Tanya:
Salam kenal! Saya ibu dari dua orang putra — yang sulung 2 tahun 9 bulan, yang bungsu 1 tahun 6 bulan. Si sulung ini sering memukul adiknya.
Selain memukul, si abang menguasai semua barang-barang di rumah. Sepanjang pengamatan saya dan suami, dia bersikap begitu lebih karena cemburu. Kami sudah berusaha untuk adil dalam memberi kasih sayang. Namun si abang masih sering memukul adiknya.
Hal pertama yang saya lakukan adalah memisahkan abang dari adiknya, kemudian mengatakan ke abang, “Nggak boleh memukul adek!” dengan nada tegas. Yang ada, si abang belum apa-apa sudah nangis duluan. Kalau diperhatikan sih, emang nangisnya pura-pura. Saya juga terus menerus memberitahu abang untuk berbagi dengan adiknya, tapi sampai sekarang belum ada hasilnya.
Untuk menghindari pertengkaran hebat, saya biarkan abang untuk mengambil apa yang dia mau, dan mengalihkan perhatian adiknya yang sudah menangis. Saya kuatir si sulung menjadi superior dan adik menjadi pihak yang “tertindas”. Sungguh tiap hari saya berjuang untuk keluar dari kondisi ini. Adakah saran menurut metode CM untuk membentuk karakter si abang ini?
Terimakasih banyak atas sharingnya.
Neta
Jawab:
Hai, Mbak Neta! Dalam metode Charlotte Mason, semua saran praktis mesti lebih dahulu dilandasi oleh pemahaman tentang prinsip filosofisnya. Dan butir pertama filosofi pendidikan Charlotte Mason adalah children are born persons. Setiap anak terlahir sebagai pribadi utuh.
Sebagai pribadi utuh, tiap anak punya pikiran dan perasaannya sendiri, sama seperti kita orang dewasa punya pikiran dan perasaan kita sendiri. Ini berarti apa yang menurut kita penting, belum tentu menurut anak penting. Apa yang menurut kita sudah adil, anak belum tentu menganggapnya begitu.
Kita berpikir: Abang ini bagaimana sih? Kok tidak sadar bahwa dia itu lebih tua? Mengapa tidak mau berbagi mainan dengan adik? Mengapa malah menindas adik? Mengapa malah memukul adik yang lebih kecil?
Sementara itu anak bisa saja sedang berpikir: Ayah-ibu ini bagaimana sih? Kok lebih sayang ke adik daripada aku? Ini kan mainanku, kok disuruh kasih ke adik? Mengapa selalu adik yang dibela dan aku yang disalahkan? Mengapa aku dimarahi terus?
Karena anak itu bukan kita, sebetulnya wajar-wajar saja kalau dia punya sudut pandang yang berbeda, tafsir yang berbeda atas peristiwa yang terjadi. Relasi kita dengan anak bakal tegang terus ketika perbedaan sudut pandang dan tafsir ini tidak terjembatani.
Oleh karena itu, untuk mengatasi rasa cemburu kakak kepada adik, yang harus kita lakukan pertama-tama adalah menyimpan dulu penghakiman kita, lalu berusaha dengan sungguh-sungguh memahami situasi dari sudut pandang anak.
***
Bagaimana seorang anak menafsirkan kedatangan adik bayi? Ini pun tidak akan sama satu anak dengan anak yang lain, tergantung bagaimana pola relasi dan komunikasi si kakak dengan ayah-ibunya di masa pra kelahiran, seberapa matang daya nalarnya dan manajemen emosinya, dsb.
Kehadiran seorang adik di satu sisi bisa jadi pengalaman yang menarik, di sisi lain bisa jadi membuat syok si kakak. Biasanya, anak sulung akan mengalami syok yang lebih besar saat adiknya lahir — dibandingkan anak kedua menyambut anak ketiga, apalagi anak ketiga menyambut anak keempat, dan seterusnya — sebab anak sulung belum pernah merasakan kewajiban berbagi dengan saudara kandung sebelumnya.
Adele Faber dan Elaine Mazlih, penulis buku Sibling Without Rivalry (1987), pernah membuat ilustrasi demikian:
Bayangkanlah seandainya suatu hari pasangan kita kita membawa pulang istri muda (atau suami baru). Lalu dia berkata: “Selama ini kita bahagia berdua, kini kita jadi bertiga, bukankah itu menyenangkan?”
Syok? Pasti. Tapi bukan sekedar syok. Bayangkan setiap hari kita harus berbagi suami atau istri, digilir untuk memperoleh perhatiannya, melihat pasangan kita berkasih-kasihan dengan istri muda atau suaminya yang baru.
Dan apa yang terjadi kalau dalam kondisi itu kita diminta untuk ikut (dan terus) menunjukkan kasih sayang kepada si rival dengan derajat cinta yang sama seperti pasangan kita mencintainya? Apa yang terjadi kalau kita dituntut tidak boleh egois dan selalu mengalah pada pendatang baru itu?
