Menjelang tutup tahun lalu, saya berdiskusi dengan ayah saya soal pendidikan karakter pemuda-pemudi yang kami tampung tinggal di rumah kami. (Dari dulu orangtua saya selalu menampung pemuda-pemudi di rumah kami untuk memberi mereka kesempatan sekolah atau kerja.) Di tengah percakapan, beliau mengeluhkan rendahnya minat mereka membaca, terutama membaca buku-buku “serius”.
Memang, untuk generasi belakangan ini, saya jarang sekali melihat mereka duduk dan membaca buku. Di waktu luang, mereka lebih sering terlihat terpana di depan layar TV, asyik internetan, atau mendengarkan musik. Sebagian punya hobi positif, seperti berolah raga, belajar sulap, atau nge-band.
Kalaupun terlihat membaca, saya perhatikan bacaan mereka sepertinya lebih banyak berkisar di genre komik, koran, atau majalah populer. Membaca buku-buku serius, apalagi yang tebal, adalah hobi yang langka saya dapati.
***
Situasi para pemuda di rumah kami ini bukan kasus unik. Selama bertahun-tahun menjadi dosen, saya menjumpai ratusan mahasiswa setiap semesternya dan fenomena yang kurang lebih sama. Ada indikasi bahwa ada sesuatu dalam sistem pendidikan kita saat ini yang membuat para siswa tidak terampil membaca dan tidak gemar juga.
Ada kesamaan mencolok antara para pemuda di rumah kami dengan kebanyakan mahasiswa saya. Mereka suka sekali dengan materi audio-visual (seperti video), tetapi enggan menerima materi tulisan.
Dalam umpan balik mereka di kertas-kertas ujian di semester lalu, beberapa mahasiswa berterus terang bilang, “Saya senang materi videonya, tetapi bosan baca bukunya” atau “Saya senang kalau tidak usah membaca”.
Hampir semuanya memuji-muji materi video, tetapi hanya sedikit yang menyebutkan terinspirasi dari buku. Begitu massif jumlah mereka, jadi ketidaksukaan membaca ini pasti bukan faktor kebetulan.
***
Charlotte Mason bilang, landasan keterampilan dan kecintaan membaca harus diletakkan pada usia 0-12 tahun. Jika selama 12 tahun pertama kehidupannya, seorang anak dikelilingi orang orang-orang dewasa yang meneladankan kecintaan membaca, dilatih untuk terampil membaca, dan dipasok dengan buku-buku yang menarik untuk dibaca, hampir pasti ia akan tumbuh jadi pembaca yang antusias.
Sebaliknya, jika selama 12 tahun pertama kehidupannya, seorang anak tidak menangkap impresi bahwa membaca itu menyenangkan, orang-orang dewasa di sekelilingnya tampai tidak tertarik membaca, ia tidak dilatih mahir membaca, juga tidak dipasok dengan buku-buku bagus, kemungkinan besar ia akan bertumbuh menjadi pribadi yang tidak gemar membaca.
Masa remaja secara neurologis adalah masa penentuan kebiasaan mana yang akan jadi permanen saat anak dewasa. Seiring anak meninggalkan masa remajanya dalam kondisi enggan membaca, makin sulit pula kita mengubahnya menjadi orang yang gemar membaca. Kegemaran membaca tidak datang secara tiba-tiba, tapi butuh proses panjang.
***
Ada lagi satu kasus yang saya amati: seorang anak yang saya kenal dekat, duduk di kelas VI SD dengan usia hampir 12 tahun. Ia anak yang kreatif dan saya lihat punya kemampuan verbal yang tinggi.
Saya pernah mengetes potensi kemampuan verbalnya itu a la Charlotte Mason: saya menceritakan satu dongeng, lalu memintanya membuat narasi lisan. Wow, narasinya luar biasa! Ia bisa menceritakan ulang detil sekali, bahkan menambahkan imajinasinya sendiri tentang kisah itu yang tidak tercantum dalam cerita aslinya.
Sewaktu masih usia SD kecil, anak ini suka membaca cerita sejarah dari buku-buku tipis bertema perang. Namun sekarang saya lihat ia semakin jarang membaca. Ia berangkat pagi-pagi sekali ke sekolah, lalu setelah pulang dari sekolah sekitar jam 2 siang, ia duduk menonton TV (ia sangat suka menonton TV) atau bermain sebentar, lalu kadang-kadang tidur siang sebentar. Sorenya ia akan les ekstrakurikuler (musik atau olahraga).
Berhubung dia sudah kelas VI, ada tekanan yang besar sekali untuknya agar siap menghadapi ujian nasional, sehingga setiap hari dari maghrib sampai kurang lebih jam delapan ia harus les pelajaran sekolah. Selesai les, sepertinya ia sudah terlalu capek untuk memikirkan hal serius lainnya. Jadi biasanya ia kembali bermain atau menonton TV.
