Anak laki-laki saya berumur 28 bulan. Dia suka sekali memukul atau menendang, terkadang dilakukan secara reflek. Jika sudah demikian, saya sering menghukumnya dengan mendudukkan dia di pojok kamar dan setelahnya dinasihati. Jika sudah keterlaluan sekali, saya kadang-kadang memukul kaki atau tangannya. Namun, sampai saat ini, masih saja sama seperti itu. Mohon masukannya untuk mengatasi hal tersebut. (S di Jakarta)
Jawab:
Halo, Mbak S! Langsung saja saya tanggapi ya.
Anak suka sekali memukul atau menendang. Ini menunjukkan telah terbentuknya kebiasaan (habit). Perilaku apa pun memiliki titik awal, saat pertama kali dilakukan. Awalnya karena ada pemicu (cue atau trigger), lalu anak memutuskan untuk meresponsnya dengan pukulan atau tendangan. Jika dia merasa cara itu cukup memuaskan sebagai saluran ekspresi, lain kali dia akan mengulangi lagi.
Makin sering dilakukan, suatu tindakan meninggalkan jejak yang makin dalam di otak. Sinapsis antar neuron otak menebal. Lambat laun, perilaku menjadi refleks otomatis. Begitu pemicu muncul, langsung respons memukul dan menendang akan keluar.
Kebiasaan memukul dan menendang tidak akan terbentuk andai sejak pertama kali anak melakukannya, ada langkah efektif dari pengasuh untuk membuat anak sadar bahwa perilaku itu tidak diterima dan anak diberi cara lain untuk mengekspresikan diri, yang bukan menendang atau memukul.
***
Kalau anak sudah terlanjur punya kebiasaan memukul dan menendang, berarti PR orangtua adalah menggantikan kebiasaan lama itu dengan kebiasaan baru yang lebih baik. Anak harus dilatih untuk memberikan respons yang berbeda setiap kali pemicu muncul.
Dengan demikian langkah pertama yang harus orangtua lakukan adalah: kenali pemicu perilaku anak. Situasi macam apa yang membuat anak menendang dan memukul? Apakah ketika dia merasa diserang oleh kawannya (berebut mainan, misalnya)? Apakah ketika dia merasa keinginannya tidak dituruti? Apakah ketika dia merasa tidak suka pada sikap orang tertentu?
Kunci keberhasilan menjadi orangtua adalah daya pengamatan (observasi) yang peka dan teliti atas perilaku anak. Kalau perlu, siapkan jurnal khusus untuk mencatat perilaku anak sehari-hari secara detil. Dari catatan itu, kita bisa mengenali pola perilaku anak dan menemukan pemicu kebiasaan buruknya, termasuk menendang dan memukul.
***
Setelah mengenali pemicu, kita harus tahu kebiasaan baru apa yang mau kita latihkan untuk mengganti kebiasaan lamanya. Tidak cukup hanya menasihatinya: “Jangan memukul, Nak, itu sakit!”. Menceramahi, mendudukkan di pojok kamar, apalagi memukul tangan dan kakinya, tidak efektif membantu anak menghilangkan kebiasaan lamanya.
Mari lihat diagram ini:
Pemicu –> Respons memukul/menendang –> Anak merasa ekspresinya tersalur
Itu kebiasaan awalnya, yang kemudian berkembang menjadi:
Pemicu –> Respons memukul/menendang –> Anak merasa ekspresinya tersalur –> Ibu memarahi/menasihati/menghukum
Jelas sekali, bukan, bahwa memarahi atau menasihati atau menghukum tidak menghilangkan mata rantai respons memukul dan menendang? Kita hanya menambah panjang untaian kebiasaan lamanya. Anak makin lama akan merasa makin biasa dengan dimarahi, dinasihati, dan dihukum setelah memukul atau menendang. Tapi ia tidak akan meninggalkan kebiasaan memukul atau menendang itu, karena respons agresif itu tetap dibiarkan langgeng di tempatnya!
***
Kalau ingin anak berhenti dari perilaku agresif, kita harus intervensi di titik sebelum perilaku itu dilakukan. Anak harus diberi tahu cara lain yang bisa dia pakai untuk mengekspresikan diri selain memukul atau menendang, lalu dilatih sampai terbiasa menggunakan cara baru itu.
Kebiasaan baru apa yang mau kita latihkan? Mari rumuskan dengan jelas. Seandainya pemicu itu muncul, lalu anak menjadi jengkel karenanya – respons apa yang kita harap dia tunjukkan? Respons apa selain memukul dan menendang, tapi tetap bisa membuat anak tersalur emosinya? Katakanlah kita berharap, alih-alih memukul atau menendang, anak akan bicara baik-baik.
