“Taburkan pikiran, tuailah tindakan; taburkan tindakan, tuailah kebiasaan; taburkan kebiasaan, tuailah karakter; taburkan karakter, tuailah nasib.” (Parents and Children, hlm. 29).
Sejauh mana efektivitas lembaga di luar orangtua dapat mendidik anak-anak? Itulah salah satu pemikiran yang dulu menjadi titik awal saya mempertimbangkan homeschooling untuk anak-anak saya. Hafalan yang menumpuk, nilai yang dikejar, rutinitas yang dijalani tanpa hati, akankah mampu membentuk sesosok pribadi yang mumpuni?
Akan tetapi, mendidik anak sendiri juga bukan perkara mudah. Buku demi buku saya baca guna mengetahui teknik mendidik anak, namun semakin menyelam justru saya semakin pusing memikirkan sejauh apakah metode-metode tersebut efektif untuk membuat anak-anak tumbuh dengan bermakna? Membuat anak-anak belajar akademis mungkin masih mudah, tetapi apakah sekedar itu tujuan saya meng-homeschooling-kan anak-anak saya? Lebih dari itu tentunya.
Yang saya inginkan adalah: bagaimana membuat benak anak terlatih untuk berpikir secara logis, nuraninya terbentuk dengan luhur, serta perilakunya berbudi. Ya, pendidikan karakter, istilahnya. Dalam belantara kehidupan dengan aneka ragam hitam putihnya, tentu hanya sosok berkarakter kuatlah yang akan mampu menjalaninya dengan jitu.
Lantas bagaimana mendidik karakter itu? Apa yang harus saya lakukan sebagai orangtua untuk membentuk karakter anak-anak saya? Karakter itu bak lukisan abstrak, dan saya selaku pelukis awam merasa bingung tentang bagaimana memulai melukisnya, hingga saya membaca kutipan sederhana dari Charlotte Mason di atas tadi:
Sow a thought, reap an action
Sow an action, reap a habit
Sow a habit, reap a character
Sow a character, reap a destiny
Sederhana ya? Mengapa tak pernah terpikir sebelumnya ya? Kita mulai dari ide, lalu ide akan menggerakkan aksi. Aksi yang berulang menimbulkan kebiasaan, dan kebiasan-kebiasaan itulah yang akan membentuk karakter. Dengan karakter yang baik, nasib baik jugalah yang kemungkinan besar akan menimpa diri anak.
Tapiiii … proses menyemai aksi-aksi ini, benarkah semudah itu? Oh, pasti tidak. Kata pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Proses habit training sungguh membutuhkan usaha besar, apalagi jika kita sebagai orangtua tidak memiliki kebiasaan yang serupa. Jadi, proses ini bukan hanya untuk anak, tapi juga untuk kita sebagai orangtua.
***
Kalimat Ibu Mason di bawah ini juga salah satu yang pernah menampar saya sebagai orangtua:
Sepertinya tak terlalu berlebihan jika dibilang bahwa 99 dari 100 hidup anak yang mati sia-sia diakibatkan oleh orangtua yang tak mau bersusah payah untuk memerdekakan mereka dari kemalasan, dari hawa nafsu indrawi, dari kengototan semau sendiri; [orangtua yang] tak mau bersusah payah mengokohkan kebiasaan-kebiasaan hidup yang baik dalam diri [anak] … (Home Education, hlm. 331)
Yup, we have to feel the pain. Usaha untuk membentuk karakter anak memang tidak bisa setengah-setengah, mesti dilakukan dengan hati dan tekad yang kuat, serta tidak mudah tergoda dengan kesenangan-kesenangan sesaat dalam kondisi apapun. Nah loh, susah kan? Tapi, ayo semangat! Kata Ibu Mason, proses pembentukan karakter bak membangun jalur kereta api. Jika kelak jalur ini sudah terbentuk, maka anak anak kita akan melintasinya dengan mudah.
Kebiasaan yang perlu ditanamkan bukan hanya satu, melainkan banyak. Dalam daftarnya Ibu Mason mencatat setidaknya lebih dari 50 kebiasaan, mulai dari kebiasaan mental, moral, kesusilaan, akademik, spiritual maupun kebiasaan-kebiasaan fisik. Membayangkan harus memiliki semuanya sekaligus tentu akan melelahkan, terkesan perfeksionis. Tapi perjalanan seribu langkah selalu dimulai dari satu langkah kecil. Ibu Mason menganjurkan agar kita menjalankannya, satu per satu!
