Saya menatap sebal hasil jepretan kamera HP saya. Gambarnya goyang, tidak fokus, padahal momennya penting untuk diabadikan dan tak bisa terulang lagi! “Ah, rasanya sudah waktunya ganti HP baru,” pikir saya. Berbagai alasan untuk membeli HP baru pun melintas: speaker HP ini sudah rusak, HP ini tidak punya reading mode, HP ini umurnya sudah lebih dari 3 tahun, ada cukup uang tabungan untuk beli HP baru, dan seterusnya. Nah, alasan sudah banyak, berarti rencana ganti HP bisa dieksekusi dong?
Sebentar, sebentar! Tiba tiba saya teringat penjelasan Charlotte Mason tentang cara kerja nalar yang pernah saya baca. Mendadak saya tersadar bahwa proses yang barusan terjadi dalam benak saya persis seperti yang Charlotte uraikan. Ide ganti HP hinggap di kepala saya, dan saya suka ide itu, lalu nalar saya memunculkan berbagai macam alasan untuk mendukung ide itu.
Di sinilah Charlotte menyuruh kita berhati-hati. Alasan-alasan dari nalar itu seringkali masuk akal, tetapi tidak selalu bisa diandalkan dalam mengambil keputusan.
Anak-anak harus belajar untuk tidak menggantungkan diri berlebihan pada penalaran mereka sendiri. Nalar sangat bermanfaat untuk mendemonstransikan secara logis kebenaran matematis, tetapi tidak bisa diandalkan untuk menilai ide-ide karena nalar kita bisa membenarkan segala macam ide yang keliru kalau kita terlanjur betul-betul niat untuk meyakini ide-ide itu. (Butir ke-18 Filosofi CM)
Dalam bukunya yang keenam A Philosophy of Education bab IX, Charlotte membeberkan tentang Hukum Penalaran. Kerja nalar dimulai dari suatu ide. Saat ada ide hinggap di kepala, nalar akan langsung bekerja memperkuat atau menolak ide itu. Berbagai macam alasan akan bermunculan untuk mendukung atau menolak, tergantung rasa suka atau tidak suka kita pada ide itu.
Seperti kisah saat Hawa mendekati pohon yang terlarang. Hawa tahu ia dilarang memakan buah pohon itu. Tetapi manakala hadir ide untuk memakannya, nalarnya bekerja, membuat alasan-alasan untuk mendukung ide itu, dan akhirnya ia memakannya.
Contoh lain: ketika kita tidak suka pada seseorang, nalar akan mengemukakan berbagai macam bukti bahwa orang itu memang layak untuk tidak kita sukai. Bahkan waktu orang tersebut melakukan tindakan kecil yang semestinya wajar, nalar bisa menjadikannya sebagai tambahan bukti untuk semakin tidak menyukai orang tersebut. Bak tukang hasut paling ciamik, nalar membisiki kita untuk semakin memantapkan ide yang telah terpantik sebelumnya.
Bias konfirmasi juga seringkali tampak di media sosial. Ketika meyakini suatu pilihan politik, misalnya, kita akan membagikan status dan tautan yang mendukung pilihan kita itu. Sebab kita ingin meyakini bahwa kita benar, kita hanya mau membaca informasi yang mendukung pilihan tersebut. Kita enggan membaca apa pun yang kontra dengan ide yang kita yakini. Kalaupun membaca hal yang kontra, tujuannya bukan untuk memahami argumen dari sudut pandang lain, melainkan untuk mencari kesalahan pihak oponen.
***
Lho, apa lantas kita tidak boleh menggunakan nalar? Tidak, bukan demikian. Bagaimanapun juga Tuhan menciptakan nalar untuk dipergunakan. Anak-anak perlu belajar berpikir logis untuk memahami masalah, untuk membuat perencanaan, untuk menganalisis pendapat orang lain, dlsb. Hanya saja, kita harus tahu menempatkan penalaran pada posisi yang tepat.
Charlotte Mason memberi analogi bahwa dalam proses berpikir, Nalar itu sebetulnya berperan sebagai hamba, bukan majikan. Idealnya, bukan hamba yang menjadi penentu keputusan. Majikanlah yang harus mengarahkan hamba itu harus melakukan apa.
Sekali lagi perlu dicatat, penalaran bermula dari sebuah ide. Manakala sebuah ide hadir, di sanalah penalaran akan mulai bekerja untuk mendukung ide tersebut. Jadi, buah penalaran sangat tergantung pada idenya. Ketika yang hadir adalah ide yang baik, hasilnya akan baik. Seperti kisah Florence Nightingale (1820-1910). Perempuan Inggris ini dihinggapi rasa kasihan pada para korban perang. Penalarannya pun bekerja dengan sungguh-sungguh, menyiapkan seribu satu alasan dan cara mendukung idenya untuk menjadi perawat di medan perang.
