak kelak. Perbendaharaan kosakatanya itu membuat anak tidak kaget berhadapan dengan teks materi membaca.
Sekitar usia 4-5 tahun, banyak anak secara alamiah menunjukkan ketertarikan pada aksara dan angka. Mereka mulai bertanya cara menuliskan nama mereka, atau kata-kata lainnya yang mereka anggap bermakna. Layani dan jelaskan seperlunya, tanpa terjebak ambisi ingin memanfaatkan itu untuk jadi pelajaran membaca formal. Sila baca artikel dokter Susan Johnson, FAAP tentang mengukur kesiapan anak belajar baca-tulis dan risiko menggegas prosesnya.
Mengenalkan Alfabet
Pengenalan ini bisa dimulai sejak masa pra sekolah, kalau anak sudah tertarik. Buat seperti permainan saja. Program atau permainan komputer interaktif bisa membantu anak lambat laun hafal sendiri A-Z. Ketika fase pelajaran formal sudah dimulai, kita tinggal memantapkan saja, memastikan bahwa anak tahu bunyi setiap huruf.
Pelajaran Pertama: Sight Reading dan Word Building
Kunci dari membaca dengan makna adalah anak bisa mengasosiasikan bunyi suatu kata dengan konsep yang diwakili oleh kata itu. Misalnya dia melihat urutan huruf b-a-l-o-n, di benaknya terbayang wujud balon.
Percuma saja kalau anak bisa menyuarakan “ba-lon”, tapi benaknya kosong dari imaji balon. Ini problem yang sering muncul ketika anak terlalu digegas belajar membaca: secara teknis dia bisa menyuarakan bunyi kata dan kalimat, tapi ketika ditanya “Tadi apa yang kamu baca?”, pemahamannya nihil. Anak seperti ini biasanya ketika membaca tak bisa meletakkan penggalan kalimat dengan tepat, intonasi untuk tiap-tiap tanda baca (titik, koma, tanda seru, tanda tanya) serba ditabrak dan berantakan.
Charlotte menyarankan agar kita senantiasa memakai teks yang bermakna, menarik, dan bermutu sebagai materi pelajaran membaca. “Jangan ada kombinasi huruf yang tanpa makna, jangan ada ba-bi-bu-be-bo, cang-cing-cung-ceng-cong, disajikan di hadapannya. Dari awal mula, anak mesti diajari menganggap tulisan seperti ucapan, sebagai simbol dari fakta atau ide yang membangkitkan minat.”
Pelajaran Membaca Pertama di Rumah Kami
Ketika mengajari anak-anak saya membaca, saya memilih teks-teks lagu yang mereka sudah kenal sebagai bahan latihan baca pertama kali. Misalnya untuk si sulung, saya memilih teks lagu Bintang Kecil. Mula-mula saya tuliskan di kertas besar: bintang. Saya beritahu dia bunyi dari kata itu. Kemudian saya potong-potong kertas lain, menjadi seukuran flashcard. (NB: selain menggunakan flash card, Anda juga bisa memanfaatkan mainan balok susun). Lalu saya tuliskan bin dan tang. Saya beritahukan padanya bunyi tiap suku kata itu. Kemudian potongan kertas diacak dan saya minta dia menyusun lagi sendiri kata “bintang”.
Setelah berhasil dengan kata “bintang”, pelajaran dilanjutkan ke kata “ke-cil”, “di”, “la-ngit”, “yang”, “bi-ru”. Setelah semua kata itu dia kuasai, saya tulis ulang kata-kata itu di potongan kertas lain sebagai kata utuh: bintang, kecil, di, langit, yang, biru. Kemudian saya minta dia menyusun variasi kata, misalnya “Tolong susun bintang biru!” atau lebih panjang lagi, “Buatlah tulisan bintang biru yang kecil!” Setelah itu saya persilahkan anak untuk berkreasi sendiri menciptakan susunan-susunan kata yang dia sukai, misalnya langit kecil, biru di bintang, dsb.
Selesai satu baris, pelajaran dilanjutkan ke teks lagu selanjutnya: amat banyak menghias angkasa, aku ingin terbang dan menari, jauh tinggi ke tempat kau berada. Makin banyak kata yang dikuasai anak, makin beragam susunan kata yang bisa dia buat. Misalnya, aku ingin ke bintang biru di angkasa; bintang kecil menari jauh tinggi, dsb. Berhasil membaca beberapa teks lagu, anak sulung saya praktis sudah cakap membunyikan kata-kata secara bermakna.
Pelajaran Kedua: Bacaan Sederhana
Tahap berikutnya, saya menyodorkan kepada anak teks primary reader sederhana. Saya memakai bacaan yang kalimatnya pendek-pendek, kosakatanya berulang (repetitif). Contoh teksnya seperti kisah Si Ayam Merah berikut ini:
SI AYAM MERAH
Si Ayam Merah menemukan sebutir biji.
Biji itu kecil.
Si Ayam Merah menemukan sebutir biji.
Rupanya itu benih gandum.
***
Si Ayam Merah bertanya,
“Siapa mau menanam benih ini?”
Si Babi berkata, “Aku tidak mau.”
Si Kucing berkata, “Aku tidak mau.”
Si Anjing berkata, “Aku tidak mau.”
Si Ayam Merah berkata,
“Kalau begitu aku saja.”
Dan dia mengerjakannya.
***
Si Ayam Merah bertanya,
“Siapa mau menyabit gandum?”
Si Babi berkata, “Aku tidak mau.”