Dan si pesaing itu hadir di mana-mana! Di ruang makan, saat bepergian, sampai saat tidur — kita musti berbagi setiap momen intim bertiga dengannya. Apa yang akan kita rasakan? Tentunya bukan sekedar rasa cemburu, tapi juga rasa muak, stres, tak berdaya, harga diri kita runtuh, dan frustrasi.
***
Faber dan Mazlih bilang, banyak anak menyambut adiknya dengan kasih sayang, selama adik itu masih bayi. Begitu si adik makin besar dan mulai beraktivitas, rasa syok yang tertunda itu membuncah dan si sulung mulai menampilkan tanda-tanda tertekan. Mereka jadi sadar bahwa adik bukan sekedar ‘mainan’, tapi sesosok pribadi lain yang juga menuntut perhatian orangtua.
Karena di era modern, anak tinggal dalam keluarga kecil dengan sedikit orang dewasa, apalagi jika orangtua juga bekerja, maka persaingan memperebutkan perhatian ayah dan ibu pun menjadi sengit. Anak mengukur harga dirinya dari seberapa besar perhatian yang ia peroleh dari ayah dan ibunya. Siapa yang lebih diperhatikan, tentulah dia yang lebih dicintai, demikian pikir mereka.
Sikap agresif, merengek, clingy, atau regresi (misalnya, anak yang semula sudah tidak ngompol, tiba-tiba mengompol lagi) adalah pertanda bahwa anak merasa cemas, putus asa, marah, atau tak berdaya.
Makin berat gejala problem perilakunya, makin berat pula beban tekanan emosi negatif itu dia rasakan dalam hatinya. Semakin destruktif perilaku anak, berarti semakin butuh dia untuk diyakinkan bahwa dia disayangi, bahwa dia sungguh berharga.
Barangkali kita merasa bahwa kita sudah membagi kasih sayang dengan adil. Tapi itu dari sudut pandang kita, bukan dari sudut pandang anak. Pesan yang kita kirim mungkin berbeda dengan apa yang anak tangkap.
Dalam hal ini seringkali terjadi lingkaran setan. Anak ragu akan cinta orangtuanya kepadanya, maka muncullah problem perilaku. Problem perilaku ini membuat orangtua kesal, dan sikap kesal atau amarah orangtua menyakiti anak lebih dalam lagi. Baginya itu makin membuktikan bahwa dia tidak disayangi, yang menimbulkan lebih banyak problem perilaku. Pemahamannya itu barangkali sangat amat keliru, karena kita menyayanginya. Namun dia betul-betul tidak paham dan terus meyakini bahwa adik lebih disayangi ketimbang dirinya.
***
Kalau begitu apakah yang bisa kita lakukan? Pertama-tama, dengan tidak berusaha menyangkal perasaan si sulung. Setiap kali kita mencoba menghentikan ekspresi kebenciannya pada si adik, kita mungkin justru sedang membuat dia berpikir, “Mama lebih sayang adik daripada aku.” Lantas amarah dan kebenciannya makin menjadi-jadi.
Semakin kita berusaha menasihatinya untuk menyayangi si adik, berbagi, tidak memukul, dan seterusnya – yang baginya adalah penyangkalan terhadap perasaannya – makin terkurung dia dalam perasaan itu. Kini dia bukan hanya merasa benci dan marah pada adiknya, tapi juga dihantui rasa bersalah bahwa dia jahat, dia nakal, dia memang tidak layak dicintai. Ini sungguh menyakitkan baginya, dan dia sendiri tak tahu bagaimana menghadapi sumbatan perasaan-perasaan negatif ini, kecuali dengan lebih banyak perilaku merusak.
Alih-alih menyangkal, validasilah emosi si kakak. Dengarkan sepenuh hati dengan menunda penghakiman dari sudut pandang kita. Biarkan anak tahu bahwa senegatif apa pun perasaannya, itu tidak mengurangi penerimaan dan rasa cinta kita kepada dia.
Komunikasi seperti ini membuat anak merasa dia dicintai tanpa syarat, sehingga ia berani dan leluasa mengungkapkan isi hatinya di depan kita. Terimalah semua perasaannya, bantu dia menamainya, namun jangan mendramatisir pernyataan-pernyataannya.
***
Untuk contoh kongkrit validasi emosi, saya kutipkan pengalaman yang cukup ekstrem dari Naomi Aldort, penulis buku Rasing Children Raising Ourselves berikut:
Lennon yang berusia lima tahun biasanya penyayang dan lemah lembut pada adiknya yang berumur satu tahun. Suatu hari, tiba-tiba saja, dia mulai merebut mainan-mainan dari tangan adiknya dan terlihat puas kalau bayi itu, Oliver, menangis.
Awalnya kami mendorong Lennon untuk bersikap manis dan mencoba membuatnya paham bahwa Oliver tidak suka diperlakukan seperti itu. Lennon malah semakin agresif. Saya sadar Lennon butuh lebih dari sekedar amaran-amaran yang halus.
