Orangtua dan guru acap terkecoh, menganggap anak yang suka mengoceh berarti cerdas, perkembangan bahasanya sudah baik. Ada pula yang terpesona melihat anaknya bicara meniru-nirukan isi iklan TV, dengan gayanya yang lucu. “Pintar sekali!” kata orang, dan kita pun senang. Padahal?
Kecerdasan berbahasa tidak diukur semata-mata dari banyaknya kosakata. Agar lebih jelas, mari kerjakan tes sederhana berikut. Bisakah Anda mengenali perbedaan makna dari kalimat-kalimat ini?
(1) Ayah membiarkan anjing anaknya makan biskuit.
(2) Ayah membiarkan anak anjingnya makan biskuit.
(3) Ayah membiarkan anak anjing makan biskuitnya.
(4) Ayah membiarkan anaknya makan biskuit anjing.
(5) Ayah membiarkannya makan biskuit anak anjing
Kalau bisa, berarti Anda punya kemampuan sintaksis yang cukup baik. Sintaksis atau tata bahasa berurusan dengan pengurutan dan perubahan kata-kata agar melahirkan makna tertentu. Kata-katanya sama, tapi urutannya beda, imbuhan atau kata sambungnya beda, akan melahirkan makna berbeda. Anak yang sudah terampil berbahasa akan jeli memilah pembedaan tipis makna tata bahasa seperti ini.
Kerjasama Kanan-Kiri
Tidak ada anak yang terlahir sudah lengkap membawa aturan tata bahasa dalam otaknya. Tata bahasa adalah keterampilan yang harus datang dari pengalaman berbahasa anak di tengah lingkungannya.
Sejak sebelum berusia dua tahun, seorang anak sudah mulai menyerap aturan-aturan dalam tata bahasa ibunya. Yang semula dia hanya bicara satu kata, “Mau!”, lama-kelamaan bertambah panjang menjadi, “Mau itu”, kemudian “Dedek mau itu!”, “Dedek mau makan itu!”, “Dedek mau makan itu dulu!” dan seterusnya.
Keterampilan tata bahasa membutuhkan kerja aktif belahan otak kiri, tapi juga harus bekerjasama dengan belahan otak kanan anak. Belahan otak kiri untuk menganalisa, belahan otak kanan untuk memahami visualisasinya, sehingga benak anak bisa menafsirkan makna utuh dari suatu kalimat.
Misalnya kalimat: Anjing itu tadi dikejar kucing. Belahan otak kanan anak akan memanggil imaji anjing, kucing, dan kejar dari memorinya, sementara belahan otak kiri berusaha memahami rincian logis peristiwanya (siapa yang mengejar? siapa yang dikejar? kapan pengejaran itu terjadi?).
Televisi vs. Interaksi
Para terapis bahasa sudah lama curiga bahwa ekspos berlebih ke TV dan video justru mengganggu fungsi belahan otak kiri anak. Saat belahan otak kiri kurang berkembang, anak jadi kesulitan mengurutkan dan mensintesis gagasan serta menajamkan inti pembicaraan.
Lepas dari klaim bahwa tayangan tertentu edukatif atau tidak, riset mendapati bahwa banyak menonton TV nyaris tidak ada manfaatnya untuk keterampilan sintaksis anak. Banyak kita jumpai anak yang meniru-nirukan isi iklan atau ocehan presenter TV, dengan gayanya yang lucu, tapi sebetulnya dia tidak paham makna dari kalimat yang dia ucapkan.
Anak yang kosakatanya banyak belum berarti sudah terampil berbahasa. Memang betul, anak-anak yang rajin menonton Sesame Street bisa mengenali lebih banyak kata (bisa menunjuk gambar yang merujuk pada kata yang disebut), tapi kemampuan sintaksisnya tak ada beda dengan yang jarang menonton TV.
Studi lain memperlihatkan, anak-anak yang pengalaman berbahasanya semata-mata datang dari TV (kasus anak-anak normal yang diasuh oleh orangtua tuli) tak berkembang keterampilan berbahasanya sampai mereka berinteraksi dengan penutur normal lain.
Studi-studi ini memberi indikasi bahwa fondasi dari keterampilan sintaksis adalah percakapan interaktif. Anak harus menyerap berbagai aturan tata bahasa itu pertama-tama dari mendengar dan menggunakannya bersama orang lain, terutama orangtua/pengasuh.
