Walau sudah lama mendalami metode CM, baru semester ini saya terpercik ide menerapkannya sebagai model perkuliahan. Ide itu muncul gara-gara memikirkan CM tiap hari pasca membentuk grup Komunitas Charlotte Mason Indonesia.
Suatu ketika saat mengirimkan posting harian di grup, tiba-tiba saja muncul keinginan yang kuat, “Mengapa tidak coba mempraktekkan metode CM secara nyata di ruang kelas?” Saya ingin membuktikan sendiri seperti apa respons mahasiswa jika diajak belajar dengan living books, narasi, dan pembelajaran mandiri.
Kebetulan waktu itu perkuliahan semester gasal 2011 belum dimulai sehingga saya bisa leluasa merancang perubahan materi dan metode perkuliahan empat kelas Pendidikan Kewarganegaraan yang akan saya ampu. Namun, kendala yang langsung menghadang saya adalah minimnya khasanah pustaka inspiratif-historis di Indonesia.
Saya membongkar koleksi perpustakaan pribadi saya, juga menjelajahi toko buku dan perpustakaan daerah. Ada beberapa judul buku yang sepertinya menarik, tetapi setelah saya dalami ternyata tidak sesuai dengan standar living books yang saya inginkan. Kriteria menyampaikan pesan nasionalisme tanpa bersikap menggurui, sekaligus naratif (gaya bercerita), sesuai dengan tingkat kemampuan baca mahasiswa semester satu (yang notabene di SMP/SMA dulu jarang membaca), tidak terlalu tebal (supaya bisa dibaca habis dalam satu semester), dan terutama harus mengandung ide-ide berharga untuk direnungkan secara mandiri oleh mahasiswa – rupanya sedikit sekali buku yang bisa masuk dalam kategori ini.
Sebetulnya semula saya mencari buku yang menceritakan dinamika sejarah pergulatan para pendiri negara Indonesia di era pra kemerdekaan. Saya sempat memborong serial buku Tempo tentang para bapak bangsa, karena sekilas isinya cocok dengan yang saya inginkan. Tapi saya batal memakai serial itu karena sifat penceritaannya yang mozaik (potongan-potongan sketsa kehidupan tokoh), sehingga tidak membuat pembaca mengenal tokoh itu secara mendalam.
Hampir saja saya putus asa, ketika akhirnya saya teringat pada Catatan Seorang Demonstran Soe Hok Gie. Hei! Sepertinya buku itu bisa memenuhi semua kriteria yang saya patok! Dulu suami saya punya buku itu dan saya pernah membacanya. Tapi sayang, buku itu kini hilang entah ke mana. Mencari ke toko buku jelas tak mungkin karena buku itu sudah out of print. Harap-harap cemas saya bertanya kepada Mbah Google, apakah tersedia versi digitalnya di suatu tempat. Dan, puji Tuhan, ada. Horeeee!
***
Demikianlah paruh pertama semester, saya mengajak para mahasiswa bersama-sama membaca Catatan Seorang Demonstran, lalu menarasikannya, di setiap pertemuan. Saya dapati ternyata pemahaman saya di tingkat teoritis tentang metode CM masih harus diasah oleh situasi riil di lapangan. Bolak-balik saya merevisi teknis pelaksanaannya untuk mengoptimalkan proses membaca dan menarasi, supaya efektif bagi mahasiswa yang sebagian besar rendah minat bacanya, berorientasi kepada tes dan nilai, dan tidak terbiasa mengungkap pemikiran lewat tulisan. Namun, saya amati, setelah melakukan proses baca dan narasi setiap pertemuan, minat dan kemampuan mereka dalam kedua hal ini umumnya meningkat. Faktornya tentu saja karena mereka merasa tertarik kepada figur Soe Hok Gie, yang juga mahasiwa seperti mereka, dan bisa menjiwai kisah hidupnya.
Berhubung sebagai dosen saya juga masih harus mengacu kepada kurikulum, materi-materi teoritis seperti tercantum di buku teks saya serahkan kepada para mahasiswa untuk mereka baca sendiri. Saya minta mereka meringkas bab per bab secara mandiri, lalu menyerahkan ringkasannya kepada saya. Materi teoritis ini kemudian saya pakai sebagai bahan ujian tengah semester, yang porsinya dalam penilaian akhir saya buat kecil sekali. Sebab yang saya harapkan dari perkuliahan ini bukan kefasihan bicara teori kewarganegaraan, tapi peningkatan keterampilan membaca, menulis, dan berpikir tentang situasi bangsa serta tergugahnya hati oleh rasa nasionalisme.