Kali berikutnya peristiwa ini terjadi, alih-alih meminta Lennon menghentikan aksinya, saya memeluknya dan berkata, “Apa kau berharap kita kembali seperti dulu lagi, hanya ada kau dan Mama, tanpa Oliver?”
Lennon terlihat salah tingkah dan tidak menjawab. Dia mengharapkan diceramahi, yang akan menguatkan keyakinannya bahwa dia ‘nakal’.
“Mama juga kangen bermain berdua denganmu,” kata saya.
“Tidak, Mama bohong!” bisik Lennon.
“Jadi, selama ini, waktu Mama menggendong adik bayi, kamu kesepian?” Lennon mengangguk. “Lalu dalam hati kamu bilang, pasti Mama sudah tak peduli padamu?”
Saya meraihnya ke dalam pelukan dan berkata, “Mama kangen sekali berduaan denganmu. Mama selalu menyayangimu. Waktu menggendong Oliver pun, Mama tetap menyayangimu.”
Lennon menunduk dan saya menduga ia merasa bersalah dan tak layak disayangi karena dia mungkin punya khayalan-khayalan jahat tentang adiknya.
“Kau rasanya ingin membuang adik bayi di tong sampah?” tanya saya.
Lenon terbelalak. “Ya,” katanya. Lalu kami memperagakan dalam khayalan seolah-olah membuang bayi ke tong sampah. “Lalu kau ingin melakukan apa lagi pada Oliver? Ini bonekanya.” (Ayah menjaga dua anak lainnya di kamar, sehingga mereka tidak melihat permainan khayalan ini.)
Setelah Lennon mengeluarkan beberapa khayalannya, saya berkata, “Mama tahu perasaanmu. Wajar sekali punya perasaan seperti itu. Lain kali kalau kamu merasa seperti ini, datang dan tunjukkanlah ke Mama apa yang mau kau buat pada Oliver. Mama senang diberitahu perasaanmu dan khayalanmu, dan kau boleh kapan saja menggunakan boneka itu untuk menunjukkannya.”
Kali berikut Lennon mengganggu adiknya, saya kembali menawarinya untuk memperagakan dengan boneka (di kamar lain) apa yang mau ia kerjakan pada Oliver. Lennon setuju dan kami terus melakukan cara ini kapan pun diperlukan.
Tiga hari kemudian, Lennon, atas inisiatif sendiri, datang kepada saya sebelum dia mengganggu adiknya. Alih-alih mengusili adiknya, dia berkata, “Mama, ayo, aku mau tunjukkan apa yang aku mau buat ke Oliver.” Dia mengajak saya ke kamar lain dan memperagakan di depan saya, dan dengan cara demikian dia mencegah dirinya menyakiti Oliver sungguhan.
Lennon terus mengerjakan itu. Dua minggu kemudian, dia mengajak saya bermain khayalan dengan boneka itu. Tetapi kali ini dia tidak berfantasi menyakiti Oliver, melainkan berpura-pura melakukan berbagai hal yang membuat Oliver tertawa. Dia tampak menikmati itu. Itulah akhir dari perilaku agresinya kepada adiknya.
***
Tantangan tersulit dalam menerapkan validasi emosi ini adalah menyiapkan batin orangtua sendiri untuk bisa tetap tenang, tidak terhanyut oleh emosi negatif kita sendiri saat menunggui anak kita ‘udhar rasa’ (mengungkapkan uneg-unegnya), dan menemukan kata-kata yang tepat untuk membantunya membuka hati.
Namun, sekali pintu komunikasi terbuka, dan anak kembali percaya bahwa kita mencintainya — tanpa syarat — maka relasi kita dengan anak diperbaharui, rasa saling percaya tumbuh, koneksi bertambah erat, perilaku-perilaku agresif itu pun makin lama makin pudar.
Meskipun demikian, perlu disadari bahwa dinamika relasi antar kakak-adik terus naik dan turun sepanjang waktu. Bersiagalah sepanjang waktu untuk menyiangi benih-benih pikiran buruk dari pikiran mereka.
Dalam pengalaman saya, validasi emosi pun tidak bisa berdiri sendiri. Dibutuhkan beberapa praktik tambahan untuk memperbaiki bonding, respek, dan rasa percaya anak pada sikap fair orangtua.
Misalnya: luangkan waktu privat bersama setiap anak secara berkala dan bergiliran, tegakkan aturan tanpa membeda-bedakan antara kakak-adik (misalnya, “yang pertama kali memilih mainan tertentu, dialah yang berhak memainkannya lebih dulu”), bantu kakak dan adik bersikap asertif tapi sopan menyelesaikan perselisihan mereka.
Dengan semua ini pun, kita tak bisa menghindari sekali dua ada protes dari anak berkata, “Mama tidak adil!”. Jika itu terjadi, sekali lagi validasi emosi, alih-alih penyangkalan, adalah jawabannya.
=====
Artikel ini dimutakhirkan tanggal 10 Februari 2021.
no replies