Keterampilan tata bahasa pengasuh (termasuk orangtuanya), menentukan keterampilan tata bahasa anak. Walaupun anak sering bercakap-cakap dengan ibu, tapi kalau si ibu tidak bisa menggunakan tata bahasa dengan baik, anak pun akan gagal berbahasa dengan baik.
Tes Lewat Tulisan
Ada kaitan antara kemampuan tata bahasa dan logika. Kalau sintaksis lemah, pemikiran juga ikut kabur. Siswa yang sulit menata relasi antar gagasan nantinya akan kesulitan pula menangani soal matematika, sains, dan apa saja yang terkait dengan logika.
Untuk belajar matematika, pemahaman verbal tak bisa diremehkan. Anak butuh mencerna kata-kata penunjuk arah (di atas, di bawah, di balik, sebelum, setelah, ke dalam, ke luar); sebab-akibat (jika-maka, sebab/karena); perbandingan (lebih kecil/besar, lebih kecil/besar atau sama dengan); angka pecahan (setengah, seperempat, seperdelapan, dua per tiga, tiga per lima); dan banyak lagi perintah verbal lainnya. Pakar matematika Joan Countryman berkata, meningkatkan keterampilan berbahasa anak akan mendongkrak penalaran matematisnya, juga pelajaran sainsnya.
Saat bercakap-cakap lisan, kelemahan sintaksis dan kekaburan langkah pikir ini kadang tak terdeteksi. Namun, begitu siswa disuruh menuangkan isi pikirannya ke atas kertas, baru terlihat seberapa terlatihkah keterampilan berbahasa dan menalarnya. Menulis adalah alat tes penting untuk mengenali kapasitas anak dalam menggunakan bahasa sebagai kendaraan pikiran.
“Sedikit sekali murid kami yang bisa menulis dengan baik,” aku Archie E. Lapointe, direktur eksekutif salah satu lembaga ujian nasional di Amerika. “Kebanyakan siswa tidak mampu menulis secara memadai, dari kalangan apa pun mereka datang.”
Yang kesulitan menulis bukan hanya anak-anak SD. Sekarang ini banyak profesor di perguruan tinggi juga mengeluh karena terpaksa mengajari mahasiswa mereka teknik-tenik dasar menulis dan berpikir. “Ada semacam kekaburan berpikir pada mereka, yang dimulai dari ketidaktitisan berbahasa,” komentar seorang profesor dari Harvard. “Sering sekali mereka gagal menulis apa yang mereka maksud. Mereka betul-betul kesulitan melakukan sesuatu yang 15 tahun lalu adalah keterampilan dasar.”
Seperti semua keterampilan yang lain, mahir menulis juga butuh latihan panjang. Menulis ibarat memberikan nyawa pada suatu pemikiran, dengan bahasa yang lebih abstrak dan formal dibanding percakapan sehari-hari. Untuk itu, kemampuan sintaksis yang lebih tinggi dibutuhkan untuk menautkan satu ide ke ide lain.
Aspek yang paling berat dalam menulis dengan jernih adalah tuntutan agar si penulis mampu mengelola isi benaknya, tahu mana gagasan yang harus didahulukan, dan setelah itu harus diikuti dengan yang mana lagi, seterusnya sampai maksud hatinya bisa diterima oleh pembaca sesuai yang dia kehendaki.
Titik awal agar anak terampil menulis harus kembali lagi pada pengalaman berbahasa lisan yang kaya. Anak yang tak bisa menceritakan isi pikirannya secara lisan dengan bermakna dan tertib kecil kemungkinan akan bisa menuangkan idenya itu ke atas kertas.
Terperangkap dalam Bahasa Primitif
Jika anak tidak bisa naik ke tingkat kemampuan sintaksis yang lebih tinggi, dia akan terjebak dalam “bahasa primitif”. Kalimat-kalimatnya pendek, strukturnya sederhana, karena belahan otak kirinya tidak mampu mengolah yang lebih kompleks.
Orang yang terampil berbahasa tanpa kesulitan mencerna kalimat ini: Perempuan yang tinggal di rumah sebelah itulah yang membawakan bunga yang sekarang ada di meja. Tetapi mereka yang berada di tahap “bahasa primitif” hanya bisa paham jika kalimat itu dipenggal-penggal: Perempuan itu membawakan bunga. Bunga itu ada di meja. Perempuan itu tinggal di rumah sebelah.