***
Sampai di sini, Charlotte Mason menekankan pentingnya membiasakan anak untuk terpapar pada ide-ide yang luhur dan beragam. Kalau hanya mengandalkan keseharian yang berkutat pada lingkungan dan teman-teman yang itu-itu saja, ide yang anak serap ya hanya itu-itu saja. Karena itulah, suplai living books penting bagi anak-anak.
Anak-anak butuh membaca beragam cerita. Cerita bisa membawa mereka merasakan suatu pengalaman tanpa mereka harus mengalaminya langsung. Melalui cerita pula anak-anak akan belajar menilai ide-ide yang hadir dalam benak setiap tokoh dan bagaimana pergumulan mereka dalam menjalaninya.
Buat Charlotte, bagus sekali jika sejak kecil anak sudah terbiasa bertemu dengan ide-ide yang beragam. Selain mendengar banyak cerita, anak juga perlu menambah perbendaharaan pengalamannya. Hanya dengan menjalani beragam pengalaman dan berlatih menilainya, anak anak akan belajar bahwa untuk satu perkara bisa ada banyak sudut pandang. Dan anak akan melihat bahwa setiap sudut pandang mengemukakan alasan-alasan logisnya sendiri. Saat terpapar ke beragam ide seperti inilah, otomatis akalbudi anak akan bekerja untuk menimbang, memilah, dan memilih.
Setelah menyadari bahwa nalar tidak bisa dijadikan otoritas tertinggi dalam membentuk pendapat, anak-anak harus belajar bahwa tanggung jawab terbesar mereka adalah memilih ide-ide mana yang mesti mereka terima atau tolak. Berbagai kebiasaan baik yang telah dilatihkan dan suplai beragam pengetahuan akan menjadi bekal disiplin diri dan wawasan untuk membantu mereka menjalankan tanggung jawab itu. (Butir ke-19 Filosofi CM)
Anak-anak perlu belajar menilai berbagai tawaran ide yang tersembunyi di balik penalaran. Menilai ide, sama seperti kemampuan-kemampuan lain, butuh latihan karena tidak ada anak yang terlahir dengan kemampuan ini. Di satu sisi, anak-anak tetap perlu mengasah daya nalar dengan belajar matematika, tata bahasa, dan ilmu logika. Di sisi lain, anak-anak perlu terbiasa untuk memikirkan satu isu dari berbagai sisi, termasuk sisi yang berseberangan dengan ide yang mereka yakini.
***
Kembali ke kasus saya ingin membeli HP di atas. Alih alih langsung membeli HP karena sudah punya sejumlah alasan logis yang menguatkan, saya merenung dulu. Benarkah saya membutuhkan HP baru? Jika alasannya karena kamera, seberapa sering saya akan membutuhkan kamera yang ciamik untuk mengabadikan momen-momen yang saya temui? Tabungan memang sudah ada, tapi adakah hal lain yang lebih urgen untuk dibeli?
Dengan menyadari bahwa nalar hanyalah hamba, sebagai majikan saya perlu menuntunnya untuk bekerja sesuai prinsip, bukan membiarkannya menyetir saya. Apa prinsip saya dalam soal pembelian HP? Apa sebetulnya fungsi HP buat saya? Setelah berefleksi, saya dapati buat saya, arti penting HP adalah sebagai alat komunikasi. Apakah HP yang sekarang ini masih bekerja sesuai fungsinya? Begitu kembali ke prinsip ini, nalar saya pun lekas berargumen dan memberi bukti-bukti. “Masih bisa buat menelpon, masih bisa sms dan chatting, masih bisa browsing, medsos masih lancar, berarti HP ini masih memadai, belum perlu diganti.”
***
Begitulah, nalar bisa menjadi hamba yang baik atau majikan yang buruk. Intinya, kita perlu menggunakan nalar dalam proses berpikir, tapi kita perlu tahu cara kerja nalar sehingga kita bisa memposisikannya sebagai hamba, dan bukan majikan, dalam proses berpikir kita. Jangan sampai penalaran yang semestinya menjadi hamba malah jadi pemegang otoritas menguasai benak sebagai pemegang otoritas dalam diri kita.
Bisakah anak-anak memegang kendali agar tidak tertipu oleh penalarannya sendiri? Mereka perlu latihan. Dengan terbiasa menimbang argumen dari sisi pro dan sisi kontra, dengan terbiasa berefleksi serta mengembalikan sesuatu pada prinsipnya, maka mereka pun akan semakin lihai menilai berharga tidaknya suatu ide, lalu memutuskan hendak menerima atau menolak ide itu.
Anak-anak yang bijaksana dalam berpikir dan bertindak, mulai dari soal sepele seperti perlu beli HP baru atau tidak, sampai ke soal-soal besar seperti memilih keyakinannya tentang Tuhan dan mengabdikan hidupnya untuk mengerjakan apa – bukankah itu harapan kita bersama?
no replies