Dua artikel disodorkan media sosial kepada saya secara berturutan. Yang pertama, testimoni jurnalis New York Times tentang Steve Jobs yang tidak mengizinkan anaknya menggunakan iPad sama sekali. Lalu esai berjudul Dumbed Down soal kegelisahan tentang dampak teknologi pada otak anak.
Pernyataan Steve Jobs memang mencengangkan. Waktu itu tahun 2010, kenang Nick Bilton. Hanya untuk basa-basi Nick bertanya pada Steve, “ Anak-anak Anda tentu suka sekali iPad ya?” Steve punya tiga anak dari perkawinannya dengan Laurene. Saat percakapan itu terjadi, si sulung Reed telah berusia 19 tahun. Si tengah Erin, 15 tahun. Dan si bungsu Eve, 12 tahun. Jobs menjawab, “Mereka belum memakainya. Kami sangat membatasi takaran teknologi yang anak-anak gunakan di rumah.”
Apa?! Anak-anak Jobs, si pencipta berbagai piranti canggih Apple, justru tidak diizinkan memakai produk-produk karya ayah mereka sendiri?!
Dan ternyata, bukan hanya dijauhkan dari iPhone dan iPad. Di rumah Jobs, segalanya serba low tech dan sederhana. Tidak banyak perabot, apalagi yang canggih atau mahal. Sehari-hari keluarganya menyantap menu vegan (bebas bahan hewani), pasta berlauk sayuran mentah atau kukus yang sebagian ditanam di kebun sendiri. Ketiga anak itu juga sama sekali tidak menonton televisi – kata Jobs, agar kreativitas mereka jangan terhambat. Akses internet juga sangat dibatasi.
Jobs menegaskan bahwa baginya interaksi tatap muka bersama seluruh keluarga jauh lebih penting ketimbang menghabiskan waktu sendiri-sendiri di depan layar. “Setiap malam, Steve memastikan seluruh anggota keluarganya berkumpul di meja makan di dapur rumah mereka, mengobrol soal buku-buku dan sejarah dan berbagai topik lain. Tak pernah ada yang mengeluarkan iPad atau komputer. Anak-anaknya sama sekali tak kelihatan kecanduan pada piranti apa pun,” tulis Nick.
Yang lebih menggelitik lagi dalam artikel Nick adalah ucapan direktur perusahaan pembuat drone 3D Robotics dan mantan editor majalah Wired. Chris Anderson yang, seperti Steve Jobs, juga ketat mengawasi pemakaian gadget anak-anaknya, beralasan: “Itu karena kami telah melihat bahayanya teknologi dari tangan pertama. Saya sudah merasakan dampaknya dalam diri saya sendiri. Saya tidak ingin anak-anak mengalami hal yang sama.”
Apa gerangan bahaya teknologi yang dilihat oleh “tangan pertama” macam Steve Jobs dan Chris Anderson ini? Sampai-sampai mereka ‘mengekang’ anak seekstrim itu? Sebagai orangtua, kita merasa sungguh penasaran.
Problem Digital Natives
Bill Gates, Steve Jobs, dkk. boleh dibilang telah merevolusi dunia. Terlebih setelah adanya teknologi layar sentuh, bahkan anak yang belum berumur 2 tahun pun sudah bisa betah berjam-jam, asyik mengotak-atik berbagai fitur. Telah lahir generasi baru yang sejak dini terpapar televisi, video games, tablet, dan smartphones. Merekalah digital natives.
Riset dari Kaiser Family Foundation mendapati anak-anak ini tersedot perhatiannya rata-rata 8,5 jam sehari untuk stimulasi sensorik digital dan video. Penulis buku Grown Up Digital Don Tapscott mengatakan, pada usia 20 tahun, rata-rata remaja telah menghabiskan waktu 20 ribu jam menyelusur internet. Dibombardir terus-menerus oleh bit demi bit informasi, dengan sendirinya otak mereka menyesuaikan diri. Jalur-jalur syaraf otak untuk mengelola informasi digital diperkuat, tetapi di sisi lain, sepertinya ada jalur-jalur syaraf otak lain yang dikorbankan, tak sempat berkembang, sebagai kompensasinya.