***
Paruh kedua semester, saya beri mereka materi living videos. Saya memakai film dokumenter tentang dampak globalisasi di Indonesia, The New Rulers of the World. Film itu dipecah menjadi enam bagian. Setiap pertemuan saya menayangkan dua bagian, satu demi satu. Setiap kali satu bagian habis saya tayangkan, saya menunjuk para mahasiswa secara acak untuk melontarkan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian akan dijawab oleh rekan mereka yang lain, yang juga saya tunjuk secara acak. Prinsipnya, “harus bertanya dan wajib menjawab”. Saya juga membuka kesempatan bagi mahasiswa lain untuk berpendapat, menanggapi, atau menyanggah tanya-jawab yang berlangsung.
Selesai menyaksikan film dokumenter itu dalam tiga pertemuan, selanjutnya adalah waktu untuk presentasi tugas akhir kelompok. Jadi, ceritanya sejak awal semester, saya sudah bagi mereka ke dalam kelompok-kelompok untuk menyiapkan satu tugas akhir. Tidak seperti di kelas-kelas saya terdahulu yang tugas akhirnya berupa makalah, kali ini saya meminta mereka menyiapkan sebuahperformance.
Para mahasiswa boleh menyajikan performance apa saja, pokoknya terkait dengan tema nasionalisme. Maksud saya, supaya mereka memiliki refleksi otentik tentang apa itu cinta tanah air. Ternyata, mereka sangat antusias menggarapnya. Jauh-jauh hari sebelum akhir semester, beberapa kelompok minta dibekali surat keterangan formal sebab mereka mau terjun ke lapangan. Ada yang meneliti penari jalanan, ada yang meliput festival budaya Jogja, ada pula yang melakukan wawancara ke masyarakat awam dan polisi.
Pentas demi pentas itu sungguh penuh gelak, tawa, dan haru. Beberapa kelompok menampilkan video dokumenter hasil refleksi mereka. Beberapa kelompok lain menyuguhkan drama dan musikalisasi puisi. Mulai dari lagu “Indonesia Tanah Air Beta” sampai “Andai Aku Gayus Tambunan” mereka nyanyikan di depan kelas. Ada yang mengkritik oknum pemerintah yang korup, ada pula yang mengkritik kelakuan mahasiswa sendiri yang tidak nasionalis dan suka nyontek. Bahkan lewat drama, satu kelompok memparodikan tingkah laku kakak angkatan yang sok berkuasa saat OPSPEK sebagai ekspresi kejengkelan mereka.
***
Sebagai penutup dan ujian akhir, saya meminta mereka menonton film dokumenter Green lalu menulis esai tentang dampak globalisasi terhadap lingkungan di Indonesia. Wajah-wajah mereka terpaku serius ke layar selama film ditayangkan. Kadang pecah tawa, kadang muncul diskusi dengan teman sebelah mengomentari salah satu adegan, banyak geleng-geleng kepala prihatin.
Ujian akhir ini berlangsung sangat tertib. Dosen bisa melenggang keluar dengan tenang ke toilet tanpa harus kuatir ada contek-mencontek, sebab setiap anak sibuk mengurusi esainya masing-masing. Kepala mereka penuh dengan ide untuk dituangkan ke atas kertas, untuk apa meniru isi kertas teman?
