Sebagai orangtua, kita semua tahu bahwa makan sayur dan buah-buahan baik untuk tubuh anak-anak kita. Namun kenyataannya, membujuk anak makan sayur memang tak semudah menawarinya permen dan coklat, yang hampir semua anak akan merengek meminta.
Siapa sih yang bisa menolak legitnya coklat dengan taburan kacang almond? Di lidah terasa lebih sedap jika dibandingkan sayuran yang cenderung hambar. Namun, ada pula anak anak yang lebih memilih sayuran, bukan sekadar karena tahu manfaatnya, tapi karena memang lidahnya sudah jatuh cinta pada rasa sayur-sayuran itu.
Pun begitu pengalaman saya dalam mengenalkan anak anak pada mahakarya. Mahakarya itu ibarat sayur dan buah bagi benak mereka. Awalnya terasa hambar, tidak sebombastis buku-buku di pasaran yang warna-warni dengan cerita yang sangat mudah ditangkap maksudnya. Tapi saat benak mereka mulai terbiasa, cinta itu tumbuh. Kalau kata pepatah Jawa, witing tresno jalaran saka kulina.
Mahakarya Utama
Mahakarya pertama yang paling utama dan saya coba kenalkan pada anak-anak saya adalah Mahakarya dari Sang Maha Besar: alam! The sense of beauty comes from early contact with nature. Kesadaran akan keindahan datang dari relasi dengan alam sejak usia dini, kata Charlotte Mason.
Mengajak anak berinteraksi dengan alam berarti mengajak mereka mengenal alam itu sendiri, bukan sekedar beraktivitas di luar ruangan dengan berbagai permainan buatan manusia yang disediakan di playground.
Lantas mau ngapain di ruang terbuka kalau tidak ada permainannya? Berjalan-jalan ke ladang yang dipenuhi semak belukar dan pohon-pohon besar, misalnya. Apa yang bisa dinikmati dari tempat semacam itu, apalagi jika mata dan telinga anak (juga kita sebagai orangtua) terbiasa dimanjakan oleh tontonan audio visual yang penuh cahaya dan membenamkan jiwa.
“Mama, ini tempatnya kotor!” “Mama, bosan! Nggak seru!” Begitu umumnya ocehan anak-anak saat awal diajak nature walk ke tempat-tempat yang masih sangat alami. Kalau sudah begitu biasanya saya hanya tersenyum dan menyibukkan diri mencari sesuatu yang menarik mata saya.
Hampir semua detail yang ada di alam sebenarnya sangat menarik untuk diamati. Nah, saat menemukan sesuatu itu biasanya kemudian saya mengajak anak-anak mengamatinya.
Memang kalau menurut Charlotte Mason, sebaiknya saat kita berada di alam kita membiarkan anak-anak kita berinteraksi langsung dengan Ibu Bumi, dan sesedikit mungkin berbicara ataupun menjadi penengah antara keduanya. Prosesnya akan mudah pada anak-anak yang sedari dini sudah akrab dengan alam.
Anak bungsu saya, misalnya, sedari masih belajar merangkak sudah saya lepas di alam terbuka, sehingga saat ia bertemu lagi dengan alam, saya tak perlu repot membujuknya untuk bersenang senang di alam terbuka. Secara alamiah ia menemukan kesenangannya sendiri tanpa perlu saya ajari bagaimana.
Tapi bagi anak-anak yang belum terbiasa berinteraksi dengan alam, pendampingan tentu penting. Anak-anak yang terbiasa tumbuh dalam lingkungan perkotaan. sehari-hari hanya melihat hutan besi, tembok, atap serta polusi, agar bisa menikmati alam, mereka butuh bimbingan dari kita.
Namun bagaimana mungkin kita bisa mengajak mereka menikmati alam, jika kita sebagai orangtua tidak mencintai alam itu sendiri? Education is an atmosphere. Saat alam sudah menjadi bagian dari cinta kita, cinta itu pasti lama lama akan menular pada anak anak kita.
Antusiasme kita saat menikmati alam, perasaan kita saat berada di alam terbuka, rasa penasaran kita pada setiap detail alam, adalah inspirasi yang akan mereka hirup. Mau anak anda jatuh cinta pada Mahakarya Sang Pencipta? Jatuh cintalah terlebih dahulu pada Mahakarya itu!
Mahakarya Lainnya
Perjalanan pendidikan CM tidak usai di menumbuhkan kecintaan anak pada Mahakarya Utama. Ia juga diminta belajar dari mahakarya manusia, baik itu berbentuk buku, lukisan, puisi, maupun musik.
Belajar dari para maestro dengan pemikiran yang tinggi memang juga bukan perkara mudah.Pernah membaca buku-buku karya Beatrix Potter? Saat awal membacanya dulu, saya dibuat pusing kepala dengan apa maksud ceritanya. Jauh berbeda dengan karya-karya umum yang pesannya jelas dirumuskan di akhir cerita. Agar anak berbuat baik, agar anak menurut pada orangtua, agar anak tidak nakal, dan macam sebagainya.