***
Beberapa bulan terakhir ini, saya dan kedua anak saya tengah melatih kebiasaan kami untuk bersyukur. Setiap malam sebelum tidur, kami menyempatkan diri mengucapkan syukur untuk hal-hal yang kami alami dan miliki. Biasanya kegiatan ini kami lakukan setelah membacakan cerita untuk si adik dan narasi kitab suci si kakak. Jadi, proses bersyukur mereka dilandasi oleh efek cerita dan kata-kata bermakna. Terkadang saya menambahkan dengan bercerita atau menunjukkan gambar orang-orang lain yang barangkali hidupnya tidak seberuntung kami: yang tubuhnya tidak lengkap, yang tidak punya keluarga atau rumah, yang kelaparan. Kalau mereka saja masih bisa bersyukur, apalagi kami.
Ucapan syukur anak-anak terkadang lucu-lucu. “Aku bersyukur hari ini Mama pulang cepat!” atau “Aku bersyukur hari ini aku ingat untuk beresin tempat tidur!” atau “Aku bersyukur bisa peluk kakak!”, dan sebagainya. Memang saya tidak pernah menargetkan apa-apa saja yang harus mereka syukuri. Menurut saya, hal sekecil apapun bisa kita syukuri. Jadi, saya biarkan saja mereka mengekspresikan rasa syukur mereka. Kadang malah si kakak dan si adik berebut untuk mengucapkan syukur duluan, sehingga saya harus meminta mereka untuk bergantian dan memperhatikan ucapan syukur saudaranya.
Proses ini sudah kami lalui selama kurang lebih 3 bulan. Saat mereka mulai terbiasa, saya mulai coba masuk lebih dalam ke habit training yang sesungguhnya. Bersyukur sesungguhnya adalah sebuah sikap hidup, bukan sesuatu yang hanya diucapkan oleh lisan. Latihan mengucapkan syukur hanya proses untuk memberikan ide pada mereka untuk melihat hidup kami dengan positif. “Taburkan kebiasaan, tuailah karakter.” Tapi kita harus mundur selangkah lebih jauh, kita harus taburkan dulu gagasan atau pemikiran mengapa tindakan itu berharga. (A Philosophy of Education, hlm. 102)
Latihan yang saya terapkan pertama adalah mensyukuri benda-benda yang kami miliki dengan merawatnya dan selalu mengembalikannya pada tempatnya. Saya katakan pada anak-anak: “Kalau kita tidak merawatnya, selalu menghilangkannya, apalah arti ucapan syukur kita selama ini?” Mereka sepakat, karena toh selama ini mereka sering kesulitan jika membutuhkan barang tapi sulit dicari.
Problemnya, saat ini saya tidak selalu bekerja dari rumah. Setiap hari saya justru bekerja di luar rumah dan meninggalkan mereka selama beberapa jam. Saya tidak bisa memperhatikan tingkah laku mereka selama 24 jam lagi seperti sebelumnya. Sementara dalam proses habit training, harus ada sistem yang berjalan agar mereka tetap berada dalam koridor kebiasaan tersebut.
Akhirnya saya menyiapkan satu hari khusus untuk membongkar keseluruhan barang, buku, mainan, craft, serta segala macam perlengkapan mereka. Kami menata ulang semuanya dengan memberikan tempat bagi setiap hal. Saya meminta mereka untuk selalu mengembalikan segala sesuatu ke rumahnya, kemudian setiap pagi, hal yang pertama kali kami lakukan adalah mengecek kembali keberadaan barang-barang tersebut. Kalau ada yang tidak ada pada tempatnya, mumpung mereka masih ingat di mana letaknya, biasanya mereka akan mengambilnya dan mengembalikan ke tempatnya.
“Derita” yang harus kami alami di sini adalah, setiap bangun pagi kami tidak langsung melakukan hal yang kami inginkan tetapi harus melakukan rutinitas ini dulu. Kadang dalam keadaan masih mengantuk, anak anak mengikuti saya untuk merapikan kembali barang-barang yang tercecer. Namun perlahan mereka menyadari bahwa aktivitas pagi kami itu akan lebih cepat selesai seandainya mereka selalu mengembalikan barang pada tempatnya langsung setelah menggunakannya.
***
Menjalani proses habit training macam ini bagi saya sungguh tidak mudah. Banyak sekali godaan untuk tidak melakukannya. Lelah, terburu-buru, ada kegiatan lain. Memang butuh konsistensi untuk bisa membuat aksi menjadi kebiasaan. Dan konsistensi juga merupakan sikap yang harus senantiasa kita (anak dan orangtua) latih. Hanya dengan konsistensi, kebiasaan akan terbentuk, sehingga kelak dari kebiasaan-kebiasaan itu akan kita tuai sesosok pribadi penuh makna yang mampu menjadi berkat bagi dunia.
no replies