Jadi kita berharap mengubah kebiasaan lama:
Pemicu –> Respons memukul/menendang –> Anak merasa ekspresinya tersalur
Berubah menjadi kebiasaan baru:
Pemicu –> Respons bicara baik-baik –> Anak merasa ekspresinya tersalur
Jika itu yang kita mau, maka ayo segera siapkan rencana habit training konkretnya. Dengan cara apa kita akan membuat anak terbiasa bicara baik-baik sekalipun dia sedang jengkel dan marah?
***
Kita bisa memulai proses habit training dengan mengkomunikasikan ekspektasi kita. Beritahu kepada anak seperti apa adabnya mengekspresikan kejengkelan atau kemarahan. Sesuaikan cara penjelasan dengan daya tangkap anak. Untuk batita, beritahu dengan kalimat yang jelas dan sederhana: “Nak, kamu boleh marah, tapi harus tetap bicara baik-baik, tidak tendang, tidak pukul.”
Sampaikan pesan ini berulang-ulang dan usahakan anak menarasikannya. Kapan pun ada momen yang tepat, pakailah untuk membuatnya ingat. Kita bisa bertanya, “Kalau sedang kesal, kita harus apa?” Latih anak untuk menjawab dengan bersuara, “Bicara baik-baik, tidak pukul, tidak tendang.” Seperti mantra, biarkan kalimat pendek ini melekat dalam memorinya.
Yang terbaik kalau kita bisa menyampaikan pesan ini bukan pada saat anak sedang emosi, menendang dan memukul, tetapi sebelumnya, saat dia sedang gembira dan santai. Waktu seseorang emosional, otak rasional (neokorteks) sulit berfungsi, apalagi pada anak yang otak neokorteksnya belum matang. Karena itu, menasihati anak ketika dia sedang tantrum biasanya sia-sia.
***
Tantangan sebenarnya muncul saat anak tidak sedang gembira dan santai. Karena kebiasaan lamanya masih melekat, tidak usah kaget kalau anak masih menendang atau memukul saat terpicu. Ingat, tahan diri untuk tidak marah, membentak, menceramahi, atau menghukum. Fokus pada peran kita sebagai coach kebiasaan baik.
Begitu kedapatan anak memukul atau menendang lagi, langsung pegang tangannya atau kakinya agar tidak meneruskan. Lalu lakukan validasi emosi. Misal: anak menendang teman yang merebut mainannya. Maka kita bantu dia memahami yang dia sedang rasakan: “Mainanmu tadi direbut sama dia? Kamu merasa kesal?” Tunggu sampai anak memberikan respons, entah itu anggukan, atau kata “ya” atau dia berceloteh tentang kekesalannya. Terima emosinya itu, “Mama paham perasaanmu.”
Setelah itu, ingatkan kembali “mantra” yang sudah kita ajarkan. “Kalau sedang kesal, kita harus apa?” Dan bantu anak mengucapkan kembali, “Tidak pukul, tidak tendang, bicara baik-baik.”
Anak belum tentu sudah tahu “bicara baik-baik” itu caranya bagaimana. Maka, kita bisa berikan contoh kepadanya. Kita gandeng dia ke arah temannya, lalu kita minta anak menirukan ucapan kita: “Ini mainanku – aku tidak mau kasih pinjam kamu – jangan rebut.” Temani anak menyampaikan isi hatinya itu kepada temannya.
Di sisi lain, karena anak kita sudah memukul atau menendang, ia juga perlu minta maaf pada kawannya. Maka ajari juga dia cara meminta maaf pada kawannya. Beri dia contoh, “Maaf, aku sudah menendangmu.” Minta anak mengucapkannya kepada si kawan.
***
Dalam praktik tentu akan ada banyak variasi kalimat dan pendekatan yang harus kita lakukan agar habit training berhasil. Namun, di balik semua variasi itu prinsipnya sama saja: identifikasi apa persisnya kebiasaan baru yang mau kita latihkan sebagai pengganti kebiasaan yang lama, komunikasikan dengan jelas kepada anak, lalu kawal secara konsisten sampai kebiasaan baru itu terbentuk. Tidak perlu emosional, kalem tapi tegas. Kalau anak rewel, validasi emosinya, tapi jangan goyahkan aturannya.
Yakinlah bahwa anak itu sebetulnya mau melakukan yang baik, hanya ia belum tahu dan belum terbiasa saja. Ia butuh dilatih dengan sabar dan tekun sampai bisa. Di sini, penting bagi orangtua untuk mengawal tanpa kenal lelah. Jangan pernah sekali pun anak dibiarkan memukul atau menendang. Kalau sudah terlanjur memukul atau menendang, bantu anak melatih ulang responsnya dengan latihan bicara baik-baik dan minta maaf.
Hanya jika anak terus menerus memperkuat kebiasaan baru, dia akan melupakan kebiasaan lama. Jika kita konsisten mendampinginya, maka kebiasaan lama anak yang negatif akan hilang sama sekali, digantikan dengan kebiasaan baru yang positif.
no replies