Kemarin seorang teman homeschooler curhat tentang insiden emosional antara suaminya dan anak mereka. Dimulai dari si anak loncat-loncat dalam mobil, pegang ini-itu, sampai akhirnya tiba-tiba memindah persneling ketika mobil tengah berjalan. Sang suami kontan marah-marah kepada anak.
Sementara semua drama ini berlangsung, teman saya berusaha tetap diam, karena sudah ada kesepakatan bahwa kalau satu pihak sedang berkonflik atau mendisiplin anak, pihak lain tidak boleh ikut campur – berlaku baik bagi pihak ayah maupun ibu.
Alkisah setelah peristiwa tak menyenangkan itu berlalu dan ayah-ibu bisa ngobrol berdua, teman saya pun angkat bicara bahwa cara sang suami tadi memarahi anak “sepertinya bukan cara yang benar”. Sang suami ternyata setuju. “Ayah juga tahu kalau itu nggak bener, Bun, tapi harus bagaimana?”
Saya yakin semua orangtua bisa bersimpati dengan si Ayah. Kecuali ada di antara kita yang sama sekali tidak pernah merasakan adanya pertentangan kehendak antara ego kita dengan ego anak – adakah? Emosi yang meluap sampai pikiran terasa buntu, rasanya anak tidak paham kita dan kita tidak paham anak, sering berujung pada praktik teknik-teknik disiplin terburuk. Kita menyesal, tapi nasi sudah terlanjur menjadi bubur.
Bagian dari curhat itu yang paling mengesankan buat saya, terngiang-ngiang sampai pagi ini dan menjadi bahan refleksi saya, adalah ucapan: “Ayah juga tahu kalau itu nggak bener …”
Mengapa? Mengapa kita seringkali melakukan yang kita tahu tidak benar? Atau dalam kondisi lain barangkali: mengapa kita begitu ogahnya sehingga akhirnya tidak mau melakukan yang kita tahu benar?
Tampaknya problem utama yang kita hadapi bukan soal mengendalikan anak-anak, bukan soal mengendalikan orang lain, atau apa pun yang ada di luar diri kita. Problem terbesar kita adalah ketidakmampuan mengendalikan diri sendiri. Dan jika orangtua saja belum mampu mengendalikan diri sendiri, bagaimana kita bisa berharap anak – pendatang baru dalam hiruk pikuk dunia ini – bisa mengendalikan dirinya?
Lantas, apa yang harus kita lakukan agar diri ini bisa lebih kalem dan bijak ketika menghadapi anak yang ‘bikin emosi’?
Pertama-tama, saya pikir, perspektif kita terhadap situasi itu perlu digeser. Tuhan menitipi kita anak-anak memang bukan supaya kita bersantai-santai, tapi untuk berlatih keras. They are our life coach! Mereka hadir agar kita bisa mengenali kemalasan, kesombongan, kebodohan, keegoisan – semua kelemahan jasmani, mental, spiritual kita. Dan mereka akan terus menghadirkan latihan-latihan sampai kita bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dan makin baik lagi. Tidak ada reward yang lebih memuaskan daripada keberhasilan dalam mengasuh anak. Tidak ada punishment yang lebih memilukan daripada kegagalan membesarkan mereka.
Langka sekali ada kesempatan lain yang mampu lebih menggugah kita untuk menjalani proses keras transformasi diri secara menyeluruh seperti memiliki anak. Lingkungan kerja mungkin bisa mendidik kita agar lebih disiplin dan produktif, tapi tidak benar-benar menyentuh akar batin kita. Motivasi di balik disiplin dan produktivitas itu biasanya tetaplah bersifat egois. Pergaulan dengan teman-teman di komunitas mungkin bisa menggugah kita agar lebih suka peduli dan berbagi, tapi apakah cukup memotivasi kita untuk latihan sabar dan melayani dari bangun tidur sampai pergi tidur lagi? Bersama rekan-rekan dewasa kita memakai topeng ramah, rajin, sopan, dan sebagainya – tapi di ruang privat kita tetaplah si pemalas yang hobinya ngemil junk food sambil nonton TV atau si ambisius gila kerja yang tak pernah mau jadi nomor dua.
Hanya sedikit orang yang berhasil mengalami perubahan transformatif total tanpa melewati jalan pengasuhan anak. Ada yang menerima panggilan Tuhan lalu mengabdikan diri sepenuh hati di jalan-Nya. Ada yang terilhami oleh suatu ide besar, sehingga rela berjuang sampai mati, entah bagi orang miskin atau bagi bangsa dan negara. Mereka orang-orang besar. Dan kalau kita cermati biografi mereka, tak ada satu pun dari orang besar ini yang jalannya mudah, bukan?
Setelah saya renung-renungkan, terbersit pemikiran bahwa dengan menitipkan anak, Tuhan sedang memberi kesempatan kepada kita – orang-orang biasa yang sangat biasa ini – menjadi orang besar. Jika rencana-Nya berhasil, maka bukan saja akan muncul generasi baru yang sehat-cerdas-berakhlak mulia, tapi juga kita sebagai generasi lama berubah, diluhurkan. Yang pemarah jadi penyabar. Yang pemalas jadi rajin. Yang jorok jadi bersih. Yang penakut jadi pemberani. Yang egois jadi penuh kasih sayang. Yang semula tak bisa mengendalikan diri jadi sepenuhnya tuan atas dirinya sendiri. Seperti bunyi judul buku mbak Aan Wulandari dkk., “Anakku, Tiket Surgaku”.
Dengan sudut pandang ini, alih-alih menyerapahi, kita bersyukur atas setiap godaan, tantangan, dan segala macam konflik emosional yang muncul antara kita dan anak-anak. “OK, Nak, Ayah akan garap latihan ini!” “Trims, Nak, sudah menyadarkan bahwa Ibu perlu belajar lebih keras soal itu!”
Kita bisa memakai resep Charlotte Mason untuk meng-habit training diri kita sendiri. Tiga pilarnya adalah: atmosfir, disiplin, dan ide yang hidup.
Atmosfir. Kita perlu bergaul erat dengan orang-orang atau komunitas yang meneladankan sifat-sifat luhur yang kita harapkan menjadi watak kita. Jauhilah kumpulan atau teman yang menyeret kita dalam kebiasaan-kebiasaan lama yang buruk.
Disiplin. Kemunculan emosi negatif ada kaitannya dengan ritme dan kondisi tubuh. Perbaiki tubuhmu, maka pikiranmu pun ikut jernih. Cobalah berpantang makanan atau minuman kesukaan kita yang kita tahu tidak sehat. Ubah pola diet agar lebih banyak konsumsi sayur dan buah segar. Minum lebih banyak air putih. Olah napas (seperti meditasi atau yoga) dan olah ragalah secara teratur. Banyak-banyaklah berkegiatan di alam terbuka yang masih asri. Istirahat yang cukup. Dari pengalaman pribadi, semua disiplin jasmaniah ini membantu saya mengelola pikiran dan batin.
Ide yang hidup. Benak kita butuh diberi makan gagasan-gagasan berharga agar tak kehabisan energi berbuat baik. Sisihkan waktu rutin untuk membaca dan merenungkan buku-buku yang menginspirasi kita tetap maju dan bertumbuh. Mendiskusikan praktik pengasuhan ideal dengan pasangan atau support group juga akan sangat bermanfaat.
Sama sekali bukan proses yang mudah. Tak seorang pun bisa bertransformasi dalam semalam. Mari tapaki jalan pendewasaan ini setahap demi setahap. One day, one step, at a time.
no replies