Habit of attention adalah salah satu kebiasaan terpenting yang wajib kita latihkan kepada anak-anak. Ini fondasi kerja mental mereka. Tiap anak memang punya banyak talenta, tapi talenta hanya bisa optimal berkembang jika ia memiliki fokus dan konsentrasi yang baik.
“Perhatian adalah kemampuan dan kebiasaan untuk mengerahkan segenap bagian pikiran untuk berkonsentrasi pada apa yang sedang dikerjakan. Orangtua, khususnya ibu, perlu diajari untuk mengembangkan dan memupuk kebiasaan memperhatikan ini dalam diri anak-anak mereka sejak awal masa bayi.”
Demikian pendefinisian Charlotte Mason tentang habit of attention. Pendidik Inggris ini mengamati bahwa kekuatan daya perhatian adalah ciri manusia profesional dan terlatih. Terlatih tidaknya anak dalam habit of attention akan sangat berpengaruh pada nasib seorang anak, apakah dia akan jadi orang sukses atau orang rata-rata.
Pikiran Monyet
Tanpa habit of attention, benak kita akan selalu terseret dalam berbagai arus pikiran yang mengalir ke sana kemari tak henti-hentinya. “Ide-ide senantiasa melintasi otak, pagi dan malam, tidur atau bangun, sinting atau waras,” itulah simpulan Charlotte tentang kodrat benak manusia.
Literatur Buddhis menamai fenomena ini “pikiran monyet” (monkey mind). Pikiran-pikiran muncul begitu saja tanpa kita suruh. Satu topik belum tuntas, sudah muncul lagi yang lain. Susul-menyusul, meloncat ke sana kemari, seolah tak ada ujung pangkalnya.
Charlotte menulis, “Orang yang tak bisa memikirkan perkara yang ia pilih di waktu yang ia pilih, dan sekedar hanyut dalam arus pikiran apa pun yang muncul di otaknya, tidak lebih dari seorang imbesil.” (Home Education, hlm. 138-139).
Dalam proses belajar-mengajar, sangatlah melelahkan menghadapi anak-anak yang tak punya daya konsentrasi. Diajak membaca, malah melamun. Diminta membuat narasi, lupa. Mengerjakan satu hal belum tuntas, sudah beralih perhatiannya ke hal lain. Dawdling, istilahnya.
Satu pekerjaan yang mustinya bisa selesai dengan cepat akan jadi lama karena pikiran anak mengembara ke mana-mana, mulai dari makan, mengikat tali sepatu, sampai menggarap worksheet matematika. Waktu terus terbuang namun tak banyak (bahkan mungkin tak ada) tugas yang kelar.
Namun kabar baiknya adalah setiap anak bisa dilatih untuk memiliki daya perhatian dan fokus. “Siapa pun bisa meraihnya,” yakin Charlotte. Yang terbaik adalah jika ayah-ibu melatihkan kebiasaan memperhatikan ini sedini mungkin – bahkan sejak awal masa bayi.
Prinsip dasarnya adalah “menarik dan mempertahankan perhatian anak lewat sarana yang memotivasi anak untuk berkonsentrasi” (hlm. 145) dan “awas sejak semula dalam melawan terbentuknya kebiasaan tak memperhatikan yang kontraproduktif” (hlm. 146). Apabila latihan ini berhasil, durasi rentang perhatian anak akan meningkat seiring pertambahan usianya.
Latihan Fokus di Rumah Kami
Saya merasa beruntung berkenalan dengan pemikiran Charlotte Mason ketika sulung saya masih terbilang muda, waktu itu sekitar 1,5 tahun. Ada banyak saran praktis dari tulisan-tulisannya serta tulisan-tulisan para praktisi metode CM senior lain yang saya terapkan di rumah bagi si sulung, dan kemudian adiknya, yang membentuk kekuatan daya perhatian mereka hari ini. Apa saja?
Pertama, jangan banjiri anak dengan banyak mainan secara sekaligus. Sejak bayi kita sudah bisa melatih anak berkonsentrasi. Caranya ialah membantu dia fokus selama mungkin pada satu mainan. Anak bayi biasanya cepat sekali berganti minat. Baru satu menit diberi krincingan, matanya sudah beralih ke bola, dari bola ke boneka, dari boneka ke benda lain lagi. Pungutlah mainan yang ia tinggalkan itu dan dengan sedikit atraksi ulur minatnya pada benda itu sedikit lebih lama lagi, begitu saran Charlotte soal latihan habit of attention yang pertama.