Barbara Arrowsmith Young merasakan adanya perbedaan kentara pada anak-anak masa kini. Sebagai pendidik yang telah menterapi sejumlah besar siswa yang mengalami kesulitan belajar sejak era 70-an, Young melihat bahwa banyak anak muda sekarang punya masalah dengan fungsi eksekutif, yakni kemampuan berpikir dan menggeluti problem sampai tuntas. “Defisit perhatian,” katanya. “Mereka bisa mengawali suatu tugas, tapi tidak bisa menjaga orientasi. Perhatian mereka terpecah, tapi tak bisa berkonsentrasi ulang pada tugas semula.” Tiga dekade lalu, fenomena ini langka sekali. Tetapi sekarang, “Sepertinya 50% siswa mengalami masalah ini,” sesal Young.
Selain fungsi eksekutif, menurut Young, anak-anak sekarang juga bermasalah dengan keterampilan berpikir non-verbal. Mereka kesulitan memahami ekspresi wajah dan gestur tubuh. Itu mengurangi kapasitas mereka untuk luwes bersikap dalam pergaulan sosial, termasuk menjalin persahabatan dan hubungan cinta. Kedua gejala ini mengindikasikan otak depan (prefrontal cortex) mereka kurang berkembang baik.
Usia yang Rentan
Dari abad ke abad, secara teknologis peradaban terus berubah. Piranti-piranti baru yang memudahkan hidup manusia ditemukan. Bedanya dari perkakas masa lampau, kata pakar otak Dr. Gary Small, piranti-piranti teknologi tingkat tinggi yang ada saat ini punya kemampuan untuk mempengaruhi otak secara amat cepat dan dramatis.
Dr. Small mengadakan eksperimen. Timnya mengamati konfigurasi otak pada dua kelompok: kelompok digital natives yang sudah mahir berkegiatan online, dan kelompok digital naives yang sama sekali belum pernah berkegiatan online. Saat awal di-scan, didapati bahwa dalam berkegiatan online, bagian dorsolateral otak kelompok pertama bekerja aktif, sementara dorsolateral kelompok kedua diam saja. Namun, hanya dengan lima jam latihan (satu jam sehari), bagian dorsolateral otak kelompok kedua yang semula pasif, telah menjadi sama aktifnya dengan kelompok pertama. Small sendiri terkagum-kagum. “Lima jam!” katanya. “Hanya lima jam berinternet dan otak sudah langsung terprogram ulang.”
Namun, tetap ada perbedaan. Baru mulai belajar internet usia 30-an membuat otak seseorang sudah lebih dahulu matang sebelum diprogram ulang. Kalau dibandingkan dengan anak-anak digital natives, dampak internet terhadap otak kelompok kedua ini lebih terbatas, sebab proses penyusunan otak mereka mendapatkan titik tolak yang berbeda.
Otak anak-anak usia remaja ke bawah jauh lebih mudah dibentuk, sekaligus jauh lebih rentan. Perbedaan konfigurasi otak dan kapasitas mental inilah yang melatarbelakangi kebijakan mengapa kita melarang anak “belum cukup umur” untuk ikut Pemilu, menyetir kendaraan bermotor, atau (kalau di Barat) minum vodka, walaupun mungkin badan mereka sudah sebesar orangtuanya.
Pada usia remaja, wilayah amygdala yang mengatur keterampilan berempati dan otak depan (frontal lobe) sebagai pusat keterampilan menalar secara kompleks belum berkembang sepenuhnya. Jadi, jangan heran jika para remaja cenderung egois, suka cari enaknya sendiri, suka yang instan, dan sulit memahami sudut pandang orang lain. Mereka harus belajar mematangkan itu seiring matangnya otak dan lewat kontak sosial yang bermakna.
Apa yang terjadi ketika pada usia rentan ini, anak-anak menggunakan terlalu banyak teknologi? Para peneliti otak punya dugaan, hal itu bisa mengganggu perkembangan frontal lobe dan akhirnya menghambat proses pendewasaan diri. Seolah-olah otak mereka dibekukan dalam modus remaja untuk seterusnya. Sebuah studi kontroversial tahun 2002 oleh Dr. Akio Mori dari Tokyo’s Nihon University mendapati: makin panjang waktu yang anak habiskan bermain video games, makin tertekan perkembangan area-area kunci frontal lobe yang mengatur pembelajaran, memori, emosi, dan kendali naluri.
