Satu semester lagi telah lewat. Selama empat bulan kuliah efektif ini saya menguji coba metode Charlotte Mason dengan “lebih murni”. Materi pelajaran sepenuhnya berupa bacaan. Tidak ada lagi presentasi video seperti kelas-kelas saya terdahulu. Mengapa?
Pertama, karena hiburan tidak sepatutnya menjadi unsur dominan dalam pendidikan, seperti yang saya cermati menjadi efek video dalam proses belajar semester lalu. “Benak tidak hidup dan bertumbuh gara-gara hiburan, yang dia tuntut adalah makanan padat.” (Vol. 6, hlm. 90) Pengetahuan yang inspiratif dan bermutu akan memberikan hiburannya tersendiri, demikian janji Charlotte.
Target besar pendidikan CM adalah para siswa yang minat dan daya nalarnya begitu terlatih sehingga mereka bisa bersenang-senang dengan ide-ide yang paling sulit sekalipun. Saya sangat ingin melihatnya terwujud dalam diri para mahasiswa saya.
Kedua, di zaman multimedia seperti sekarang, anak perlu dilatih lebih serius untuk menikmati buku-buku. Seperti yang nantinya saya temukan dalam proses belajar di kelas, kemampuan para mahasiswa berkonsentrasi dalam membaca, keterampilan mereka untuk menemukan ide-ide pokok dalam bacaan serta menceritakan kembali ide-ide pokok itu, masih sangat kurang. Metode CM akan membantu menguatkan aspek-aspek itu dan mempersiapkan mereka menjadi cendikia dalam arti sesungguhnya.
Ketiga, saya sendiri ingin mengetes efektivitas dari metode CM ini dalam berbagai konteks kelas. Ada enam kelas yang saya pegang semester ini dengan dua topik mata kuliah. Tiga kelas belajar Dasar-dasar Filsafat dan tiga kelas Pengantar Filsafat Ilmu. Ada kelas besar (70-an orang) dan ada kelas kecil (20-an orang).
Teknik pelaksanaannya sangat sederhana. Setiap kelas saya beri materi bacaan sesuai topik mata kuliah yang menurut saya bermutu. Alam Pikiran Yunani karya Mohammad Hatta dan Dunia Sophie karangan Jostein Gaarder untuk kelas DDF. “Hakikat Ilmu: Sebuah Pengantar” karya Jujun Suriasumantri dari buku antologiIlmu dalam Perspektif untuk kelas PFI.
Saya jelaskan kepada para siswa bahwa tugas utama mereka hanyalah membaca dan menarasikan. Saya bilang saya tidak punya target mereka harus selesai sampai di mana. Porsi bacaan akan saya sesuaikan dengan kecepatan tiap kelas. Saya juga minta mereka menyiapkan buku tugas. Kelas DDF akan mengisi buku tugasnya dengan mendalami satu filsuf pilihan mereka, dan kelas PFI mengisi tugasnya dengan narasi tertulis bacaan mereka minggu itu.
***
Pada awalnya kecepatan membaca mereka rendah sekali. Saya menghentikan bacaan tiap beberapa baris atau satu alinea pendek, itu pun masih banyak yang kesulitan menangkap pokok pikiran dan menceritakannya kembali. Namun, setelah lewat 4-5 kali pertemuan, mereka mulai paham dan ritme pun bertambah cepat. Porsi bacaan yang dinarasikan bisa lebih panjang.
Menjelang akhir semester, sebagian kelas sudah bisa menarasikan bacaan Dunia Sophie sepanjang satu bab penuh! (Catatan: Bobot buku sangat menentukan seberapa panjang bacaan yang dapat mereka cerna sekali waktu. Dari ketiga buku itu, Dunia Sophie adalah yang paling ringan. Buku-buku lain, maksimum tetap satu alinea sepanjang satu halaman.)
Peran saya di kelas adalah sebagai fasilitator. Kadang saya yang membaca, kadang saya menunjuk para mahasiswa sendiri menjadi pembaca. Setelah itu, saya menunjuk satu atau lebih siswa untuk membuat narasi dengan variasi tertentu, mendengarkan narasi dengan sikap apresiatif, mengingatkan ide-ide pokok yang lolos dari narasi mereka, dan memberikan tambahan informasi atau ilustrasi atau latihan berpikir lanjutan di mana perlu — sesingkat mungkin agar tidak menjadi ceramah.
Di pertemuan terakhir minggu lalu, saya meminta setiap kelas untuk memberi evaluasi dan masukan tentang “seberapa jauh mata kuliah ini membantu Anda memahami apa itu filsafat (atau apa itu ilmu)?” dan “seberapa efektif metode baca dan narasi membantu Anda mencerna materi pelajaran?”.
Sebagian besar memberikan testimoni positif, yang meneguhkan janji metode CM bahwa narasi akan merangsang siswa untuk berpikir sendiri, berlatih mengartikulasikan diri secara lisan (public speaking) maupun tertulis, meningkatkan daya konsentrasi dan kapasitas intelektual siswa dalam memahami bacaan, dan dengan demikian menghemat waktu belajar (karena materi sudah menempel secara permanen di ingatan, mereka tidak butuh banyak waktu untuk mengingatnya kembali saat persiapan ujian).
Dari komentar dan saran yang masuk, ada beberapa kesan yang saya catat. Pertama, meskipun metode ini tetap efektif untuk kelas besar, namun mengkondisikan agar kelas kecil tetap akan membuat metode ini lebih efektif. Sekitar 20-25 siswa adalah jumlah maksimum paling ideal. Kelas yang lebih besar berpotensi melahirkan kebosanan pada para siswa yang memang inteligensinya cemerlang sebab lambatnya laju bacaan dan tidak meratanya kesempatan membuat narasi.
Kedua, musti ada variasi teknik yang lebih kaya lagi agar kelas tidak menjadi monoton. Ketiga, perlu mencari bacaan lain untuk semester berikutnya agar dosen yang mendampingi juga tidak bosan 🙂
no replies