Pernah iseng-iseng, saya membongkar lemari buku pelajarannya. Bertumpuk buku teks dan lembar kerja siswa (LKS) tersimpan di sana. Saya bolak-balik satu demi satu. Fakta-fakta kering dan informasi-informasi yang harus dihafalkan bertebaran di setiap halamannya, tapi tak ada satu cerita pun yang menarik. Pesan-pesan moral menggurui banyak, tapi narasi yang menggugah tidak ada. Inilah buku-bukunya, yang harus dia baca setiap hari.
***
Apakah seperti ini rutinitas kebanyakan pelajar sekolah dasar kita? Kalau betul begitu, kapan mereka punya kesempatan membaca buku-buku menarik yang inspiratif? Kapan mereka akan beranggapan buku lebih menarik dibanding televisi?
Salahkah anak kalau akhirnya berpikir bahwa membaca dan belajar itu membosankan? Seolah-olah “anak-anak itu meminta roti dan kita memberi mereka batu, segala macam informasi fakta dan peristiwa yang tak menggugah pikiran mereka, dan akhirnya hanya mereka buang bulat-bulat tanpa dicerna (di atas kertas ujian?).” (A Philosophy of Education, hlm. 26)
Charlotte Mason bilang, sekolah umumnya mahir membuat benak anak-anak berolah raga – menghafal, berhitung, menalar, aneka latihan dan drill akademis. Tetapi sudahkah sekolah menyediakan makanan yang cukup bagi pikiran mereka?
Olah raga itu bagus, tapi hanya jika kebutuhan nutrisi anak telah terpenuhi. Terlalu banyak olahraga dengan terlalu sedikit asupan hanya membuat anak kelelahan, hal ini berlaku baik secara fisik maupun mental.
***
Malam itu saya pulang dari kerja. Anak-anak saya bersiap untuk tidur. Sepanjang hari anak saya yang sulung, umurnya segera enam tahun, bermain dengan adiknya atau temannya, berjalan-jalan outdoor, dan membuat prakarya.
Seperti biasa sebelum tidur ia menuntut saya membacakan cerita-cerita baginya: kali ini dongeng Putri Bajang, lalu Henry and Mudge, lalu Peter Pan (ini Peter Pan asli tulisan J.M. Barrie, bukan yang sudah dirombak habis-habisan oleh Disney), lalu …
“Stop, stop! Bacanya besok lagi, sekarang tidur dulu!” kata saya ketika melihat jam dinding.
Anak saya protes dan mengomel, membujuk saya untuk membacakan satu lagi. Saya harus bersikukuh untuk menolak atau dia akan mengajukan buku lainnya lagi setelah yang satu ini.
Keesokan paginya, ketika bangun, awalnya, dia bilang ingin menonton VCD kesukaannya. Iseng-iseng saya tanyai dia, “Mending nonton VCD atau Mama bacakan buku cerita?” . Dan dia tanpa ragu menjawab, “Baca, baca aja, Ma!”.
***
Sungguh, bukan anak yang salah kalau dia besar menjadi orang yang tidak suka membaca. Anak-anak yang sehat jasmani pasti merasa lapar, pasti mencari makanan. Begitu pula anak-anak yang sehat pikiran pasti punya rasa ingin tahu yang besar, pasti suka belajar.
Ketika anak membaca hanya kalau bacaan itu akan keluar dalam ujian, kita perlu waspada. Sakit pikiran apakah gerangan yang anak ini derita sehingga nafsu belajarnya hilang?
Seperti dokter yang mencari tahu apa yang menyebabkan selera makan seorang anak terganggu, patutlah kita menyelidiki dengan seksama: apa yang membuat keinginan belajarnya padam?
***
Pendidikan Charlotte Mason dilandasi oleh keyakinan bahwa “semua potensi yang elok dan luhur tersimpan dalam diri setiap orang” (A Philosophy of Education, hlm. 189).
Potensi-potensi itu tak pernah hilang. “Kodrat manusia tak pernah berkhianat – yang bisa mengkhianati kita adalah filosofi, terutama penerapan filosofi yang bernama pendidikan.” (hlm. 335).
Betapa mengibakan jika di tengah berlimpahnya variasi sajian buku yang tersedia di dapur literer dunia, anak-anak kita terus saja disuruh memakan “junk food dan bubur tak bergizi”. Pikiran yang semula sehat, bugar, dan bersemangat pun lama-lama akan sakit dan lemah dengan diet ide seperti itu.
Kita sedang berkejaran dengan waktu. Tahun demi tahun berlalu, anak-anak dan para siswa kita bertambah besar. Daripada mengeluh nanti setelah mereka dewasa, lebih baik melakukan upaya nyata hari ini, sebelum terlanjur mereka menjadi generasi tanpa buku.
====
Artikel ini dimutakhirkan tanggal 27 Januari 2021.
no replies