Generasi Tercerdas atau Terdungu?
Memang belum ada simpulan pasti soal berapa takaran teknologi yang tepat untuk setiap tahap perkembangan anak. Benarkah teknologi begitu negatif sehingga harus disingkirkan dari rumah, seperti laku keluarga Steve Jobs? Atau mungkin pandangan Dick Costolo, chief executive Twitter, yang membiarkan anak-anaknya mengakses teknologi tanpa batas, lebih benar? Semua masih harus dibuktikan selama beberapa dekade ke depan.
Jika berdiri di sudut pandang optimis seperti Tapscott, bisa jadi semua perkembangan teknologi ini adalah “kesempatan raksasa”, ketika anak-anak kita bisa menjadi generasi tercerdas dalam sejarah umat manusia. Mereka punya kemampuan untuk bereaksi cepat pada stimuli visual, menyaring sejumlah besar informasi, lalu memutuskan secara kilat mana yang berguna, mana yang sampah. Beberapa riset membuktikan bahwa pelatihan video game bisa meningkatkan daya penglihatan periferal dan kecepatan bereaksi serta kemampuan kognitif. Secara umum, IQ anak-anak sekarang pun terus meningkat dibandingkan generasi terdahulu.
Dari sudut pandang sebaliknya, setelah mengkompilasi hasil sejumlah riset, profesor Sastra Inggris Mark Bauerlein justru yakin bahwa anak-anak zaman sekarang malah menjadi “generasi terdungu”, sekalipun di hadapan mereka tersedia materi informasi berlimpah-limpah. Dibandingkan generasi masa lampau, “mereka tidak paham sejarah, ketatanegaraan, ekonomi, sains, sastra, dan pengetahuan umum … jarang membaca atas kemauan sendiri, baik buku maupun koran” dan keterampilan menulis mereka sangat buruk.
Pakar plastisitas otak Dr. Michel Merzenich memandang problem ini sebagai soal konsekuensi dari prioritas penggunaan waktu. Ketika anak-anak banyak menghabiskan hari-harinya berkegiatan online, pertanyaannya adalah: kegiatan apa yang lalu mereka tidak kerjakan? Barangkali mereka jadi tidak membaca (memasifkan hipokampus, bagian otak yang mengatur proses belajar dan mengingat)? Barangkali mereka jadi jarang bergaul tatap muka (memasifkan amygdala yang mengatur empati)? Barangkali mereka mengabaikan kegiatan yang mengasah keterampilan kognitif lainnya? Semua pilihan ada harganya.
Memang sekarang informasi tersedia dengan mudah, murah, dan lestari. Asal kita tahu apa yang kita butuhkan, kita bisa mencarinya di dunia maya. Tetapi agar kapasitasnya betul-betul berkembang, otak perlu ditantang, kata Merzenich. “Hanya ketika kita menghadapi sendiri detil informasi dan sungguh-sungguh bergulat menggarapnya, otak kita belajar tentang hal itu.”
Kemudahan teknologi akan kontraproduktif ketika kita justru terkondisi untuk menjadi malas secara intelektual. Riset dari Nielsen Norman Group mendapati, hanya 16% populasi yang membaca sungguh-sungguh teks online. Kebanyakan hanya membaca sekilas, berpindah-pindah dengan cepat dari satu laman ke laman yang lain, “proses belajar copy-paste”. Dan sebagian besar cenderung bersikap tidak kritis, menerima begitu saja informasi yang sudah dicernakan oleh orang lain.
Modus perhatian anak muda sekarang cenderung menyebar dan parsial, karena terbiasa membuka banyak aplikasi sekaligus di komputer, dengan ponsel yang selalu berdenting (notifikasi BBM, WA, Line, FB, dan sebagainya). Akibatnya, kebanyakan mereka tidak tahan menghadapi proses belajar ‘lambat’ dan berfokus tunggal, seperti menghafalkan puisi atau membaca buku yang tebal, apalagi membandingkan secara tuntas satu buku dengan buku lain lalu menulis esai. Jadilah mereka “generasi fobia buku” (istilah Bauerstein) sekalipun mereka adalah anak-anak yang sangat cerdas.