Kalau saya yang sudah dewasa dan terbiasa membaca saja dibuat pusing, apa iya anak-anak saya mampu mengerti karya-karya macam ini?
Dalam hal pertimbangan moral, anak-anak memang belum matang.Namun soal kapasitas berpikir, mereka tak kalah – bahkan mungkin lebih tinggi daya tangkapnya – dibanding orang dewasa. Maka singkirkanlah bacaan dan materi pelajaran lain yang dangkal dan murahan, pengetahuan yang diencerkan dan serba disederhanakan. Benak anak akan bertumbuh dan menjadi matang jika kita terus menyuplainya dengan ide-ide berbobot, membuat mereka merasa tertantang untuk berpikir.– Ringkasan Vol. 2 Parents & Children pp. 225 ff (5)
Charlotte Mason berpendapat bahwa kita jangan pernah menganggap remeh pemikiran anak-anak kita, meskipun masih kecil namun benak mereka yang sedang bertumbuh itu justru harus dibiasakan dengan pemikiran-pemikiran tinggi agar kelak tidak terbiasa berpikir terlalu sederhana.
Bukankah berpikir itu juga sebuah kebiasaan yang juga harus dilatih? Bukankah salah satu tujuan dari sekolah juga agar anak-anak kita terlatih untuk berpikir? Untuk itulah kita perlu melatih mereka untuk berpikir, dan bukan hanya menelan bulat bulat informasi yang disajikan oleh media belajar mereka.
Tapi lagi-lagi, coba saja sandingkan buku karya maestro sastra yang umumnya tak terlalu berwarna warni dan bahasanya “berat” dengan buku Disney yang meriah dan cerita yang mudah dimengerti, Ah … bak membandingkan permen coklat dengan brokoli rebus! Kalau tak terbiasa, pastilah permen coklat yang anak pilih.
Butuh kesadaran untuk membuat anak memilih living books, dan butuh kebiasaan untuk membuat mereka menyukainya. Kalau dari kecil sudah terbiasa dengan buku-buku bermutu tinggi, tak akan sulit bagi mereka melalap buku demi buku yang mengaktifkan perenungan. Namun, bagaimana jika anak belum terbiasa?
Saya menyiasatinya dengan memilihkan buku yang dekat dengan keseharian atau kesukaan mereka. Serial Laura Ingalls Wilder, misalnya, yang mengisahkan tentang kehidupan keluarga dengan anak-anak perempuan, adalah living books pilihan pertama saya untuk si sulung karena kebetulan anak-anak di keluarga kami pun perempuan.
Baru-baru ini juga, saya memperkenalkan genre buku biografi (yang umumnya tebal) dari tokoh yang anak sukai. Kebetulan anak saya ingin menjadi guru, jadi saya bacakan biografi Ki Hajar Dewantara yang di dalamnya dikisahkan lika-liku perjuangan beliau di dunia pendidikan.
Saat anak tercerahkan bahwa living books juga seru dan menyenangkan, barulah saya bertahap memperkenalkannya pada mahakarya lain yang lebih tidak berhubungan dengan keseharian atau kesukaannya. Benaknya kini sudah mulai terbiasa untuk mencerna pemikiran-pemikiran para maestro.
Pendekatan yang sama saya lakukan pula untuk apresiasi puisi, lukisan, ataupun musik. Awalnya, saya perkenalkan si kakak pada rima-rima anak Mother Goose yang bisa dinyanyikan. Dia jadi tahu bahwa kata-kata bisa dirangkai menjadi sesuatu yang indah, membuat jiwa terhenyak dan benak berpikir. Setelah ia jatuh cinta pada puisi, mengenalkannya pada penyair-penyair lokal maupun internasional bukan lagi sesuatu yang sulit.
Sering-sering mengajak anak ke pameran seni ataupun museum menjadi cara saya memperkenalkan citarasa maestro pada mereka. Atmosfer keseniannya lebih mudah ditangkap di sana dibandingkan memandang lukisan di rumah. Saya mengajak anak ke museum Basuki Abdullah atau Affandi sebelum memulai studi lukisan para maestro itu. Dengan memiliki pengalaman ke galeri-galeri, anak saya lebih mempelajari lukisan-lukisan tersebut.
Saat minat mempelajari lukisan sudah tumbuh, baru saya ajak si kakak untuk mempelajari karya pelukis-pelukis Eropa Abad Tengah yang mendalam. Biasanya sebelum mempelajari lukisan-lukisannya, saya bacakan dulu biografi sang pelukis agar ia mengenal siapa pelukis yang akan ia pelajari lukisan-lukisannya. Tak kenal maka tak sayang..
Memilih menggunakan metode Charlotte Mason ini memang tidak mudah, baik bagi saya selaku orangtua maupun bagi anak-anak. Standar yang dipatok ibu Charlotte ini begitu tinggi, sehingga kadang kami tersengal-sengal dibuatnya. Tetapi, mengutip perkataan para remaja yang tengah kasmaran, dengan cinta segalanya akan lebih mudah.
no replies