Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 sudah di depan mata. Kompetisi ketat antar kandidat dibicarakan di mana-mana. Ada kampanye simpatik, ada pula kampanye negatif. Paparan visi-misi sampai manuver politik dan debat publik terakses dengan mudah dari rumah.
Bagi saya sebagai praktisi pendidikan rumah mandiri (homeschooling), keriuhan pesta demokrasi sekian bulan ini adalah momen yang pas untuk memberikan pendidikan politik bagi anak-anak.
Berbeda dari siswa sekolah formal yang sampai saat ini dalam praktek masih terkurung oleh proyek “normalisasi kehidupan kampus” era Orde Baru, serba dijauhkan dari atau malah paranoid terhadap isyu politik – contohnya, kontroversi munculnya soal bertema Jokowi di Ujian Nasional lalu dan heboh demo mahasiswa yang menolak politisasi kampus ITB beberapa waktu lalu – anak homeschooler bebas untuk menyimak dan bertanya apa saja soal politik di dalam dan di luar rumahnya.
***
Sebagai pendidik yang nasionalis, Charlotte Mason bukan hanya paham benar konsep-konsep filosofis pendidikan, tapi juga sangat menguasai isyu-isyu politik pendidikan, maupun politik secara umum. Metode CM sendiri mengamanatkan pada orangtua untuk mendidik anak-anak yang menjadi berkat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Setiap bangsa dan negara punya dinamika politik masing-masing yang akan berpengaruh pada situasi keluarga serta masyarakat, maka dalam rangka mendidik anak sebaik-baiknya, orangtua tidak boleh buta politik. Orangtua tidak boleh acuh tak acuh pada kepentingan nasional.
Dalam visinya, CM ingin anak-anak tumbuh “berpikiran besar, punya minat yang luas, memiliki imajinasi yang berbudaya, mampu menilai dan menimbang secara terlatih … tahu menempatkan dirinya sendiri dan bagaimana memanfaatkan segala kelebihannya untuk meningkatkan kebahagiaannya, kebahagian sesamanya, dan kesejahteraan masyarakatnya – sosok yang bukan cuma bisa mencari nafkah hidup, tapi tahu bagaimana caranya hidup” (Vol. 4 hlm. 78; Vol. 6 hlm. 122). High thinking, lowly living(Vol. 2 hlm. 170). Jangan sampai anak-anak kita menjadi pribadi yang hidup di menara gading, mengira bahwa urusannya hanya mengejar nilai akademis dan karir pribadi saja, tapi tidak pernah terjun ke tengah masyarakat dan melakukan kerja sosial nyata.
Adalah perkara yang amat sangat konyol kalau isyu bangsa dan negara itu sekadar jadi hafalan, seolah-olah banyaknya informasi yang dijejalkan otomatis akan menghasilkan perubahan perilaku. Apakah siswa yang lancar menyebutkan hak dan kewajiban warga negara menurut UUD 1945 akan peka pada pelanggaran HAM yang terjadi di sekelilingnya dan turut bersuara? Apakah siswa yang hafal di DPR ada komisi apa saja bisa menolak money politics dari partai politik? (Di lapangan ditemukan fenomena, sebagian parpol merekrut anak-anak SD dan SMP untuk membujuk keluarganya memilih caleg tertentu dengan imbalan uang tak seberapa). Apakah mahasiswa yang hafal pengertian wawasan nusantara akan cinta produk dalam negeri dan mendukung lestarinya budaya lokal? Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Di rumahlah kesadaran politik itu pertama-tama mesti ditumbuhkan. Kesadaran politik tentang pentingnya menjaga eksistensi dan kesatuan Negara Indonesia. Kesadaran politik tentang pentingnya menghargai perbedaan agama, budaya, dan etnisitas. Kesadaran politik tentang hak asasi anak. Kesadaran politik tentang hak asasi perempuan. Kesadaran politik tentang kesejahteraan rakyat. Kesadaran politik tentang penyelamatan lingkungan. Kesadaran politik tentang kaitan situasi negara kita dengan politik global. Dan seterusnya. Dan seterusnya.
***
Tulang punggung proses menumbuhkan kesadaran politik ini, menurut metode Charlotte Mason, adalah pemahaman sejarah (sekali lagi: “pemahaman”, bukan hafalan!). Boleh dibilang, materi pelajaran apa pun dalam kurikulum CM selalu dikaitkan dengan aspek sejarah. Mulai dari bacaan tentang sejarah dunia, sejarah nasional, hingga sejarah lokal diharapkan muncul dalam meja perjamuan ide, untuk menjadi santapan benak anak sehari-hari – dinarasikan, didiskusikan, diriset lebih lanjut. Sejarah diharapkan menjadi benang merah yang akan membantu anak membuat asosiasi antara satu ide dengan ide lain.
Anak yang sadar sejarah dengan sendirinya menjadi melek politik. Melihat rombongan siswa yang pulang sekolah, si sulung (8 tahun) tiba-tiba tergerak untuk bertanya, “Kalau di zaman Kartini dulu, anak perempuan nggak boleh sekolah ya, Ma? Kenapa kok nggak boleh sekolah?” Melihat baliho parpol di jalan, dia berkomentar, “Megawati itu anaknya Sukarno ya?” atau “Kalau zamannya Pak Harto itu kayak apa?” Dan lain-lain. Dan lain-lain. Tak terbilang banyaknya pertanyaan anak sulung saya ini mengenai perpolitikan di Indonesia, sejak era penjajahan sampai Reformasi.
***
Vittorino de Feltre, tokoh pendidikan klasik Italia abad ke-15, berkata: “Tidak semua orang wajib unggul dalam filsafat, ilmu kedokteran, atau ilmu hukum; tidak semua orang diberi karunia yang sama oleh alam, namun semua orang ditakdirkan untuk hidup dalam masyarakat dan menjalankan kewajibannya.” Menjadi warga negara yang baik bukanlah pilihan, melainkan suatu kewajiban.
Perluasan wawasan politik adalah syarat agar anak-anak kita bisa berperan sebagai warga negara yang baik dalam sistem demokrasi masa kini. Demokrasi akan berhasil jika masyarakatnya cerdas dan berkesadaran politik; dan sebaliknya, akan menjadi penindasan gaya baru jika masyarakatnya bodoh dan buta politik. Calon legislatif mana yang harus dipilih? Partai politik mana yang harus didukung? Calon presiden mana yang akan kita percayai? Meskipun pilihan ini hanya datang lima tahun sekali, tapi pertimbangan untuk menjawabnya harus dikristalkan dari kajian mengenai rekam jejak selama puluhan tahun.
Jika tidak dimulai dari rumah sendiri, dari mana lagi anak akan memperoleh wawasan itu? Jika tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi dia akan mulai belajar memahaminya? Jika tidak diinisiasi oleh orangtuanya, siapa lagi yang kita harap akan mengisi ceruk ideologi dalam hati anak kita?
no replies