Selain sering diserang kebosanan, “mereka tak lagi punya waktu untuk berefleksi, kontemplasi, atau sadar penuh dalam membuat keputusan. Benak mereka selalu waspada, sewaktu-waktu ada kabar baru yang menarik,” kata Dr. Small. Dalam takaran tertentu, situasi selalu siaga dan kebanjiran informasi ini akan membuat otak mengalami stres. Sebab, otak memang tidak dirancang untuk terus-menerus tegang. Kalau sudah kelelahan, benak kita akan “berkabut”, kemampuan berpikir menurun, gejala depresi muncul.
Sungguh disayangkan, renung Merzenich, jika teknologi yang sedianya diciptakan untuk membuat manusia semakin pandai, malah kontraproduktif, membuat kita semakin dungu.
Better Late than Early?
Sementara mencerna dua artikel di atas, saya tiba-tiba teringat pada satu judul buku Raymond Moore yang diterbitkan tahun 1975. Better late than early. Dalam buku itu, Moore berargumen bahwa orangtua sebaiknya tidak terburu-buru memasukkan anak ke dalam institusi pendidikan. Menurutnya, otak anak belum siap menerima pelajaran terstruktur dan model pembelajaran di kelas pada usia di bawah 8 tahun. Yang terbaik bagi anak usia dini adalah hidup wajar di rumah, berelasi intim dengan orangtua, dan banyak bermain di luar ruangan.
Di kalangan homeschoolers, slogan “Better Late than Early!” ini cukup merasuk. Umumnya, orangtua yang sudah mantap menjalani jalur pendidikan informal bersikap santai soal kegiatan akademis terstruktur. Anak sudah umur 7 tahun belum bisa membaca? Tidak apa-apa. Nanti kalau otaknya sudah siap ‘kan dia bisa juga. Sebagian orangtua penganut unschooling malah lebih ‘ekstrim’ lagi, sama sekali tidak mau menyiapkan kurikulum akademis buat anak-anak mereka, bahkan menahan diri dari godaan mengajarkan sesuatu yang tidak diminta oleh anak-anak itu.
Itu soal pelajaran akademis, calistung khususnya. Bagaimana tentang teknologi? Tentang isyu satu ini, masih banyak kontroversi di antara para homeschooler. Jika mengikuti minat anak sebagai pemandu utama proses belajar, orangtua akan memberikan peluang lebar-lebar agar anak sejak dini menggeluti piranti elektronik berteknologi tinggi, kalau memang si anak suka. Menghabiskan berjam-jam sehari di depan layar pun tak apa. Bukankah itu juga proses belajar? Di sisi lain, ada keluarga homeschooler yang sangat ketat membatasi jam yang anak habiskan bersama televisi, komputer, dan gadgets lain.
Sebagai praktisi metode Charlotte Mason, terus terang saya dan keluarga cenderung masuk ke kategori kedua. Rumah kami bebas dari tayangan televisi. Akses ke tablet dan smartphones sangat dibatasi, begitu pula video games. Semua kebijakan ‘ketat’ ini adalah pilihan saya dan suami setelah membahas tulisan-tulisan Charlotte Mason, kemudian buku Endangered Minds karya Jane Healy, rekomendasi asosiasi dokter anak mancanegara soal dampak televisi dan gadgets.
Membaca kisah Steve Jobs dan esai Lianne George memantik suatu opini di benak saya:
Sama seperti Moore menganggap anak tidak perlu buru-buru disekolahkan, sebetulnya, anak juga tidak perlu buru-buru diperkenalkan pada piranti teknologi tinggi.
Sama seperti Moore yang setelah mengkaji berbagai riset psikologi, fisiologi, dan neurologi lalu berkata, “Tunggulah sampai otak mereka siap untuk calistung dan mandiri secara emosional, daripada nanti malah tumbuh kembang mereka terganggu”; dalam hal teknologi ini, saya mendukung Steve Jobs. Saat anak-anak berusia remaja ke bawah, prioritaskan interaksi tatap muka yang intim dalam keluarga, habit training, berkegiatan sebanyak-banyaknya di luar ruangan dan alam terbuka, baca buku-buku yang bagus.
Televisi, video games, internet, tablet, smartphone? Better late than early.
no replies