Senin (9/1) lalu, halaman 3 harian Kompas menurunkan feature berjudul “Tak Mencontek, Jujur dari Diri Sendiri”. Tulisan itu menceritakan gerakan kampanye “Berani Jujur, Hebat!” bagi pelajar yang diprakarsai organisasi anti-korupsi.
Para pelajar dihimbau memulai perjuangan anti-korupsi dengan keberanian untuk berhenti mencontek. Rupanya mencontek adalah perkara lazim yang dilakukan hampir semua siswa Indonesia. Dari kota-kota yang sudah dilalui oleh kegiatan ini, didapati bahwa rata-rata siswa mengaku pernah mencontek.
Jarang, bahkan hampir tidak ada, siswa yang mengaku tidak pernah mencontek. Etika, seorang pelajar putri berumur 17 tahun mengakui, mencontek menjadi kebiasaan karena dilakukan secara massal. “Semua melakukannya. Jadi, sudah biasa. Kalau tak ikutan, malah tak percaya diri jadinya,” ujarnya.
Pelajar lain bernama Dinar (15), ketika ditantang untuk menargetkan kapan ia akan berhenti mencontek, menjawab, “Saya akan berhenti mencontek kalau sudah pintar.” Jawaban itu sontak disambut tawa riuh para pelajar lain. Mengapa harus menunggu sampai pintar? Dinar menjawab, ia kadang tidak percaya diri dengan hasil pekerjaannya ketika menghadapi tes mata pelajaran. Walaupun sudah belajar, ketika banyak temannya mulai ‘berbagi’ satu sama lain, ia juga mulai tergoda.
***
Liputan kampanye di atas memberi gambaran yang sungguh menarik saya untuk berpikir. Anak-anak ini secara normatif sudah paham bahwa “mencontek itu tidak baik … perbuatan yang tidak jujur, yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri”. Mereka yang mencontek itu tahu perbuatan mereka salah, buktinya mereka melakukannya dengan sembunyi-sembunyi dan ketakutan setengah mati kalau ketahuan, tapi mereka toh tetap melakukannya.
Dalam hipotesis saya, secara nalar maupun psikologis, tidak ada orang yang mau melakukan sesuatu yang dianggap salah. Melakukan sesuatu yang kita tahu pasti salah rasanya sungguh tidak enak di hati. Maka, supaya bisa tegel (tega) atau teteg(mantap) melakukannya, kita akan membuat rasionalisasi.
Semua koruptor, penipu, psikopat, atau penjahat mana saja selalu mengarang alasan untuk membela diri. Rasionalisasi itu bisa berupa alasan pemaaf atau pembenar. Alasan pemaaf berarti seseorang tahu perbuatan itu salah tetapi berkilah bahwa ia tidak cukup mampu dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Alasan pembenar adalah ketika dengan argumen tertentu, satu perbuatan yang semestinya salah lalu bisa dianggap benar.
Sekalipun rasionalisasi itu sering penuh sesat pikir, tetapi pelaku tetap membutuhkannya agar hati mereka bisa tenang dalam melakukan sesuatu yang dia tahu menyalahi norma. Jawaban Etika bahwa “semua orang melakukannya” adalah suatu alasan pemaaf. Dia tahu mencontek itu salah, tetapi dia merasa tidak cukup kuat iman untuk berbeda dari mayoritas temannya.
***
Di perguruan tinggi pun mencontek adalah perkara yang lazim ditemukan di kelas. Saya pernah menemukan beberapa pasang lembar ujian yang sama persis kata per kata. Dan saya beberapa kali menanyai para mahasiswa saya, dari jurusan yang berbeda-beda, secara terbuka di hadapan seisi kelas, “Mengapa kalian mencontek?”. Dan sungguh mengejutkan, seolah serempak dikomando, dan sambil tertawa-tawa, jawaban mereka adalah: “Untuk membantu orangtua!”.
Membantu orangtua? Apa maksudnya? Saya memandang ke balik tawa mereka dan seketika paham apa yang mereka maksudkan. Yah, kalau dengan mencontek seorang mahasiswa bisa mendapatkan nilai bagus, dan dengan nilai bagus itu berarti transkrip ijazahnya akan memuaskan, lalu dengan transkrip ijazah yang mentereng itu lamarannya lolos dan ia cepat bisa kerja, dapat gaji, hidup mandiri bahkan bisa balik menafkahi orangtua, bukankah itu artinya mencontek sama dengan membantu orangtua?
Penyederhanaan logika, pikir saya. Mencontek = membantu orangtua. Membantu orangtua = perbuatan mulia. Berarti mencontek = perbuatan mulia. Tapi saya tidak mau berkutat dengan teknis logika. Saya ingin mempertanyakan konteks sosial-budaya dari argumen ini:
Betulkah ada orangtua yang tutup mata, tak peduli anaknya mencontek asal nilai-nilainya di rapor atau transkrip ijazah bagus-bagus? Betulkah ada orangtua yang impian tertingginya adalah anaknya cepat lulus sekolah dan dapat pekerjaan, meski dengan menghalalkan segala cara? Betulkah ada orangtua yang begitu pragmatis, mendukung anaknya untuk mengesampingkan moralitas demi tujuan-tujuan materialistik?
Saya tak yakin ada orangtua yang mau terang-terangan mengaku bahwa dia seperti itu. Lazimnya orang akan membantah dan bilang, “Tidak! Di rumah, kami selalu memberitahu anak-anak untuk jujur, lebih baik hasil jelek daripada mencontek.” Ya, saya juga percaya semua orangtua yang sehat pikirannya akan mengajarkan pesan moral yang sama.