Kedua, matikan TV. Televisi bukan cuma memancarkan radiasi yang bisa merusak daya penglihatan anak, tapi juga memperpendek rentang perhatiannya. Setiap 1-2 detik, gambar berganti sudut atau adegan, jauh lebih cepat dari pergerakan yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ini membuat anak tak terbiasa memperhatikan sesuatu secara cermat dalam jangka waktu lama. Begitu kenal metode CM dan membaca rekomendasi dari Asosiasi Dokter Anak Amerika, saya dan suami sepakat menerapkan No TV Policy. Kami tidak menyalakan televisi selama anak-anak masih bangun.
Ketiga, banyak-banyak mengekspos anak pada kegiatan outdoor dan nature walk. Alam adalah pelatih habit of attention yang luar biasa, guru yang penuh kelembutan dan tak pernah memaksa, namun bisa menarik minat siswa-siswi kecil ini untuk memperhatikannya.
Sambil berjalan-jalan, biasanya saya mengajak mereka mencermati objek-objek di alam itu. Yang paling mudah menarik perhatian anak kecil biasanya binatang (laba-laba, kupu-kupu, bunglon, kumbang, berudu, ayam, sapi, kambing, dan masih banyak lagi). Selain mengamati, saya juga mendorong serta memfasilitasi mereka bereksplorasi atau memanipulasi benda-benda alam – misalnya memanjat pohon, merangkai bunga atau mengisap nektar dari pangkalnya, membuat ketapel dari ranting, dan lain-lain ide yang bisa muncul seketika di tempat.
Catatan lain untuk poin ini adalah sebisa mungkin tidak main ke mall. Kadang kami memang ke playground komersial sebagai kegiatan selingan, tapi saya lebih suka mengarahkan anak-anak main di taman kampung atau hutan wisata atau tempat sejenis itu. Semakin sedikit aspek buatan manusia di sana (termasuk ayunan, prosotan, tangga panjat setengah lingkar, jungkat-jungkit, dan lain-lain), semakin anak harus menginisiasi perhatiannya pada suatu hal alami, semakin baik.
Keempat, melatih konsentrasi dalam perkara sehari-hari. Berikan pengertian dalam bahasa sederhana pada anak pentingnya berkonsentrasi pada yang ia kerjakan dan tantang dia untuk memusatkan perhatiannya pada hal itu. Kata “fokus!” termasuk kata yang paling sering diucapkan di rumah kami. Setiap kali kakinya ingin turun dari kursi, meninggalkan piringnya yang belum kosong di meja makan, atau matanya terpaku pada buku sampai mulutnya berhenti mengunyah, kata itu pasti terlontar. Kegiatan makan memang salah satu tolok ukur apakah daya konsentrasi anak sudah baik atau belum. Kalau menghabiskan isi piringnya saja belum bisa fokus, apalagi mengerjakan hal lain.
Kelima, menunda pelajaran terstruktur sampai anak berusia 6-7 tahun. Biarkan anak bermain bebas, berinisiatif sendiri menciptakan permainan mereka atau memilih kegiatan yang mereka sukai, karena itu akan memperpanjang rentang perhatian mereka dibanding menyuruh mereka mengerjakan kegiatan yang kita rancang.
Saya memegang prinsip dari Dorothy Einon di bukunya Learning Early: “kalau anak betah mengerjakan sesuatu sampai lebih dari 15 menit, itu pertanda baik”. Ini bersesuaian dengan prinsip CM masterly inactivity. Kalau anak sudah bisa secara positif menyibukkan diri, orangtua jangan interupsi. Ingat, merekalah pemeran utama, kita hanya aktor pembantu dalam proses pendidikan ini.
Keenam, ketika pelajaran terstruktur sudah mulai, taati asas living books, short lessons, generous curriculum, dan gunakan metode narasi dengan prinsip “sekali baca”. Mata pelajaran beragam. Bacaan serba indah-inspiratif-berkualitas. Durasi belajar terbatas tapi harus konsentrasi penuh. Menceritakan kembali materi dalam bahasa sendiri hanya setelah mendengar atau membaca satu kali saja. Kualitas musti didahulukan ketimbang kuantitas. Lebih baik 5 menit tapi fokus, daripada 1 jam tapi melamun ke mana-mana (kalau anak betul-betul sudah tak bisa konsentrasi, lebih baik sesi pelajaran diakhiri). Semua praktik ini melatih anak mengerahkan segenap kemampuannya dan memperoleh hasil optimal dari materi pelajarannya.
Melatihkan habit of attention adalah bagian dari menggembleng kekuatan kehendak anak, supaya kelak dia punya kendali sepenuhnya atas pikirannya. Dia bisa berkata “tidak!” pada pikiran yang tak produktif, dan berkata “ayo, terus!” pada pikiran yang produktif sekalipun mood-nya sebetulnya tidak mendukung. Apabila diduetkan satu paket dengan habit of obedience (kebiasaan untuk respek pada otoritas), hasilnya bisa menakjubkan.
no replies