Bahasa yang primitif membawa risiko kaburnya makna. Misalnya kalimat: Karena rapat tidak produktif, ketua panitia yang frustrasi mengundurkan diri. Di sini ada hubungan sebab-akibat, yang akan hilang jika kalimatnya dipotong-potong menjadi: Rapat tadi nggak produktif. Ketua panitia mengundurkan diri. Frustrasi dia. Apa hubungan antara rapat yang tak produktif dengan mundurnya ketua panitia, jadi tak jelas. Urutan peristiwanya (apakah ketua panitia mengundurkan diri dulu lalu frustrasi, atau frustrasi dulu baru mengundurkan diri) juga kabur.
Dalam percakapan sehari-hari, juga dalam tayangan TV dan media, kaburnya susunan sintaksis ini akan coba ditutupi dengan banyak gestur, mimik, gambar, musik, dan warna-warni. Pemirsa jadi tak perlu lagi mengerahkan energi untuk berkonsentrasi pada kalimat yang panjang dan rumit.
Nah, ketika anak-anak tak terbiasa lagi menyimak kalimat dengan susunan sintaksis tingkat tinggi, mereka bakal gelagapan ketika dihadapkan dengan buku yang memuat kalimat-kalimat seperti itu. Saat keterampilan mendengar turun (akibat terbiasa bergantung pada konten audio-visual), mereka juga kewalahan mempertahankan konsentrasi pada kuliah yang panjang. Dunia akademis bagaikan negeri asing yang bahasanya tidak mereka pahami!
Sekolah Tak Bisa Kerja Sendiri
Anak lemah tata bahasa, logika, menulis, berpikir, lalu harus bagaimana? Banyak orangtua lantas memasrahkan problem ini ke sekolah. Bukankah sudah kewajiban sekolah untuk memberi pelajaran bahasa, termasuk tata bahasa?
Namun, mengajarkan tata bahasa dengan buku teks (ini subjek, ini predikat, subjek ditambah predikat jadi kalimat sederhana, dsb.) tidak akan berhasil membuat anak-anak mahir berbahasa, berpikir, dan menulis selama fondasi pengalaman berbahasa mereka minim.
Jika Anda ingin anak Anda kelak mahir membaca, menulis, mendengar, dan bicara, maka Anda perlu memastikan agar anak-anak itu mendapatkan pengalaman berbahasa yang interaktif, dengan tingkat kesulitan yang meningkat sesuai tahap usianya, selama periode kanak-kanaknya.
Mengapa pengalaman berbahasa itu paling penting di masa kanak-kanak? Ada hipotesis bahwa setelah usia 11 tahun, otak sudah tak mampu lagi menguasai bentuk-bentuk sintaksis yang kompleks, jika sebelumnya sama sekali tidak ada stimulasi.
Dr. Elissa Newport mengumpulkan bukti-buktinya dari riset terhadap para penyandang tuli yang belajar bahasa isyarat pada usia yang berbeda-beda. Kemahiran berbahasa mereka akan berbeda tergantung mulai kapan mereka belajar, apakah sebelum atau sesudah usia 11 tahun.
Dengan kata lain, periode sensitif untuk meletakkan fondasi tata bahasa adalah sebelum usia akil baligh. Dalam rangka itu:
- melibatkan anak dalam percakapan penuh ide saat keluarga berkumpul di meja makan tentu lebih baik ketimbang menyerahkan anak pada babysitter yang diam saja atau sibuk mengerjakan hal lain;
- mendampingi anak saat menggunakan media lebih baik ketimbang membiarkannya menonton TV sendiri;
- memberikan buku bacaan berkualitas literer lebih baik ketimbang memberinya buku picisan berbahasa ala kadarnya;
- dan jangan biarkan waktu dan energi anak habis disedot oleh TV dan tugas non-literer lainnya (termasuk mengerjakan PR) sampai-sampai dia tidak sempat membaca sebagai hobi.
Jika fondasi berbahasa tidak diletakkan di rumah, guru yang paling hebat pun akan kesulitan ‘menyembuhkan’ situasinya, dan kecuali anak punya kemauan keras untuk memperbaiki diri, bisa-bisa dia seumur hidup akan terperangkap dalam taraf bahasa primitif. (bersambung)
Ini adalah ringkasan bab kelima Endangered Minds karya klasik psikolog pendidikan Jane Healy yang oleh Ambleside Online disebut sebagai “buku yang wajib dibaca oleh setiap orangtua!”
no replies