Si Kucing berkata, “Aku tidak mau.”
Si Anjing berkata, “Aku tidak mau.”
Si Ayam Merah berkata,
“Kalau begitu aku saja.”
Dan dia mengerjakannya.
***
Si Ayam Merah berkata,
“Siapa mau menebah gandum?”
Si Babi berkata, “Aku tidak mau.”
Si Kucing berkata, “Aku tidak mau.”
Si Anjing berkata, “Aku tidak mau.”
Si Ayam Merah berkata,
“Kalau begitu aku saja.”
Dan dia mengerjakannya.
***
Si Ayam Merah bertanya,
“Siapa mau menggiling gandum?”
Si Babi berkata, “Aku tidak mau.”
Si Kucing berkata, “Aku tidak mau.”
Si Anjing berkata, “Aku tidak mau.”
Si Ayam Merah berkata,
“Kalau begitu aku saja.”
Dan dia mengerjakannya.
***
Si Ayam Merah bertanya,
“Siapa mau membuat roti?”
Si Babi berkata, “Aku tidak mau.”
Si Kucing berkata, “Aku tidak mau.”
Si Anjing berkata, “Aku tidak mau.”
Si Ayam Merah berkata,
“Kalau begitu aku saja.”
Dan dia mengerjakannya.
***
Si Ayam Merah bertanya,
“Siapa mau makan roti?”
Si Babi berkata, “Aku mau.”
Si Kucing berkata, “Aku mau.”
Si Anjing berkata, “Aku mau.”
Si Ayam Merah berkata,
“Kalian tidak berhak makan roti.
Biar aku saja.”
Dan dia memakannya.
***
Si Ayam Merah menemukan sebutir biji.
Rupanya itu benih gandum.
Dia bertanya,
“Siapa mau menanam gandum?
Siapa mau menyabit gandum?
Siapa mau menebah gandum?
Siapa mau menggiling gandum?
Siapa mau membuat roti?”
Si Babi berkata, “Aku tidak mau.”
Si Kucing berkata, “Aku tidak mau.”
Si Anjing berkata, “Aku tidak mau.”
Si Ayam Merah berkata,
“Berarti kalian tidak berhak makan roti.”
(diterjemahkan dari primary reader Treadwell)
Jangan lupa bahwa di tahap awal belajar membaca ini, anak sedang menata fondasi keterampilannya. Perhatikan agar dia membaca semua suku kata dan tanda baca dengan tepat. Kalau ada tanda tanya, berarti dia harus mengeluarkan intonasi bertanya. Kalau ada titik atau koma, berarti ada jeda dan intonasi titik dan koma. Tidak apa-apa capaiannya lambat di awal, asalkan semua pembacaan dilakukan dengan tepat. Kita tidak sedang berlomba dengan siapa pun, bukan?
Cermati daya konsentrasi anak, seberapa panjang durasi yang dia mampu tahan dalam kondisi berkonsentrasi penuh. Kalau bisanya baru 5 menit, ya cukup 5 menit per sesi pelajaran membaca. Kalau sudah terbiasa, bisa diperpanjang lagi sedikit, tapi sanggup fokus membaca selama 10 menit itu sudah bagus sekali bagi siswa tingkat satu.
Selanjutnya: Tingkatkan Terus Kaliber Bacaan
Sesi membaca kami hanya 10 menit sehari. Anak membaca lantang sementara saya menyimak dan mencocokkan apakah dia sudah menyuarakan dengan tepat semua kata dalam intonasi yang tepat untuk setiap tanda baca.
Awalnya per sesi, si sulung hanya bisa menyelesaikan bacaan beberapa alinea. Seiring waktu, makin panjang bacaan yang bisa dia selesaikan dalam waktu 10 menit itu, sampai akhirnya menjadi beberapa halaman tiap sesi.
Setiap kebiasaan buruk membaca harus disiangi sejak dini. Pada kasus anak sulung saya ini, semula dia kerap menebak bunyi kata tanpa benar-benar mengejanya, atau menabrak tanda baca (terutama titik dan koma). Saya juga mesti mendisiplin dia untuk menyesuaikan intonasi membacanya jika bertemu tanda tanya dan tanda seru. Kalau sedang tidak mood, membacanya suka jadi tidak teliti, sehingga terpaksa harus bolak-balik mengulangi kata sana-sini.
Begitu terlihat anak mahir menggarap teks sederhana, gantilah bacaannya dengan kaliber yang setaraf lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Dari teks belajar membaca yang sederhana, saya naikkan tantangan bacaan si sulung ke Kumpulan Dongeng Nusantara, lalu novel Laba-laba dan Jaring Kesayangannya (terjemahan dari Charlotte’s Web karya E.B. White), Totto-chan: Gadis Kecil di Jendela (terjemahan karya Tetsuko Kuroyanagi), biografi pendek John Muir: Kehidupanku Bersama Alam, dan seterusnya.
Menggunakan pustaka hidup membuat sesi membaca jadi menyenangkan. Anak sulung saya atas inisiatif sendiri membaca kelanjutan Kumpulan Dongeng Nusantara pada jam di luar sesi karena penasaran pada ceritanya. Dia bisa terpingkal-pingkal berat ketika membaca Totto-chan, atau menjadi tegang ketika membaca kisah petualangan John Muir yang menyerempet bahaya.
Memang itulah yang kita harapkan: anak bukan sekadar makin terampil membunyikan kalimat, tapi menjalin relasi batin dengan tokoh-tokoh dan gagasan-gagasan inspiratif dalam materi bacaannya
no replies