Para guru di kelas menghadapi “wabah” learning disability! Sejak 1970-an, terdeteksi makin banyak anak yang kesulitan duduk tenang, fokus memperhatikan, dan berkonsentrasi menyelesaikan tugas. Di Amerika bahkan lebih dari 50% dari populasi siswa didiagnosis LD.
Menyusul label LD, muncul juga sub-kategorinya, yaitu attention deficit disorder (ADD) dan attention deficit with hyperactivity disorder (ADHD). Label ADD disematkan pada anak yang punya kesulitan memusatkan perhatian dan mempertahankan konsentrasi, ditandai sukarnya si anak menyimak dan mengingat kata-kata gurunya di sekolah. Sementara, label ADHD disematkan ketika bukan hanya benak, tapi juga tubuh anak selalu bergerak, tak bisa diam.
Yang mengherankan adalah otak kebanyakan anak-anak yang dilabeli LD ini sebetulnya baik-baik saja, tidak pernah mengalami kerusakan sebelum atau sesudah dilahirkan. Mereka cukup cerdas, malah ada yang sangat cerdas. Mereka sehat jasmani. Dalam pergaulan sehari-hari pun, mereka tidak menunjukkan gangguan kejiwaan atau emosional. Jadi, mengapa kemudian mereka mengalami gangguan belajar? Berikut beberapa kemungkinan penyebabnya dari sudut pandang neurosains.
Kultur Akademis Tidak Bersahabat
Pertama, cara kerja otak anak-anak ini kemungkinan tidak cocok dengan kultur akademis di sekolah. Seperti kita tahu, tiap anak punya gaya berpikir dan belajar yang unik, akibat faktor genetis dan lingkungannya. Proses akademis di sekolah yang didominasi kegiatan verbal-matematis tentu menyulitkan anak-anak yang pembawaannya lebih didominasi otak kanan.
Coba kalau sekali-sekali dibalik, proses belajar di sekolah dibuat banyak menggambar dan mendesain alih-alih membaca dan menulis, bisa jadi anak-anak yang sekarang ini dianggap cerdas di sekolah akan gantian dicap penyandang gangguan belajar, sedangkan anak-anak yang sekarang ini dicap LD dianggap cerdas!
Fakta lainnya, gangguan belajar itu seringkali hanya terjadi di lingkup kelas, sementara di luar sekolah para siswa LD ini bisa berfungsi secara normal. Mereka bisa dengan cepat mempelajari bidang-bidang yang menarik minat mereka. Mereka bisa berkonsentrasi pada hal-hal yang mereka anggap penting.
Oleh karena itu, daripada sekadar menyetempel anak ini atau itu sebagai LD, ADD, atau ADHD, mengapa para pendidik tidak lebih dulu introspeksi? Seandainya saja kurikulum atau metode pengajaran atau ritme/laju pelajaran diubah dengan lebih memperhatikan kebutuhan individual siswa, bisa jadi gangguan belajar itu tak akan muncul.
Kapasitas Tak Terasah
Kedua, otak anak-anak ini sebenarnya mampu, tapi tidak terlatih untuk memperhatikan. Kemampuan memperhatikan erat kaitannya dengan kapasitas pengolahan auditoris di belahan otak kiri anak. Anak yang terampil secara auditoris bisa menganalisis, memahami, dan mengingat stimulasi suara yang datang, sebelum stimulasi itu lenyap dari benaknya. Sebaliknya, anak yang lemah auditoris, mungkin mendengar suara yang sama, tapi tidak bisa cukup cepat mengolahnya.
Ketika guru menyampaikan sesuatu, anak yang belum terampil secara auditoris akan gagal memahami maksud kata-kata itu, bingung harus menulis atau melakukan apa. Akibatnya dia jadi malas memperhatikan. Makin panjang ceramah atau diskusinya, makin sedikit yang berhasil dia tangkap.
Kurangnya latihan memperhatikan bisa saja berawal dari rumah. Orangtua berkata, “Nak, tolong pergi ke gudang, ambilkan ember besar warna biru di pojok, bawakan ke kamar mandi.” Anak menyahut, “Ha?” Lalu orangtua mengulangi lagi instruksi itu, mungkin beberapa kali supaya anak mengerti. Anak jadi merasa tidak perlu repot-repot fokus pada ucapan ayah atau ibu karena toh instruksi itu akan selalu diulangi setiap kali dia menunjukkan tampang bingung.
Begitu juga di sekolah. Saat guru memberikan petunjuk, anak mengamati gestur guru untuk menduga-duga petunjuk apa yang barusan diberi, atau minta petunjuk itu diulangi, atau melihat ke kiri dan ke kanan, meniru yang dikerjakan teman-teman sekelasnya. Kalau ada penjelasan yang terlewat, dia pinjam catatan teman. Ketinggalan mencatat PR? Telpon saja teman sekelas, atau datang pagi-pagi untuk mencontek pekerjaan siswa lain. Maka makin kuatlah alasannya untuk tidak memperhatikan.
Seperti saran Charlotte Mason, habit of attention anak harus dilatih sejak dini. Anak harus dikondisikan untuk terbiasa mengerahkan daya perhatian sefokus mungkin terhadap ucapan atau bacaan sejak kali pertama, karena “tidak ada siaran ulang”. Dalam proses akademis, hal itu diterapkan lewat teknik narasi dengan prinsip sekali dengar/baca.
Pentingnya Stimulasi Lingkungan
Terlalu banyak menonton TV, terutama di usia dini ketika koneksi-koneksi syaraf otak sedang terbentuk, juga berisiko mengurangi daya perhatian anak. Nantinya saat mendengar atau membaca kisah-kisah yang panjang, soal cerita matematika, buku sejarah, dsb., mereka tak bisa mempertahankan bunyi kata-kata itu cukup lama dalam benak mereka, dan akhirnya mereka tak paham maknanya. Otak mereka tidak terlatih untuk mencerna dan mengolah uraian verbal yang tidak disertai gambar-gambar!
Memang benar, ada sebagian anak yang konfigurasi otaknya memang membuat dia lebih sulit mencerna kata-kata. Kita biasa menamai sindrom ini sebagai disleksia. Anak yang disleksik biasanya kesulitan di pelajaran membaca atau mengeja atau keahlian otak kiri lainnya, tetapi bertalenta besar di wilayah otak kanan – seperti seni visual, musik, penalaran matematis, atau keterampilan mekanis.
Akan tetapi, jangan lupa bahwa tumbuh kembang otak sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Walaupun secara genetik, otak seorang anak punya potensi tertentu, tapi kalau lingkungannya tidak memberi kesempatan, bakat itu tak akan muncul. Demikian pula sebaliknya. Sekalipun secara genetik, anak itu punya kekurangan tertentu, tapi kalau lingkungannya memberi stimulasi positif, kekurangan itu bisa jadi tidak muncul atau hanya muncul samar-samar saja.
Riset menunjukkan, anak-anak disleksia pun bisa mahir baca-tulis-eja ketika dibesarkan dalam keluarga yang menyediakan pengalaman berbahasa yang kaya. Sebaliknya, anak-anak berotak normal bisa kesulitan baca-tulis-eja ketika dibesarkan dalam lingkungan yang miskin stimulasi bahasanya – jarang mengajak bercakap-cakap, jarang membacakan buku, lebih banyak diasuh oleh TV dan gadgets, dsb. (bersambung)
Ini adalah ringkasan bab ketujuh Endangered Minds karya klasik psikolog pendidikan Jane Healy yang oleh Ambleside Online disebut sebagai “buku yang wajib dibaca oleh setiap orangtua!”.
no replies