Di akhir esai, saya meminta para mahasiswa ini menuliskan kesan, pesan, kritik dan saran mereka terhadap proses perkuliahan satu semester ini sebagai bahan evaluasi saya. Pertanyaan yang saya ajukan adalah: Apakah materi kuliah membuat Anda berpikir atau terinspirasi? Apa yang Anda sukai dari proses pembelajaran? Apa yang menurut Anda perlu ditingkatkan, diperbaiki, diubah dari materi atau metode ini? Berikut tulis sebagian mereka:
“Saya sangat menyukai dengan hadirnya metode penulisan ulang atau narasi, di sini saya dapat memperhatikan dengan baik dan mengerti apa yang dimaksud.” (MBH)
“Diskusinya benar-benar membuat suasana hidup, semuanya bersemangat mengungkapkan opini dan ide-idenya untuk perubahan Indonesia.” (LM)
“Proses pembelajaran seperti ini membuat saya berpikir tentang hal apa yang seharusnya saya lakukan untuk perubahan bangsa ini.” (BS)
“Saya menjadi lebih kritis dalam berpikir dan berani dalam berbicara.” (MNSR)
“Pembelajaran seperti ini sangat mengena dan bermanfaat, walaupun pertama pertemuan saya kaget …” (YSR)
“Metode seperti ini membuat inspirasi-inspirasi yang di dalam pikiran makin muncul. Jika bisa, metode ini diterapkan tidak hanya pada mata kuliah Kewarganegaraan saja.” (AA)
“Bukan sekedar teori, itu yang saya sukai dari proses pembelajarannya.” (DHR)
“Materi belajarnya dapat dan telah membuat saya terinspirasi dan berpikir untuk memperbaiki Indonesia ke depannya.” (HD)
“Pembelajarannya menyenangkan karena saya tidak harus ngantuk-ngantuk mendengarkan.” (SU)
“Metode seperti ini membuat saya semangat datang ke kampus dan tanpa beban tugas yang berlebihan.” (SPS)
***
Setelah menjalankan langsung metode CM di kelas selama satu semester ini, saya dapati semua janji yang Charlotte berikan tentang efektivitas metodenya terbukti. Anak-anak menunjukkan hasrat luar biasa terhadap pengetahuan, mengerahkan semua kemampuan pikir mereka untuk mengolah sendiri materi yang diberikan, menjadi lebih fasih mengungkapkan gagasan secara lisan maupun tulisan.
Saya terharu melihat kebenaran asumsi Charlotte, bahwa anak-anak bukanlah ember kosong, melainkan pribadi utuh yang punya kemampuan menganalisis, berimajinasi, kaya emosi, kenangan, informasi, keyakinan, kritik sekaligus harapan bagi masa depan Indonesia, dan semua itu mereka tuangkan ke dalam kertas-kertas narasi dan esai mereka. Sistem pendidikan selama 12 tahun yang telah mereka jalani sebelumnya mungkin merusak sebagian kualitas itu, tapi ketika api dipercikkan, lentera dalam jiwa mereka kembali berkobar. Percayalah, anak-anak itu bisa menjadi pembelajar mandiri. Tidak banyak PR, tidak banyak ceramah, tapi buktinya mereka menyerap begitu banyak!
Sensasi yang saya rasakan sebagai pengampu malah menurut saya lebih menggetarkan dari yang Charlotte gambarkan. Sungguh, metode CM bukan cuma bermanfaat untuk siswa, tapi juga gurunya. Karena percaya bahwa belajar adalah tanggung jawab anak sendiri, beban di pundak guru terasa ringan. Relasinya menjadi relasi persahabatan, bukan atasan-bawahan.
Sejak menerapkan CM di kelas, saya selalu berangkat mengajar dengan lebih semangat. Kalau tidak sedang di kelas pun saya merasa kangen pada anak-anak itu, sahabat-sahabat muda saya. Kangen melihat antusiasme mereka dalam belajar, kangen menerima energi positif yang mereka pancarkan saat kami bersama terlibat dalam percakapan tentang ide-ide besar. You’d love being in a class where education is self-education!
Catatan penutup:
Sekalipun hampir semua menyatakan suka belajar dengan metode seperti ini, banyak juga kritik dan saran yang saya terima. Sebagian kritik berangkat dari belum pahamnya mereka tentang metode CM yang memang menyuruh guru bicara sesedikit mungkin, supaya siswa lebih aktif. Jadi, saya tersenyum saja waktu membaca pesan/saran supaya dosen lebih banyak menjelaskan dan membuatkan kesimpulan bagi mahasiswa. Saran lain yang banyak mereka minta, yakni menambah kegiatan praktikum atau terjun langsung ke lapangan, bagi saya sendiri sangat menarik. Barangkali bisa saya coba integrasikan ke dalam materi dan metode belajar tahun depan.
Selanjutnya saya hanya mendoakan, semoga anak-anakku ini akan terus menyimpan cercah-cercah ide dan inspirasi yang mereka dapatkan selama satu semester ini sebagai modal menempuh perkuliahan di semester-semester mendatang. Saya berdoa mereka akan bertemu dosen-dosen lain yang juga peduli akan pendidikan karakter mereka, sehingga mereka bukan hanya lulus sebagai tukang yang ahli, tapi juga punya keluhuran budi pekerti, kesungguhan untuk mengabdi bagi negeri.
no replies