***
Namun, kenyataannya, anak-anak kita ini meyakini bahwa “mencontek = membantu orangtua”. Ada apa dalam perkataan dan perbuatan orangtua mereka sehari-hari yang membuat anak-anak itu bertumbuh dalam keyakinan itu? Mungkin orangtua langsung murka kalau anak mendapat angka merah? Mungkin orangtua memuji setinggi langit, membanggakan anak ke mana-mana, kalau ia meraih nilai tertinggi dalam ulangan? Mungkin anak melihat orangtua begitu serius berpesan pada guru les supaya lebih keras lagi men-drill-nya biar angka rapornya lebih bagus lagi? Mungkin orangtua sering mengomeli anak supaya tidak terlalu banyak bermain, “seriuslah belajar, Nak, jangan sampai tinggal kelas!”? Mungkin orangtua dengan penuh rasa lega dan girang menghadiahi anak macam-macam bonus ketika ia naik kelas, lulus, atau hasil ujiannya memuaskan?
Kalau ya, memang anak-anak itu terlalu mencintai orangtuanya. Dia sangat ingin membebaskan orangtuanya dari rasa tegang, marah, kesal, stress jika nilainya jelek. Dia begitu ingin melihat orangtuanya gembira, bangga, puas, berseri-seri melihat nilai-nilai tinggi tertera di ijazahnya. Ia ingin memenangkan kasih sayang orangtuanya. Ia ingin membuat orangtuanya bahagia.
Kalau mencontek bisa membuat orangtuanya bahagia, maka bagi anak itu adalah perbuatan mulia. Sekalipun untuk itu ia harus mengkhianati moralitasnya. Sekalipun untuk itu ia harus mengorbankan rasa malunya. Sekalipun untuk itu ia harus menanggung tuduhan hati nurani bahwa ia sedang melakukan apa yang ia tahu salah. Ia belajar membiasakan diri dengan itu semua.
Dan apa mungkin karena orangtua yang seperti itu banyak, anak juga melihat bahwa ia tidak sendirian, hampir semua temannya juga hidup dengan cara seperti itu, maka ia pun merasa tenang. Lalu akhirnya, dengan rasa malu yang sudah habis, ia bisa menjawab pertanyaan, “Kenapa kamu mencontek?” dengan tertawa-tawa, “Untuk membantu orangtua!”
***
Kita orang-orang dewasa ini, khususnya orangtua, adalah inspirator anak, kata Charlotte. Kita bukan pencetak karakternya, karena tiap anak sejak lahir telah membawa potensi kepribadiannya sendiri, namun kita bisa menjadi “pemberi inspirasi” dalam proses pembentukan karakternya itu (Parents & Children, hlm. 33).
Dari apa yang kita kerjakan menit ke menit, anak-anak kita menghirup atmosfer nilai, komitmen, dan susunan prioritas. Apa yang kita bicarakan, cara kita membicarakannya, sikap dan keputusan kita sehari-hari, semuanya adalah teladan bagi mereka. Bagaimana komitmen kita pada moralitas, keseriusan kita mengerjakan sesuatu, taat tidaknya kita kepada hukum, kerutan kening atau cibiran yang muncul di wajah kita, mereka mengamati semuanya. Bahkan saat tak sepatah pun komentar keluar dari mulut kita, ada pesan yang mereka catat dalam hati.
Memang belum tentu anak-anak meniru semuanya, sebab mereka adalah pribadi utuh yang bisa berpikir dan memilih sendiri, namun lebih sering mereka akan terinspirasi untuk berlari di jalur yang sama. “Cara orangtua menjalani kehidupan menjadi sudut pandang anak dalam mempersepsi hidup dan dirinya sendiri,” kata Naomi Aldort.
Basikah jika saya katakan bahwa dalam hal mencontek ini, keteladanan adalah faktor yang sangat menentukan? Saya setuju bahwa setiap anak harus dididik untuk berani berdiri teguh di atas kebenaran yang dia yakini sekalipun langit runtuh. Biarpun seisi kelasnya mencontek, ia akan berani mengatakan ‘tidak!’. Namun, karakter semacam itu tak mungkin lahir sekejap mata. Perlu proses panjang pendidikan karakter yang konsisten mulai dari atmosfer rumah hingga sekolah.
***
Ketika orangtua dan guru gagal berlaku selaras antara kata dan perbuatan – secara normatif mengajarkan jangan mencontek namun secara praktek mendewakan nilai, menyumpahi pejabat yang korupsi yang diberitkan di TV padahal ia sendiri melakukan penyelewengan itu di kantor – anak-anak kita melihat teladan moral yang ambigu, membingungkan. Mereka terpaksa tumbuh menjadi pribadi-pribadi munafik yang terus berusaha merasionalisasi perbuatannya yang ia tahu salah.
Betul kata para jurkam “Berani Jujur, Hebat!” itu, mencontek hanyalah awalan dari proses panjang pendidikan korupsi. Tapi, jangan bebankan perjuangan itu seluruhnya di bahu anak. Orangtua juga harus ikut serta.
Wahai ayah-ibu, mari pastikan anak-anak kita menerima pesan yang konsisten: proses lebih penting daripada hasil, integritas dan karakter bermoral lebih berharga ketimbang kesuksesan materiil. Jika anak-anak berhasil diyakinkan bahwa nilai bagus dengan mencontek lebih menyusahkan hati orangtuanya ketimbang nilai jelek hasil karya sendiri, anak akan tahu bahwa “mencontek ≠ membantu orangtua”.
no replies