Hari gini punya bayi nggak pakai popok? Kita tentu terheran-heran. Tapi itulah yang dikerjakan oleh Ingrid Bauer, ibu empat anak yang sepanjang ‘karir’-nya sebagai ibu tidak pernah menggunakan popok sekali pakai (disposable diaper).
Saya menyimak kisah penulis buku Diaper Free: The Gentle Wisdom of Infant Hygiene ini di acara Consious Parenting Summit 2012 yang diselenggarakan secaraonline oleh pasangan Matt dan Angela Monarch. Mereka menganggap Ingrid adalah salah satu penulis yang bukunya paling menginspirasi.
Ingrid berkisah bahwa pada anak pertama, dia sempat memakaikan popok kain (cloth diaper), tapi pada ketiga anaknya kemudian dia sama sekali tidak memakaikan popok. Semua diawali dari pertanyaan sederhana suaminya, “Apakah bayi butuh popok? Bukankah zaman dulu bayi-bayi tumbuh besar tanpa popok?”
Pertajam Intuisi Orangtua
Berbekal rasa penasaran dan tekad untuk hidup selaras dengan Alam, Ingrid akhirnya menjalankan ide radikal ini: membesarkan bayi tanpa popok. Dia menjalani proses coba-ralat dan jatuh-bangun sebelum pada saat bayinya berusia sekitar empat bulan, Ingrid mulai menangkap sinyal-sinyal komunikasi BAK (buang air kecil) dan BAB (buang air besar) sang bayi dan sejak itu hampir tak pernah lagi kecolongan menatur bayinya BAK atau BAB.
Dari pengalaman dengan ketiga anaknya itu, Ingrid mendapati bahwa belajar hidup tanpa popok bukan sekedar masalah menyelamatkan lingkungan atau mengirit keuangan, tapi lebih mendasar lagi, ini adalah langkah substansial dalam upaya membangun koneksi mendalam dan komunikasi intim antara orangtua dengan anak.
Lewat proses hidup tanpa popok bayi, menurut Ingrid, kepekaan intuisi orangtua dilatih menjadi sangat tajam – sepenuhnya waspada, sepenuhnya mendengarkan, sepenuhnya mengamati, sepenuhnya terhubung. Dua aspek kunci keberhasilan hidup tanpa popok adalah memulai sedini mungkin dan mempraktikkannya secara konsisten.
Kearifan Masa Lampau
Saat melakukan riset untuk penulisan bukunya, Ingrid mendapati bahwa kearifan hidup tanpa popok merupakan bagian dari budaya semua masyarakat masa lampau. Mereka akan menatur bayi dengan suara-suara tertentu, mendesis untuk BAK dan mengejan untuk BAB. Ibu memberi sinyal kepada bayinya dan bayi pun merespons, atau sebaliknya bayi memberi sinyal kepada ibu dan ibu merespons.
Ditinggalkannya kearifan ini berkaitan dengan perubahan zaman, terutama makin menguatnya pola pikir individualis dan serba instan serta kepentingan industri. Masyarakat tidak lagi tinggal dalam komunitas-komunitas besar seperti dulu. Ukuran unit sosial terus mengecil dan tinggallah keluarga inti yang hidup sendiri-sendiri. Ibu dan ayah tak lagi mendapat bantuan untuk mengawasi anak-anak, sementara mereka masih harus bekerja. Konsekuensinya, mereka merasa repot dan tak punya waktu untuk menjalin komunikasi intensif dengan anak-anak mereka.
Cara instan pun dipilih, dalam hal ini berwujud popok sekali pakai. Popok kemudian berkembang menjadi komoditas industri menguntungkan, maka dibuatlah iklan-iklan dan propaganda untuk makin membuat orangtua merasa nyaman dengan pilihan memakai popok. (NB: Naskah cikal bakal buku Ingrid sempat ditolak oleh sebagian penerbit karena dianggap terlalu radikal dan bertentangan dengan kepentingan ekonomi sebagian pihak.)
Jangan Terjebak Sisi Ekstrim
Kini pendulum mulai berayun dan para orangtua ingin kembali hidup selaras dengan hukum alam. Pemberian ASI Eksklusif 6 bulan dan terus menyusui sampai lebih dari dua tahun, persalinan alamiah (gentle birth), pendidikan berbasis keluarga (home education), diet sehat, termasuk ide untuk hidup tanpa popok ini menarik minat sebagian orangtua yang ingin hidup alami.
Bagi para orangtua yang ingin belajar mempraktikkan ide-ide semacam ini, Ingrid mengingatkan tentang menjaga keseimbangan. Dua kesalahan besar yang ia amati sering dilakukan oleh orangtua terkait ide-ide seperti ini adalah sisi ekstrim: antara “Aku tidak peduli!” dengan “Aku harus sempurna!”. Orangtua tipe pertama pertama tidak mencurahkan cukup energi dan komitmen, kadang mengerjakan kadang tidak alias tidak konsisten. Orangtua tipe kedua terlalu obsesif dan perfeksionis, sehingga akhirnya stress.
“Nikmati proses kebersamaan dengan anak dan bersikaplah rileks!” kata Ingrid. Kalau orangtua tegang dan terbeban, anak juga akan terperangkap dalam atmosfer negatif itu. Jangan sampai harapan untuk sukses mewujudkan program atau ide tertentu mengkudeta keintiman relasi kita dengan anak.
Ingrid menutup wawancara ini dengan kata-kata, “Bersikaplah ramah dan lemah lembut pada dirimu sendiri, tapi di sisi lain tendang bokongmu sendiri dan jadilah sangat radikal kalau kamu ingin melihat perubahan terjadi di dunia. Mari mengasihi dan menerima diri kita apa adanya tanpa menjadi mendua hati atau berpuas diri. Dan sayangilah anak-anakmu! Bersenang-senanglah dengan mereka, nikmatilah keberadaan mereka, karena semua akan berlalu begitu cepat.”
no replies